Liputan6.com, Istanbul - Pemerintah Turki melarang semua akademisi di negeri itu untuk bepergian ke luar negeri. Aturan ini hanya berlaku sementara, namun tidak disebut kapan persisnya larangan ini akan berakhir.
Seperti dilansir BBC, Kamis (21/7/2016) pengumuman ini disampaikan setelah Presiden Recep Tayyip Erdogan menggelar pertemuan dengan Dewan Keamanan Nasional dan anggota kabinetnya di ibu kota Turki, Ankara. Ini adalah pertama kalinya ia menginjak ibu kota pasca-kudeta Jumat 15 Juli lalu.
Baca Juga
Tak hanya itu, pertemuan ini juga menjadi kali pertama Presiden Erdogan duduk dan berbicara secara pribadi dengan semua tokoh kunci di pemerintahannya setelah kudeta terjadi.
Advertisement
Aksi pembangkangan militer yang berujung kegagalan telah menewaskan lebih dari 200 orang. Sementara itu, lebih dari 50.000 orang dari berbagai profesi telah ditahan dan dipecat, termasuk di antaranya 21.000 guru dan 15.000 pejabat di kementerian pendidikan.
Sekitar 1.577 dekan universitas juga diminta mengundurkan diri. Langkah ini dinilai sebagai bagian dari upaya 'pembersihan' yang dilakukan Erdogan terhadap seluruh pendukung Fethullah Gulen, ulama Turki yang tinggal di Amerika Serikat (AS) yang dituduh sebagai dalang kudeta militer.
Turki telah melayangkan permintaan agar AS segera mengekstradisi ulama berusia 75 tahun itu. Juru bicara Gedung Putih, Josh Earnest mengatakan ekstradisi akan diatur di bawah perjanjian antara kedua negara.
Seperti dilansir Telegraph, PM Turki Binali Yildrim disebut telah menyerahkan berkas yang menjadi bukti keterlibatan Gulen dalam kudeta militer pada Selasa 19 Juli kepada pemerintah AS. Dengan adanya bukti tersebut, mereka pun mendesak agar proses ekstradisi Gulen dipercepat.
Pasca-kudeta sejumlah tugas besar menanti Presiden Erdogan. Ia diharapkan dapat kembali menghadirkan stabilitas di tengah kekacauan dan meyakinkan sekutu Turki bahwa ia tidak terlibat kudeta serta peristiwa itu bukanlah upaya untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya.
Untuk pertama kali pasca-kudeta, Turki telah kembali melancarkan serangan udara lintas-perbatasan terhadap pemberontak Kurdi di Irak utara. Sekitar 20 anggota kelompok militan diduga tewas.