Presiden Baru Korsel Ternyata Keturunan Korut

Moon Jae-in juga memiliki pandangan berbeda terhadap Korea Utara dan diharapkan memadamkan suasana panas di Semenanjung Korea.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 10 Mei 2017, 16:00 WIB
Diterbitkan 10 Mei 2017, 16:00 WIB
20170509-Moon Jae-in Menangi Pilpres Korsel-AP
Kandidat Presiden Korsel, Moon Jae-in (64) bersama Ketua Partai Demokrat berdiri di atas panggung untuk menyampaikan pidato kemenangannya di Seoul, Selasa (9/5). Moon menang telak dengan mengantongi 41,4 persen suara. (AP Photo/Ahn Young-joon)

Liputan6.com, Seoul - Warga Korea Selatan telah memilih Moon Jae-in sebagai presiden mereka. Moon adalah pengacara hak asasi manusia dan disebut-sebut sebagai sosok liberal.

Kiprahnya menjadi orang nomor satu di Korea Selatan dianggap mengembalikan kekuasaan liberal -- setelah hampir satu dekade pemerintahan dikuasai oleh kubu konservatif.

Kemenangan Moon juga mengakhiri skandal drama korupsi, protes massal, dan pemecatan presiden Park Geun-hye.

Dikutip dari New York Times, Rabu (10/5/2017), Moon memperoleh suara 41 persen menurut National Election Commission atau Komisi Pemilu. Ia mengalahkan Hoong Joon-pyo, seorang konservatif yang hanya mampu meraup 24 persen suara, juga kandidat ketiga, Cheol-soo, (21 persen).

Tak seperti pendahulunya, Moon tak harus menunggu dua bulan masa transisi. Ia segera disumpah dan dilantik pada hari ini, Rabu 10 Mei 2017.

Moon Jae-in juga memiliki pandangan berbeda terhadap Korea Utara. Posisinya lebih lunak dari dua pendahulunya, kaum konservatif yang cenderung memandang Korut harus diberi sanksi lebih ketat.

Kandidat Presiden Korsel, Moon Jae-in mengangkat tangan usai hasil hitung cepat memperlihatkan dia unggul dibanding calon lainnya di Seoul, Selasa (9/5). Calon Partai Demokrat itu menang telak dengan mengantongi 41,4 persen suara. (AP Photo/Lee Jin-man)

Memang, Moon mengutuk rezim diktator Korea Utara selama masa kampanyenya.

Namun, ia juga berargumentasi bahwa Korea Selatan harus menerima orang Korea Utara untuk mencapai reunifikasi yang damai pada suatu hari nanti.

"Untuk mencapai itu, kita harus menyadari bahwa Kim Jong-un adalah penguasa Korut tapi sekaligus partner dialog kita," kata Moon.

"Tujuannya adalah membawa Korut kembali ke meja perundingan," ia melanjutkan.

Moon berpendapat, opsi Washington untuk menjatuhkan sanksi dan tekanan, tidak efektif. Saat ini, kata Moon, adalah saatnya menjalin dialog dengan Korea Utara --sebuah pendekatan yang disukai oleh China.

Dia juga meminta peninjauan ulang penerapan sistem pertahanan anti-rudal THAAD milik AS di Korea Selatan yang telah dikecam pemerintah China dan Rusia.

Dalam sebuah pidato di televisi nasional setelah kemenangannya, Moon menyatakan bahwa dia akan "menjadi presiden bagi semua orang".

Pria berkaca mata itu mengatakan bahwa dia akan bekerja sama dengan para saingan politik untuk menciptakan sebuah negara di mana "peraturan peradilan dan akal sehat berlaku."

Dari Pengungsi Korut hingga ke Blue House

Banyak orang berpendapat, Moon Jae-in adalah sosok yang dianggap mampu membawa kedamaian di Korea Utara dan menyeimbangkan hubungan antara AS dan China.

Selain pendekatan berbeda dan terhadap Korut, ia dianggap bisa menurunkan suhu panas yang kini tengah bergejolak di Semenanjung Korea.

Salah satu alasannya adalah latar belakang yang ia miliki.

Orangtua Moon melarikan diri dari pemerintahan Komunis saat Perang Korea terjadi. Mereka adalah salah satu dari puluhan ribu warga yang dievakuasi dari pelabuhan Hungnam di Korea Utara.

Para pengungsi Korut saat itu dibantu oleh kapal angkatan laut AS. Adapun evakuasi terjadi pada musim dingin pada 1950.

Orangtua Moon kerap bercerita bahwa mereka kerap ditawari permen-permen manis Natal oleh para tentara AS selama perjalanan evakuasi itu.

Moon lahir pada Januari 1953 setelah orangtuanya tinggal di kamp pengungsi di pantai selatan Korsel. Ayahnya seorang pekerja kasar, sementara ibunya menjual telur, arang, dan barang-barang AS di pasar gelap.

Keluarga besar ibu Moon masih banyak yang tinggal di Korut.

"Jika Korea bisa reunifikasi suatu hari nanti, yang pertama aku lakukan adalah menggandeng tangan ibuku ke kampung halamannya," ungkap Moon kepada koran Dong-A Ilbo.

Moon Jae-In saat masih menjadi penasihat senior Presiden Roh Moo-hyun bersama sang ibu saat reunifikasi Korut-Korsel tahun 2004  di MOUNT KUMGANG, NORTH KOREA (AFP)

"Mungkin aku bisa pensiun dan menjadi pengacara di kampung halaman ibuku..."

Pada 1980-an, Moon pernah membela mahasiswa dan aktivis buruh yang dianiaya di bawah kekuasaan militer dan menjalani persahabatan seumur hidup dengan seorang rekan pengacara, Roh Moo-hyun.

Ketika Roh terpilih menjadi presiden pada 2002 dan menyatakan bahwa dia akan menjadi pemimpin Korea Selatan pertama yang tidak mau tunduk dengan AS, Moon melayani sebagai kepala stafnya.

Kubu konservatif sempat meragukan Moon karena hubungannya dengan Roh.

Namun beberapa mantan pejabat Amerika yang mengerti soal kabinet Roh mengingat Moon lebih praktis dan fleksibel daripada pejabat lainnya.

Dalam memoarnya, Moon membela keputusan Roh yang menandatangani sebuah perjanjian perdagangan dengan Amerika Serikat dan mengirim pasukan ke Irak meskipun demonstrasi menolak gaya politik liberal Roh.

Roh menyelesaikan masa jabatan lima tahun di tahun 2008. Lalu, di tahun berikutnya ia bunuh diri karena jaksa menyelidiki tuduhan korupsi terhadap keluarganya.

"Ini adalah hari yang paling menyakitkan dalam hidup saya," tulis Moon dalam memoarnya, menggambarkan kematian temannya sebagai "sama seperti pembunuhan politis" dan menyalahkan pembalasan politik oleh pemerintah konservatif baru yang ingin mendiskreditkan dia.

Moon Jae-in membawa karangan bunga Roh Moo-hyun pada tahun 2008 (JUNG YEON-JE / AFP)

Moon memasuki pemilihan presiden 2012 yang berjanji untuk menyelesaikan pekerjaan Roh dengan memerangi korupsi, pengaruh para konglomerat (chaebol), dan apa yang dia sebut sebagai "jaksa bermotivasi politik" -- dan dengan mengupayakan perdamaian dengan Korea Utara.

Tapi dia kalah jauh dari, Park Geun-hye putri dari mantan Presiden Korea Selatan, Park Chung-hee, dan menghabiskan empat tahun berikutnya sebagai pemimpin oposisi.

Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, Moon mengingat bagaimana dia mengunjungi pendahulu Roh, Kim Dae-jung, peraih Nobel Perdamaian dan arsitek kebijakan 'sinar matahari', beberapa saat sebelum Kim meninggal pada 2009.

Kim begitu lemah saat itu sehingga dia harus diberi makan oleh istrinya, dan dia patah hati.

Dia telah mengabdikan sebagian besar kariernya untuk membangun kepercayaan dengan Korea Utara melalui bantuan kemanusiaan dan ekonomi. Namun kelompok konservatif yang berkuasa membongkar warisan tersebut dan menerapkan sanksi terhadap Korea Utara.

"Presiden Kim mengatakan bahwa dia tidak dapat mempercayai apa yang ia lihat," kenang Moon. "Saat itu apa yang saya pikir adalah permintaan terakhirnya sosok yang tengah menghadapi maut. Dia meminta kami untuk mengambil alih pemerintahan pada suatu hari nanti..."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya