Liputan6.com, Rio de Janeiro - Peraih medali perak cabang maraton Olimpiade Rio, Feyisa Lilesa dari Ethiopia, mengaku hidupnya dalam ancaman pembunuhan oleh pemerintah di negaranya. Hal itu terjadi setelah ia berhasil menempati urutan kedua dalam kompetisi tersebut, lalu berpose mengepalkan tangan ke atas kepala membentuk huruf X.
Pose itu bertanda sebagai protes kepada pemerintah Ethiopia akibat gejolak politik dalam negeri.
"Aku punya saudara yang dipenjara karena melakukan aksi protes," kata Lilesa seperti dilansir dari News.com.au, Senin (22/8/2016).
Advertisement
"Kalau Anda berbicara soal demokrasi, mereka (pemerintah) akan membunuhmu. Kalau aku kembali ke Ethiopia, mungkin mereka akan membunuhku atau memenjarakanku," ujar Lilesa.
"Sangat berbahaya di negaraku. Mungkin aku akan pindah ke negara lain. Aku protes untuk orang lain di mana mereka tak mendapatkan kebebasannya," katanya.
Beberapa lembaga HAM mengatakan petugas keamanan di Etiopia telah membunuh puluhan orang dalam beberapa pekan terakhir. Hal itu dilakukan setelah gelombang kelompok anti-pemerintahan terjadi di dua kawasan kunci, yaitu di Oromo dan Amhara.
Aksi membentuk tangan berbentuk X merupakan tindakan nekat Lilesa. Bahkan Washington Post menyebut, tindakan paling berani dalam Olimpiade 2016.
Lilesa berhasil mencapai garis finis selama 2 jam, 9 menit, 54 detik. Di garis akhir itulah ia melakukan pose tangan mengepal di atas kepala berbentuk 'X'. Namun, tak ada sepatah kata pun yang ia ungkapkan sesaat memenangkan posisi kedua.
Atlet 26 tahun itu berasal dari Oromo, etnis terbesar di Ethiopia.
Gelombang protes terhadap pemerintah berlangsung dalam beberapa bulan terakhir. Mereka tak setuju memindahkan ibukota dari Addis Ababa ke tanah di Oromo, yang mengancam pengusiran orang-orang di daerah itu.
"Pemerintah Ethiopia telah membunuh orang-orang Oromo dan mengambil tanah mereka, serta mencaplok sumber daya alamnya. Jadi itu yang membuat orang Oromo protes. aku mendukung mereka karena aku orang asli Oromo," kata Lilesa beberapa saat kemudian dalam sebuah pernyataan.
"Oromo adalah sukuku,... mereka protes untuk mempertahankan kedamaian, tanah leluhurnnya. Dalam 9 bulan terakhir, 1.000 orang telah tewas," beber Lilesa.
Menurut Washington Post, televisi nasional Etiopia tidak menyiarkan kemenangan Lilesa di garis finis.