Liputan6.com, Washington, DC - Saat Donald Trump berkampanye hingga resmi jadi presiden, isu Perang Dunia III makin gencar diramalkan. Ditambah lagi, Trump memilih tokoh aliran kanan dan garis keras untuk dijadikan orang terdekatnya.
Terutama Steve Bannon, Kepala Strategi Presiden Donald Trump juga anggota komite prinsip di National Security Council (NSC), yang disebut-sebut pernah meramal Perang Dunia III akan segera terjadi.
Baca Juga
Ramalan itu pernah ia ungkapkan pada tahun 2009.
Advertisement
Kendati demikian, sejak majalah Time menjuluki Steve Bannon, "Orang Kedua Terkuat di Dunia," ia kini membatasi diri untuk berbicara di depan umum.
Dengan diamnya Bannon, beberapa analis khawatir akan manuvernya
Kini para analis dan sejarawan mulai mencari lebih rinci soal latar belakang Bannon. Selain memang ia pendiri dan sempat jadi pemimpin redaksi website sayap kanan Breibart.
Dikutip dari The Nation, Jumat (10/2/2017), pada tahun 2014, dalam sebuah konferensi di dalam Vatikan, dia menyebut-nyebut "militansi gereja harus mampu melawan kelompok barbar baru yang disebut fasisme jihadis Islam."
Tak hanya itu, Bannon memuji gerakan Tea Party sebagai penggagas revolusi gerakan kanan melawan kapitalis dan 'party of Davos' (sebutan bagi kelompok ekonom yang kerap menghadiri Word Economic Forum).
"Sudah ada perang besar yang tengah memanas, dan perang ini telah mendunia," kata Bannon di Vatikan. "Tiap hari kita menolak untuk melihat," katanya lagi.
Selain itu, pada Februari dan Maret 2016 dalam sebuah siaran radio, Bannon kala itu terang-terangan mengatakan, ancaman bagi AS ada dua: China dan Islam.
"Kita akan berperang di Laut China Selatan dalam lima sampai 10 tahun nanti," kata dia pada Maret 2016. "Tidak ada keraguan tentang itu."
"Mereka membuat gundukan pasir (menjadi pulau buatan), memarkir kapal induk, dan menempatkan rudal di situ."
Bannon menambahkan, Beijing melakukannya secara terang-terangan dan mencoreng wajah Amerika Serikat. Menurut dia, Laut China Selatan adalah perairan kuno yang menjadi kepentingan banyak negara.
Tapi China bukan satu-satunya isu panas yang digelontorkan Bannon. Pada bulan November 2015, Bannon pernah mengeluarkan pernyataan tentang Timur Tengah dan Islam. "Perang akan terjadi lagi di Timur Tengah. "
Dia juga mengecap Islam sebagai agama "yang paling radikal" sedunia. Pemikiran Bannon tak hanya ada di kepalanya, tapi merasuk ke Gedung Putih.
Beberapa analisis menyebut, Bannon adalah sosok "pencuci otak" Donald Trump, memengaruhi sang presiden dengan doktrin bahwa "AS tengah berperang dengan Islam".
Pernyataan-pertanyaan itu sejalan dengan kepercayaan Bannon tentang dunia. Dengan menjadi tangan kanan Presiden Donald Trump, ia ingin mewujudkan ramalan-ramalan kelamnya. Yaitu perang frontal AS dengan negara-negara lain.
Bahkan, ramalan kelamnya itu terjadi jauh sebelum ia bergabung dengan Breitbart. Saat ia menjadi produser dan kepala penulis beberapa film dokumenter.
Film-film yang ia hasilkan adalah In the Face of Evil: Reagan’s War in Word and Deed (2004), Fire from the Heartland: The Awakening of the Conservative Woman and Battle for America (keduanya tahun 2010), The Undefeated (tentang Sarah Palin,2011), dan Occupy Unmasked (2012).
Sejarawan David Kaiser yang mendokumentasikan pernyataan dan sepak terjang Bannon dari awal mengatakan, "pria itu ingin menjadikan perannya sekarang untuk mewujudkan ramalan liarnya pada tahun 2009."
"Ia menelpon saya pada 2009 dan mengungkapkan teorinya tersebut," kata Kaiser yang kini menjadi profesor di Naval War College in Newport, Rhode Island.
Saat itu, Bannon ingin mewawancarai Keiser untuk dokumenter berdasarkan teori William Strauss dan Neil Howe, karena sejarawan itu ahli soal Strauss dan Howe yang membuat hisab peristiwa (termasuk konflik) di AS akan berputar tiap 80 tahun sekali.
Kaiser pergi ke Washington dan bertemu kelompok konservatif yang menyebut dirinya, Citizen United.
"Saya terpesona dengan betapa fasihnya Bannon tentang Strauss dan Howe yang memiliki pemikiran sejarah krisis Amerika berotasi siklus empat fase. Mereka menyebut "Fourth Turnings'," lanjutnya.
"Dia tahu benar teori konflik generasi yang kontroversial itu dan sangat menikmati berbicara dengan saya," kenangnya seperti ia katakan kepada Huffingtonpost.
"Ia berbicara tentang Fourth Turnings, kita punya Revolusi Amerika, Perang Saudara lalu Perang Dunia II. Konflik makin lama makin besar," ujar Keiser.
Keiser menyimpulkan Bannon meramal sekaranglah waktunya menjelang Fourth Turning, di mana konflik berikutnya setelah Perang Dunia II, berupa perang yang lebih dahsyat lagi.
"Saya tak percaya perang besar yang ia sebut adalah takdir. Dan, Bannon tampaknya keberatan dengan argumentasi saya. Akibatnya, sesi wawancara saya itu tak jadi ia masukkan ke dalam film dokumenternya yang berjudul, Generation Zero itu," tutup Keiser.
Teori Strauss dan Howe
William Strauss dan Neil Howe adalah sejarawan yang menelusuri sejarah AS. Keduanya menelurkan buku berjudul Generations: The History of America's Future 1584-2069 (Quill New York, 1991).
Keduanya percaya, setiap generasi memiliki karakteristik kolektif yang terbentuk oleh peristiwa-peristiwa besar yang menentukan bagaimana generasi itu dibesarkan. Kedua orang itu adalah 'pencipta' nama generasi, seperti generasi baby boomers, yang lahir pasca-Perang Dunia II.
Pola dari peristiwa itu selalu berulang (turning) dan terbagi menjadi empat bagian siklus, membutuhkan waktu sekitar 80 hingga 100 tahun. Yaitu, episode high (puncak), awakening (kebangkitan), unravelling (pemecahan), dan crisis (krisis).
Strauss dan Howe mendalilkan bahwa selama krisis keempat ini, pemimpin yang tak terduga akan muncul dari generasi tua untuk memimpin bangsa, dan apa yang mereka sebut "Hero" generasi (dalam hal ini, milenium), untuk sebuah tatanan baru. Orang ini dikenal sebagai Grey Champion.
Pemilihan atau acara lain -- mungkin perang -- akan membawa orang ini berkuasa, dan rezim mereka akan memerintah seluruh krisis. Bannon percaya, orang itu adalah Donald Trump.
Model siklus sejarah seperti itu dipandang hal yang menggelikan bagi para akademisi, kata Sean Wilentz, seorang profesor sejarah Amerika di Universitas Princeton.
"Ini hanya kesombongan belaka. Ini fiksi, itu semua dibuat, "kata Wilentz tentang model sejarah siklus yang dikemukakan Strauss dan Howe itu.
Michael Lind, seorang sejarawan dan salah satu pendiri New America Foundation, sebuah think tank liberal, menyebut teori Strauss dan Howe itu semacam "pseudoscience" dan mengatakan, "mereka memprediksi tentang masa depan Amerika yang samar-samar seperti 'ramalan' yang kita temukan dalam kue keberuntungan."
Advertisement