Irak hingga Korea, Ini 5 Perang yang Dikobarkan AS 'Tanpa Restu'

Berikut 5 peperangan AS yangdilaksanakan tanpa otorisasi dan izin dari Kongres.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 30 Mei 2017, 09:09 WIB
Diterbitkan 30 Mei 2017, 09:09 WIB
Kapal induk USS Carl Vinson dikawal sejumlah kapal perang
Kapal induk USS Carl Vinson dikawal sejumlah kapal perang (AFP)

Liputan6.com, Washington, DC - Pada April 2017 lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memerintahkan serangan rudal Tomahawk terhadap Suriah.

Serangan rudal tersebut diklaim oleh Presiden Trump sebagai aksi balasan atas serangan senjata kimia di Idlib, Suriah, yang diduga didalangi oleh Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Uniknya, tindakan agresi sang presiden ke-45 AS ke Suriah tersebut ternyata dilakukan tanpa terlebih dahulu meminta otorisasi dari Kongres Amerika Serikat. Hal ini menimbulkan kontroversi mengenai kekuatan dan wewenang presiden dalam proses upaya pengerahan kekuatan militer.

Menurut Konstitusi AS, presiden hanya mampu mengerahkan sumber daya militer untuk kepentingan ofensif apabila Kongres telah terlebih dahulu mengumumkan perang terhadap sebuah negara.

Namun, Presiden Trump dapat menjustifikasi tindakannya dengan 'The 1973 War Powers Act'. Undang-undang itu memberikan alternatif kewenangan yang lebih fleksibel kepada presiden.

Menurut The 1973 War Powers Act, presiden dapat memerintahkan militer untuk melakukan tindakan ofensif dalam rentang waktu 60 hari. Lewat dari itu, presiden tetap harus meminta otorisasi dari Kongres.

Akan tetapi, sejarah penuh dengan contoh di mana sang presiden --karena berbagai alasan-- mampu mendeklarasikan perang tanpa sama sekali mendapatkan otorisasi dari Kongres.

Berikut, 5 perang AS yang pecah tanpa otorisasi dari Kongres, seperti yang dirangkum oleh Liputan6.com dari Listverse.com, Senin, (29/5/2017).

1. Invasi Haiti, 1994-1995

Kapal induk Amerika Serikat, USS Eisenhower, jelang persiapan invasi AS ke Haiti, 1994 (Wikimedia Commons)

Invasi ini mengambil latar belakang saat presiden Haiti terpilih, Jean-Bertrand Aristide, dikudeta oleh militer yang dipimpin oleh Jenderal Raoul Cedras, seorang perwira angkatan bersenjata dengan tendensi diktator pada 1994.

Tak mau salah satu negara tetangga terdekatnya dikuasai oleh seorang diktator, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton memutuskan untuk menginvasi Haiti demi mengembalikan Aristide ke kursi kepresidenan.

Dirancanglah operasi militer bernama Uphold Democracy oleh AS. Negeri Paman Sam menyiagakan Divisi Infanteri Lintas Udara ke-82, komponen Resimen Ranger ke-75, Pasukan Khusus ke-10, dan Angkatan Udara AS untuk menginvasi Haiti. Pasukan militer dan diplomat mendesak agar Jenderal Cedras mengembalikan tampuk kekuasaan kepada Aristide.

Menyadari bahwa Jenderal Cedras tidak akan mampu menandingi kedigdayaan militer AS, ia pun menyerah dan mengembalikan kursi kepresidenan kepada Aristide.

Baik publik AS maupun mayoritas Kongres AS dari Partai Demokrat dan Partai Republik awalnya menentang intervensi tersebut.

Presiden Clinton berpendapat bahwa sebuah resolusi Dewan Keamanan PBB, mengijinkan intervensi anggota DK PBB terhadap sebuah negara yang dikudeta dan memberinya hak untuk bertindak tanpa persetujuan dari Kongres AS.

Meski operasi itu sukses besar, akan tetapi Presiden Aristide tak mampu menjadi pemimpin yang baik. Ia terbukti memanipulasi hasil pemilu Haiti untuk terus duduk di kursi kepresidenan. Pada akhirnya, ia kembali dikudeta pada 2004, yang secara ironis menyalahkan AS atas pemakzulannya.

 

2. Ekspedisi Siberia, Soviet Rusia 1918-1920

Pasukan Ekspedisi Amerika Serikat ke Siberia 1918 (Wikimedia Commons)

Menjelang akhir Perang Dunia I, Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson memerintahkan sekitar 8.000 tentara ekspedisi AS ke Siberia, Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia (RSFS Rusia, pra-Uni Soviet) sebagai bagian dari intervensi Sekutu ke medan Perang Dunia I.

Di saat yang sama, kaum Bolshevik (komunis Rusia, cikal bakal pendiri Uni Soviet) mendeklaraskan perang dan menggulingkan pemerintahan RSFS Rusia serta menuntut perdamaian dengan kubu Poros yang dipimpin oleh Jerman.

Sekutu dan AS berharap bahwa dengan membantu menyingkirkan kaum Bolshevik dari kekuasaan, pihak pro RSFS Rusia akan kembali berperang melawan Jerman dan kubu Poros.

Akan tetapi, kehadiran pasukan Negeri Paman Sam di Siberia menjadi bencana. Mereka justru dikepung oleh pasukan RSFS Rusia dan Bolshevik yang tidak menginginkan intervensi AS di Negeri Beruang Merah. Situasi buruk yang dialami militer AS bertambah ketika mereka berhadapan dengan suhu rendah Siberia, -46 derajat celcius.

Presiden Wilson bersikukuh ingin menggulingkan pemerintahan Bolshevik. Namun, oposisi publik baik di AS dan RSFS Rusia terus meningkat.

Akhirnya, pada 1920, pasukan ekspedisi AS ditarik mundur dari Siberia. Dan, Tentara Merah Bolshevik menjadi cikal-bakal Uni Soviet, seteru nomor satu AS pada era Perang Dingin.

 

3. Operation Desert Fox, Irak 1998

Pesawat bomber Amerika Serikat, Rockwell B-1 Lancer, saat persiapan jelang Operation Desert Fox, 1998 (Wikimedia Commons)

Presiden Amerika Serikat Bill Clinton melaksanakan Operation Desert Fox 1998, nama sandi operasi pemboman AS selama tiga hari terhadap Irak untuk menghancurkan sejumlah lokasi yang diduga sebagai pabrik pembangunan Senjata Pemusnah Massal Saddam Hussein.

Meski pemboman itu dinilai efektif menghancurkan sejumlah infrastruktur militer Irak, masih belum jelas apakah serangan tersebut berdampak besar pada pembuatan Senjata Pemusnah Massal Saddam Hussein, --yang hingga kini masih belum dapat dipastikan eksistensi senjata tersebut.

Presiden Clinton dilaporkan tidak meminta otorisasi kepada Kongres AS untuk melaksanakan serangan itu. Ia justru berargumen bahwa The 1998 Iraq Liberation Act memberikan justifikasi hukum atas pemboman tersebut.

Salah satu kutipan undang-undang 1998 itu menjelaskan bahwa "(The 1998 Iraq Liberation Act) harus menjadi kebijakan AS untuk mendukung usaha menghapus rezim yang dipimpin oleh Saddam Hussein dari kekuasaan di Irak".

Meskipun Kongres AS --yang pada saat itu didominasi oleh Partai Republik, sementara Clinton dari Partai Demokrat-- mendukung pelengseran Saddam Hussein, beberapa di antaranya justru menilai, keputusan Presiden Clinton absurd.

Karena, Operation Desert Fox dilaksanakan bertepatan dengan hangatnya isu pemakzulan sang presiden akibat skandal perselingkuhannya dengan Monica Lewinsky. Sehingga muncul dugaan bahwa operasi tersebut hanyalah pengalihan isu atas skandal tersebut.

Pemboman tersebut tidak begitu berdampak bagi Saddam Hussein. Ironisnya, operasi tersebut justru berdampak besar bagi Clinton.

Karena pada hari terakhir Operation Desert Fox, pada 19 Desember 1998, Bill Clinton dimakzulkan oleh Kongres AS atas skandal perselingkuhannya.

 

4. Intervensi Libya, 2011

Peluncuran rudal Tomahawk dari USS Barry saat intervensi militer Amerika Serikat terhadap Libya, 2011 (Wikimedia Commons)

Perang Saudara Libya dimulai pada Februari 2011, setelah pasukan keamanan Moammar Khadafi mulai mengeksekusi demonstran yang menuntut pengunduran diri sang diktator.

Meskipun para demonstran dengan cepat merebut Kota Benghazi, pasukan Khadafi merespons cepat aksi tersebut, menandai peristiwa pertumpahan darah antara pasukan sang diktator dengan warga sipil.

Mengutip resolusi Dewan Keamanan PBB untuk melindungi warga sipil dan memberlakukan zona larangan terbang, pasukan NATO memulai operasi serangan udara untuk melawan Khadafi. Intervensi itu dengan cepat membalikkan situasi untuk keuntungan kelompok demonstran dan warga sipil anti-Khadafi.

Menurut laporan, Presiden Amerika Serikat Barack Obama tidak meminta otorisasi Kongres sebelum meluncurkan pesawat AS untuk melakukan serangan udara. Namun, presiden ke-44 AS itu berargumen bahwa The 1973 War Powers Act tidak berlaku untuk kasus intervensi Libya.

Karena, intervensi militer itu dilakukan untuk mendukung operasi tempur NATO dan bukan sebuah operasi militer tunggal AS. Sementara itu, Kongres tetap tidak menerima justifikasi tersebut.

Akhirnya, kampanye udara berakhir pada bulan Oktober 2011 setelah Khadafi ditangkap saat bersembunyi di sebuah saluran pembuangan dan dibunuh oleh massa. Hingga kini, intervensi Libya masih menjadi salah satu operasi militer yang kontroversial.

 

5. Perang Korea, 1950

Evakuasi Waduk Chosin, Perang Korea (Wikimedia Commons)

Pada Juni 1950, pemimpin Korea Utara Kim Il-sung memerintahkan invasi besar-besaran ke Korea Selatan. Hal ini membuat Amerika Serikat terkejut.

Presiden AS Harry Truman enggan merespons serangan tersebut karena khawatir akan memicu keterlibatan Uni Soviet dan China dalam konflik bersenjata melawan Negeri Paman Sam.

Kemudian, dalam sebuah blunder diplomatik terbesar sepanjang sejarah, Uni Soviet memutuskan untuk memboikot pertemuan Dewan Keamanan PBB Januari 1950 yang membahas tentang invasi Korea Utara ke Korea Selatan.

Pemboikotan Uni Soviet dilakukan karena China tidak diberi jatah kursi dalam pertemuan DK-PBB. Alhasil, Uni Soviet pun absen pada sebuah pertemuan DK-PBB.

Dan, muncullah resolusi ke-84 yang disahkan pada 7 Juli 1950. Melalui resolusi itu, DK-PBB mengeluarkan dekrit yang meminta negara anggota PBB untuk membantu Korea Selatan menghentikan invasi Korea Utara. Uni Soviet tidak dapat memberikan veto terhadap resolusi tersebut.

Presiden Truman menggunakan resolusi PBB sebagai pembenaran untuk intervensi AS ke Korea.

Meskipun Perang Korea terus berlanjut selama tiga tahun kemudian dan menghasilkan akhir yang anti-klimaks, Presiden Truman tidak pernah meminta otorisasi kepada Kongres AS.

 

 

 

 

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya