Liputan6.com, Jakarta - Usia Mayor William Thorn baru 30 tahun saat ia bergabung dalam ekspedisi ke Jawa, yang kala itu menjadi wilayah jajahan Belanda. Petualangan dimulai dari Batavia, Semarang, Madura, Kalimantan, Makasar, Maluku, hingga Ambon.
Pada 1812, ia tiba di Kepulauan Banda. Thorn dan rekan Kala itu ia sedang mencari tahu soal rantai pasokan rempah-rempah yang memenuhi pundi-pundi harga Belanda.
Baca Juga
Para pelaut Inggris itu pun tiba di Pulau Run, daratan kecil dan sepi penduduk yang terletak di Laut Banda.
Walaupun merupakan daratan kecil, Run kala itu sungguh berharga. Pulau itu bahkan sanggup memicu perang berdarah antara dua kekuatan adidaya: Inggris dan Belanda.
Dampak dari pertempuran hebat itu mengubah perdagangan dunia dan juga sejarah Amerika Serikat.
Pala atau nutmeg (Myristica fragrans) adalah kuncinya.
Advertisement
Dalam bukunya, The Conquest of Java, Thorn menggambarkan tanah Banda luar biasa bagi perkembangbiakkan pohon pala -- yang tak hanya berkembang dengan baik karena tanah gembur yang menyebar di seluruh pulau, tapi juga kaya akan nutrisi dari lava vulkanik.
Kala itu, pala yang merupakan spesies asli Banda, tak sekedar bumbu atau rempah pada masa kini. Dulu, sekitar 400 tahun lalu, biji kecil berwarna cokelat tersebut punya kekuatan untuk mengubah dunia.
Â
Bangsa Eropa pada masa itu begitu tergila-gila dengan pala -- yang mengubah rasa makanan mereka yang cenderung hambar menjadi beraroma dan mengundang selera.
Pala dan rempah-rempah lain juga dapat menghangatkan tubuh pada musim dingin yang beku.
Jauh sebelum kulkas atau teknologi pendingin ditemukan, bubuk pala menutupi rasa busuk dan bau pada makanan, bahkan membantu mengawetkan bahan pangan dari bakteri berbahaya.
Monopoli VOC
Pada tahun 1600-an, perdagangan rempah-rempah ditangani perusahaan global yang sangat terstruktur, yakni Dutch East India Trading Company atau VOC.
VOC dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia.
Para penjelajah rela mengaruhi samudera ke tempat-tempat jauh, didorong oleh nafsu untuk mendapatkannya. Dorongan untuk mendapatkan rempah-rempah dan kekayaan ikut berperan memetakan sudut-sudut Bumi.
"Rempah-rempah menjadi bagian dari mesin yang membentuk koneksi global seperti itu," kata Eric Tagliacozzo, ahli Asia Tenggara dan Dosen Sejarah di Cornell University, seperti Liputan6.com kutip dari situs Ozy.com, Selasa (31/5/2016).
Kala itu, ia menambahkan, rempah-rempah adalah barang paling dicari di dunia.
Dan, tak ada yang lebih sukses dari VOC -- persekutuan dagang yang didukung negara, dengan kekuatan untuk membangun koloni, berperang dan menggulingkan kerajaan demi mengeruk keuntungan.
Perusahaan tersebut mendirikan pos di Pulau Jawa. Dengan markasnya di Batavia atau Jakarta pada masa ini.
Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jendera Hindia Belanda yang ditunjuk VOC -- berambisi menguasai monopoli perdagangan pala, fuli dan cengkeh.
Masalahnya, rempah-rempah tersebut datang dari Pulau Banda -- di mana para pedagang Portugis dan Inggris sudah membuat pos di dekatnya.
"Mimpi Coen berkisar pada pengambilalihan Banda oleh Belanda," tulis William J. Bernstein dalam A Splendid Exchange: How Trade Shaped the World.
"Banda adalah bagian dari Maluku yang menjadi penting dalam sejarah karena tanahnya yang unik, yang membuatnya sebagai satu-satunya sumber pala dan fuli."
Perusahaan Inggris, British East India Company sudah lebih dulu berdagang di Banda. Terutama komoditas lada.
Namun, pada tahun 1500-an, Belanda secara agresif mengejar perdagangan rempah-rempah.
Pada 1616, Belanda menyerang Pulau Ay, di mana Inggris memiliki sebuah pos perdagangan, membantai penduduk asli.
Pihak Inggris melarikan diri dan mendirikan kamp beberapa mil di barat Pulau Run -- sebuah langkah yang bikin marah Coen.
Coen, yang ditunjuk oleh komandan VOC di Banten beberapa tahun sebelumnya, mengultimatum Inggris.
Namun, Coen meninggal jauh sebelum Belanda bisa menguasai Pulau Run.
Ditukar dengan New York
Permusuhan berlanjut 50 tahun kemudian. Dua negara terlibat dalam perang panjang dan melelahkan. Pada tahun 1666, tentara Inggris berbaris ke dalam wilayah Belanda, New Amsterdam di Amerika Utara.
Mereka mengganti namanya menjadi New York. Sementara itu, Belanda mengendalikan Pulau Run -- nyaris memonopoli keseluruhan perdagangan pala.
Pada tanggal 31 Juli 1667, perang berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Breda.
Belanda menyerahkan New Netherland -- yang meliputi New York, Delaware, New Jersey, dan Connecticut ke tangan Inggris, dipertukarkan dengan Pulau Run dan Suriname.
Dengan mendapatkan kontrol atas wilayah dari Rhode Island ke Delaware, kian kuat klaim Inggris terhadap Dunia Baru. Hal tersebut juga mengubah jalan sejarah Amerika Serikat pada masa-masa awal.
Namun, secara teknis, Belanda telah memenangkan perang.
 "Pada waktu itu Manhattan adalah hutan di dataran rendah. Nyaris tak ada apapun di sana, "kata Eric Tagliacozzo.Â
Potensi Manhattan kala itu sama sekali tak bisa dibandingkan dengan Pulau Run yang kaya rempah berharga.
Namun, roda sejarah bergerak ke arah berlawanan.
"Kini, Manhattan menjadi lokomotif ekonomi dunia," kata Tagliacozzo. Meninggalkan Pulau Run yang kian terasing dan terlupakan dalam sejarah.