Liputan6.com, Copenhagen - Parlemen Denmark mencatat sejarah kontroversial dalam meloloskan rancangan undang-undang negaranya. Pada Selasa, 26 Januari 2016 sebagian besar menyetujui RUU Imigrasi yang mengatakan dapat mengerahkan pihak keamanan untuk mengambil uang tunai dan harta berharga dari para pencari suaka untuk menutup biaya hidup mereka.
Itu berarti mereka dapat menyita perhiasan yang seharga lebih dari 10.000 krona atau sekitar US$1.453.
Baca Juga
Para pencari suaka di Denmark masih diperbolehkan memiliki barang-barang ikatan emosional seperti cincin kawin, cincin pertunangan, foto keluarga, dekorasi, dan medali. Hal itu dikemukakan oleh menteri imigrasi. Namun, benda seperti jam, telepon genggam, dan komputer bisa disita.
Advertisement
Persetujuan RUU ini mengundang kritik dari berbagai pihak. Apalagi Denmark memiliki reputasi global dalam hal toleransi dan promosikan nilai liberal serta sosial demokratisnya. Namun pemerintah mengatakan, para pencari suaka itu akan diperlakukan sama seperti warganya.
Baca Juga
"Kami berharap RUU ini akan diadopsi juga di seluruh Eropa, demi memperketat aturan imigrasi untuk menjaga nilai Eropa," kata Martin Henriksen, juru bicara Danish People Party kepada CNN.
RUU ini diloloskan oleh 81 anggota parlemen, 27 menolak sementara 1 abstain.Â
"Seluruh warga Denmark, dan para pencari suaka datang ke sini mendapat pelayanan kesehatan yang sama, kalian akan mendapat pendidikan gratis dari TK hingga Universitas, kalian akan mendapat keuntungan saat lanjut usia, kalian akan mendapat pelatihan bahasa dan lainnya. Gratis," ujar juru bicara Partai Liberal Jakob Ellemann-Jensen.
"Yang kami minta cuma satu, yaitu kalian harus bayar rumah dan makanan kalian, mau kalian orang Denmark maupun kalian pengungsi. Itu harus," tambahnya lagi.
Di negara Eropa lainnya seperti Swiss dan Jerman juga melakukan hal yang sama, menurut pemerintah Denmark. Ada beberapa kasus di kota-kota Swiss, kalau aset pengungsi disita untuk bayar rumah.
Dikecam PBB-Para Pengungsi Menangis
Lembaga kemanusiaan Amnesty Internasional mengatakan RUU itu merefleksikan keterpurukan nilai kemanusiaan oleh negara-negera Eropa dalam merespons krisis kemanusiaan.
Sementara itu, kelompok sayap kiri Denmark, Pernille Skipper mengatakan, "Secara moral, RUU itu memperlakukan kejam orang-orang yang telah kabur dari pembunuhan massal, perang dan pemerkosaan. Mereka hengkang dari negeri yang tengah perang, dan bagaimana kita memperlakukan mereka? Sita perhiasan mereka," ujarnya seperti dilansir dari The Guardian.
Mendengar kabar RUU itu, para pencari suaka di Denmark menangis.
Kesedihan itu terasa oleh Jean Claude Mangomba, seorang guru bahasa Inggris dan mantan anggota militer yang harus pergi dari Kinshasa, Kongo setelah ia ditahan kerena melawan pemerintah.
"Kebanyakan orang pergi menghindari perang, mereka itu lari, saat kabur kami bawa apapun yang kami bisa. Tak berarti mereka itu kaya atau kriminal," ujarnya.
"Kalau mereka bawa uang, itu menguntungkan Denmark, kami tukar uang itu lalu menghabiskannya di sini. Lalu, buat apa pemerintah mengambil uang kami? Mengambil barang berharga kami?"
"RUU itu sungguh kejam, mereka ingin pulangkan kami? Saya tidak memilih untuk berada di sini, saya bisa kabur dari negara saya saja sudah untung," lanjut pria berusia 48 tahun itu.
Sementara itu juru bicara PBB untuk urusan pengungsi, UNHCR menyayangkan keputusan itu.
"Denmark selalu menjadi inspirasi bagi yang lain dalam memberi standar hak asasi manusia. UNHCR menyesali keputusan Denmark terhadap pencari suaka," kata Zoran Stevanovic.
Kesedihan juga melanda Zohra, dari Afghanistan.
"Kami datang ke sini bukan untuk bersenang-senang. Waktu saya kabur dari Afghanistan saya tidak memilh negara mana yang kaya atau baik, saya ke sini demi keamanan dan demi untuk tetap hidup."
Advertisement