Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah orang menganggap, 2016 adalah tahun yang buruk. Sejumlah selebritas tutup usia, aksi terorisme terjadi mengorbankan banyak nyawa.
Tak hanya itu, kehancuran melanda Aleppo, Yaman yang situasinya bak neraka, Korea Utara meledakkan dua nuklir, dan Amerika Serikat terbelah akibat pemilihan presiden yang panas dan gaduh.
Baca Juga
Kabar buruknya, 2017 mungkin tak lebih baik dari tahun sebelumnya.
Advertisement
Kondisi perekonomian dan politik sejumlah negara diprediksi mengkhawatirkan. Situasi keamanan dunia juga jauh dari damai.
Berikut 10 prediksi mengerikan yang mungkin terjadi pada tahun 2017, seperti Liputan6.com kutip sebagian dari Listverse, Minggu (1/1/2017):
1. Sistem Perbankan Italia Kolaps
Dalam daftar 'hal membosankan yang harus dikhawatirkan', krisis perbankan Italia ada dalam urutan pertama.
Selama bertahun-tahun, perbankan Italia menghadapi permasalahan yang pernah dialami bank-bank di Amerika Serikat saat krisis 2008: mereka meminjamkan uang pada orang-orang yang tidak bisa membayar utangnya.
Situasi tersebut diperburuk oleh pertumbuhan ekonomi yang lemah di Italia selama bertahun-tahun.
Seperti dikutip dari Vox, mantan Perdana Menteri Italia, Matteo Renzi mengkhawatirkan, situasi tersebut akan mengarah ke kolapsnya sejumlah bank besar di negerinya -- yang bisa memicu krisis finansial yang lebih luas. Untuk itulah ia mengucurkan dana talangan sebesar US$ 45 miliar.
Meski demikian, sejumlah ahli mengkhawatirkan sejumlah bank bakal kolaps pada akhirnya.
Krisis tak hanya berpotensi mengguncang Negeri Piza. Italia adalah negara dengan perekonomian kedelapan terbesar di dunia. Letaknya juga di Eropa.
Maka, ketika Italia mengalami krisis, dampaknya bisa merambat ke Uni Eropa. Seperti halnya krisis utang Yunani yang nyaris membuat nilai euro jatuh. Padahal, negara itu nyaris ada di tepi daftar 50 besar kekuatan ekonomi global.
Sebagai sebuah entitas tinggal, Uni Eropa lebih besar dari China. Jika sampai terpengaruh kondisi ekonomi Italia, dampaknya ke dunia akan sangat besar.
2. Perang Dagang AS dan China
Presiden ke-45 Amerika Serikat terpilih Donald Trump ditengarai sedang menyiapkan perang dagang dengan China.
Seperti dikutip dari Deutsche Welle, Trump memerintahkan menteri keuangan untuk mendeklarasikan Beijing sebagai 'manipulator mata uang' dan memberlakukan pajak bea masuk sebesar 45 persen untuk semua produk Tiongkok.
Beberapa kali Trump menempatkan China dalam fokus kampanyenya. Ia antara lain menuding Tiongkok melenyapkan jutaan lapangan kerja di AS.
Â
Beijing tentu saja tak akan tinggal diam. Mulai 2017, pasca-pelantikan Trump pada 20 Januari, kedua negara bisa jadi terlibat dalam perang dagang.
Nilai perdagangan China dan AS lebih dari US$ 600 miliar. Tiongkok mengimpor barang lebih banyak dari AS daripada sebaliknya.
Jika perang dagang terjadi, Tiongkok akan mengalami posisi sulit dalam waktu dekat. Sementara, warga AS akan menyadari bahwa mereka harus membayar 'pajak' dalam jumlah besar untuk barang elektronik, misalnya.
Sementara, fakta bahwa China mengimpor barang, merakit, lalu mengekspor kembali barang-barang tersebut ke seluruh Asia -- dampak perang dagang dengan AS juga akan dirasakan Jepang, Korea, dan Taiwan.
Advertisement
3. Taliban Kembali Kuasai Afghanistan
Taliban dikhawatirkan bangkit dan kembali menguasai Afghanistan. Hampir 150 dari 400 distrik di negara tesebut kini berada di bawah kendali kelompok ekstrem tersebut. Mereka sedang berusaha merebut 50 lainnya.
Ini adalah angka tertinggi sejak tahun 2001, salah satunya didorong oleh melonjaknya aksi pembelotan anggota polisi dan militer Afghanistan.
Mirip dengan situasi kelahiran ISIS yang akhirnya mencaplok wilayah Irak dan Suriah, Taliban kini merekrut mantan-mantan musuhnya dari pihak aparat, mempersenjatai mereka dengan persenjataan canggih.
Saat ini ada sekitar 10 ribu tentara AS yang ditempatkan di Afghanistan, namun keberadaan mereka hanya membuat sedikit perbedaan.
Kecuali jika 'arah angin' berubah, tahun 2017 bisa jadi menjadi momentum pengambilalihan Afghanistan oleh Taliban.
4. Politisi Anti-Islam Kuasai PrancisÂ
Pemimpin partai sayap kanan Prancis, Front National, Marine Le Pen, dilaporkan unggul dalam serangkaian hasil survei terkait pemilu presiden mendatang.
Le Pen yang masuk dalam golongan euroskeptis bersikeras bahwa Uni Eropa seharusnya tidak lagi ada. Ia menyerupakan sebuah model baru berdasarkan gerakan yang ditujukan untuk bangsa melalui kerja sama erat dengan berbagai negara di Eropa juga Rusia sementara di lain sisi mengurangi ketergantungan kepada Washington lewat NATO.
Menurutnya, NATO tak lebih dari alat untuk memastikan bahwa negara-negara anggotanya bekerja sesuai kehendak AS.
Â
"Sangat jelas, kemenangan Donald Trump merupakan fondasi baru untuk membangun dunia baru," tegas Le Pen. "Kemenangan Trump adalah kemenangan rakyat atas elite," imbuhnya.
Selama ini, Le Pen kerap disandingkan dengan Trump karena kerap melontarkan pernyataan kontroversial. Sebut saja tentang pandangan mereka yang mendiskriminasi muslim dan imigran. Keduanya mengklaim ingin melindungi negaranya dari para ekstremis dengan menolak nilai-nilai yang banyak dibawa oleh imigran.
"Apakah kita ingin sebuah masyarakat multikultural yang mengikuti model dunia berbahasa Inggris di mana kelompok Islam fundamentalis berkembang atau kita ingin sebuah bangsa yang merdeka dengan orang-orang yang mampu mengendalikan nasib mereka sendiri atau kita ingin menjadi sebuah daerah yang diatur oleh teknokrat dari Uni Eropa?" tanya politikus yang dikenal anti-Islam itu.
Jika orang seperti Le Pen menjadi pemimpin Prancis, itu berarti sebuah negara besar Eropa diperintah oleh seorang 'neo-Nazi'.
Dan seandainya ia mewujudkan janji bahwa Prancis keluar dari Uni Eropa, itu akan berunjung pada keruntuhan total Uni Eropa dan menimbulkan gelombang kejut ekonomi yang akan mengguncang dunia.
Advertisement
5. Puncak Kekuatan Nuklir Korut
Selama ini kita mungkin meremehkan kekuatan nuklir Korea Utara. Pada 2017 bisa jadi warga Bumi akan menyaksikan peningkatan kemampuan Korut -- dari level menimbulkan suara latar bising hingga ke ancaman mengerikan yang nyata.
Pada 2016, Pyongyang melakukan dua kali tes nuklir, dari total lima kali yang dilakukan negara yang dipimpin Kim Jong-un itu.
Yang terakhir digelar pada Jumat 9 September, yang bertepatan dengan Hari Nasional Korea Utara, yang menandai awal kepemimpinan rezim negara itu.
Analis Korea Utara dari Middlebury Institute of International Studies, AS, Jeffrey Lewis mengatakan kepada Reuters bahwa skala getaran kala itu menunjukkan hasil ledakan dari suatu peledak berkekuatan 20 sampai 30 kiloton.
Jika dikukuhkan, itu akan merupakan perangkat ledakan terbesar Korut sampai saat ini.
Perkiraan konservatif menempatkan pertengahan 2018 sebagai titik momentum Korea Utara mencapai kemampuan nuklir penuh. Namun, ada kesempatan hal itu diraih lebih awal.Â
Hingga saat ini, Kim Jong-un sudah memiliki 20 hulu ledak nuklir, armada rudal, dan ego yang rapuh. Korea Utara memasuki klub nuklir dunia meski dengan pertaruhan mahal: ancaman kelaparan yang menimpa warganya.
Sebelumnya, Duta Besar Korea Utara untuk Indonesia, An Kwan-il, menjelaskan mengapa negaranya memiliki senjata nuklir.
"Ancaman nuklir AS terhadap Korut bukan fenomena sementara atau khayalan, tapi ancaman nyata yang sudah mereka tetapkan sebagai sebuah kebijakan yang sudah mereka laksanakan setiap hari kepada Korut selama puluhan tahun," ujarnya.
Oleh karena itu, negaranya tidak mau tinggal diam. Melawan ancaman nulkir dengan tindakan yang serupa dianggap Dubes An sebagai suatu bentuk pertahanan terbaik.
"Inilah sebab utama kenapa Korut terpaksa memiliki senjata nuklir dan terus memperkuatnya," sebut dia.
6. Balas Dendam ISIS ke Barat
Dalam 13 bulan sejak November 2015, ISIS dan para teroris yang terispirasi organisasi itu menewaskan lebih dari 260 orang yang tidak bersalah di Eropa dan lebih jika korban yang ada di Turki -- yang ada di perbatasan Asia dan Benua Biru -- dihitung.
Prospek mengerikan mungkin terjadi pada masa depan, setelah benteng ISIS di Irak dan Suriah runtuh.
Militan dari Barat akan kembali ke kampung halaman mereka, jumlahnya ribuan, dan semuanya punya satu tujuan: melakukan teror yang makan banyak korban jiwa dari kalangan warga sipil.Â
Menurut Europol, para militan yang kembali diarahkan untuk melancarkan serangan teror ke negara-negara Eropa, termasuk Prancis, Jerman, dan Inggris.Â
Yang menakutkan, serangan itu mungkin melibatkan senjata pemusnah massal seperti gas sarin dan anthrax.
Meskipun segala upaya akan dicegah, jika serangan sampai terjadi, itu bakal menimbulkan korban jiwa yang tak terhitung banyaknya.
Advertisement
7. Serangan Siber yang Melumpuhkan
Pada tanggal 23 Desember 2015, sekelompok hacker menyusup dan melumpuhkan tiga pembangkit listrik utama di Ukraina Barat.
Akibatnya, 230.000 rumah tanpa listrik di tengah musim dingin yang beku. Ini adalah serangan siber pertama dalam sejarah yang menyasar pada jaringan listrik.
Parahnya, pembangkit listrik Ukraina bukan target lunak. Mereka memiliki perlindungan di dunia maya lebih baik daripada kebanyakan yang ada di Amerika Serikat.
Â
Ahli kebijakan luar negeri telah memperingatkan dampak serangan siber yang bisa melumpuhkan infrastruktur penting di AS. Pada awalnya, peringatan tersebut terdengar tak penting, namun jadi serius setelah apa yang menimpa Ukraina.
Di Ukraina, listrik dipulihkan setelah enam jam dengan menggunakan cadangan (back up) manual -- yang tak dimiliki semua pembangkit di AS.Â
Jika serangan serupa menimpa AS, efeknya bisa dirasakan selama berbulan-bulan.
Pada pertengahan 2015, giliran media Perancis TV5 nyaris hancur oleh hacker Rusia. Pada  musim dingin 2016, jaringan listrik Ukraina kembali jadi sasaran.
Mungkin hanya masalah waktu sebelum ASÂ jadi target.Â
8. Genosida di Afrika dan Asia
Irak, Yaman, dan Suriah sudah jadi zona perang dan kematian. Sementara, sebagian Nigeria, Pakistan, dan Afghanistan dilanda kekerasan; konflik juga masih terjadi di Ukraina, Meksiko, dan Somalia.
Untuk 2017 dua negara lagi mungkin menambah daftar nestapa: Myanmar atau Burma dan Republik Afrika Tengah (CAR).
CAR yang terbagi secara etnis adalah negara gagal. Geng bersenjata berkeliaran hingga ke wilayah pedesaan. Pengamat khawatir, perselisihan di sana akan meluas ke kekerasan etnis -- jika tidak sampai memicu genosida.
Sementara di Myanmar, kisah sukses demokrasi pasca-junta militer selama 60 tahun dinodai pembantaian.
Atas nama penegakan hukum, pasukan keamananmenghancurkan desa-desa milik minoritas Rohingya, yang mengarah pada pembersihan etnis.
Sudah ada indikator terjadinya potensi genosida pada 2017.Â
Advertisement
9. Perang Global
Tahun 2016 dianggap pengulangan sejarah pada 1914 -- ketika Perang Dunia I menemukan akar penyebabnya.
Perang masa depan bisa terjadi di mana saja pada skala menghancurkan lokal hingga Perang Dunia III.
Saat Presiden ke-45 Amerika Serikat terpilih Donald Trump bersikap lunak pada Rusia, namun hal serupa tak ia tujukan ke China.Â
Dalam beberapa pekan terakhir, hubungan Trump dengan Beijing berlawanan sikap terkait isu Laut China Selatan dan Taiwan.
Meski China tak bakal nekat terlibat perang dengan AS, bukan tak mungkin Beijing menyerang sekutu Negeri Paman Sam.
Jika itu sampai terjadi, niscaya AS dan NATO akan terlibat. Jangan lupa, pembunuhan seorang pria setengah baya --Â putra mahkota Austria-Hungaria Archduke Franz Ferdinand dan istrinya Sophie pada 1914 bisa memicu Perang Dunia I.
Dan masih ada Rusia. Salah satu mantan wakil komandan NATO telah meramalkan bahwa Moskow akan mencaplok negara-negara Baltik pada tahun 2017.
Atau mungkin, pembunuhan seorang diplomat Rusia di Turki baru-baru ini bisa membuat hubungan Moskow dan Ankara yang belakangan mesra, menjadi tegang.Â
10. Pemberontakan di AS
Memang kedengarannya konyol, namun, gagasan bahwa sebuah kelompok di Amerika Serikat akan mempersenjatai diri dan memulai pemberontakan bukan tak mungkin terjadi.Â
ASÂ lebih terpolarisasi dari sebelumnya, khususnya pasca-Pilpres 2016 yang berlangsung panas dan penuh prasangka.
Hasil riset Pew Research menunjukkan, warga Amerika tidak lagi percaya pada sebangsanya yang berseberangan spektrum politik.
Kelompok ekstrem kiri dan kanan memanas-manasi para pendukungnya di media sosial. Pihak-pihak berlawanan saling berprasangka dan bahkan mempersenjatai diri.
Â
Mungkin berlebihan menganggap perang saudara akan terjadi pada tahun ini. Namun, fakta menunjukkan, rakyat AS saat ini dalam kondisi terbelah dan Negeri Paman Sam menjelma jadi tempat yang mengkhawatirkan.Â
Advertisement