Liputan6.com, London - Minggu dini hari, 31 Agustus 1997, Putri Diana tewas. Terowongan Pont de l'Alma di Paris, Prancis menjadi lokasi kecelakaan maut yang merenggut nyawanya.
Kala itu, Mercedes hitam yang membawa Lady Di dan kekasihnya, Dodi Al Fayed melaju kencang, menghindari kejaran paparazi, sebelum menabrak dinding terowongan hingga hancur.
Putri Diana yang masih bernyawa dilarikan ke Rumah Sakit Pitie-Salpetriere, Paris. Namun, nyawanya tak terselamatkan.
Advertisement
Baru beberapa jam kemudian, kabar duka tersebut sampai di Inggris, tanah air sang putri.
Pagi itu, National Grid mencatat lonjakan pemakaian listrik, yang digunakan warga Britania raya menonton televisi yang menayangkan kabar kematian Putri Diana.
Sementara itu, Istana Buckingham sibuk bukan kepalang mempersiapkan pemakaman hanya dalam waktu satu pekan.
Ketika Diana meninggal, Pangeran William dan Harry baru berusia 15 dan 12 tahun. Saat sang ibu mengembuskan napas penghabisan, keduanya sedang tertidur.
Tak ada yang tega membangunkan dua pangeran cilik, untuk menyampaikan kabar duka itu.
Belakangan, jelang peringatan 20 tahun meninggalnya Putri Diana, sebuah dokumenter dirilis. Film berjudul 'Diana: 7 Days That Shook The Windsors' baru saja disiarkan di Channel 5 di Inggris.
Seperti dikutip dari News.com.au, film dokumenter itu menceritakan apa yang terjadi setelah kematian Putri Diana.
Dalam dokumenter dikisahkan bagaimana Ratu Inggris Elizabeth II memerintahkan semua televisi dan radio di tempat tinggal Pangeran William dan Harry di Balmoral disembunyikan.
Tujuannya, agar kedua pangeran muda tidak mengalami trauma saat mendengar cerita mengerikan terkait kecelakaan ibu mereka.
Untuk mempersiapkan proses pemakaman, pihak kerajaan menggandeng pihak kepolisian, kantor perdana menteri, dan keluarga besar Spencer -- dari mana Putri Diana berasal.
Tak hanya itu beberapa orang dari Istana Kensington, Buckingham dan St James juga diperintahkan untuk mempersiapkan pemakaman mendiang Diana.
Pangeran Charles awalnya dilarang menaiki pesawat khusus Royal Plane, menuju Paris, untuk menjemput jasad mantan istrinya. Namun, pewaris takhta Kerajaan Inggris itu kukuh dengan pendiriannya.
Juga dilaporkan bagwa Pangeran Harry merengek, ingin ikut ayahnya ke Prancis. Namun, ia diperintahkan untuk tetap di rumah.
Hingga akhirnya, mantan asisten Diana, Paul Burrell dan Colin Tebbutt yang ikut ke Paris.
Keduanya diperintahkan untuk menyediakan sebuah kamar jenazah darurat untuk menyimpan jasad Diana. Karena suhu tinggi di bulan Agustus, ruangan tersebut menjadi sangat panas.
Burrell mengungkapkan perasaannya saat melihat jasad Diana di Rumah Sakit Pitie-Salpetriere.
"Sejujurnya, saya sempat berfikir, 'Dia tidak benar-benar mati, ini pasti sebuah lelucon, lelucon yang tak lucu," ungkap Burrell.
Tebbutt juga menyatakan hal yang sama. "Semua orang kaget...saya masih melihat rambut sang putri terlihat bergerak, akibat embusan kipas angin. Saya sempat berpikir, dia masih hidup," kata dia.
Dia menambahkan, Pangeran Charles menghampiri dirinya dan mengucapkan terima kasih karena membantu proses pemulangan jenazah Diana.
Setelah itu rombongan pemuka agama memasuki ruang di mana jasa Diana berada. Pintu pun ditutup.
Anji Hunter yang saat itu menjabat sebagai penasihat Perdana Menteri Tony Blair menceritakan suasana menegangkan dalam proses pengaturan pemakaman. Termasuk siapa saja yang harus berjalan di belakang peti mati.
Dia mengatakan bahwa William dan Harry awalnya enggan, namun kedua pangeran berubah pikiran pada saat-saat terakhir. Mereka berdua memilih untuk berjalan di belakang peti mati di samping ayah, kakek dan paman mereka.
Pada hari itu, sekitar dua juta orang berjejer di jalanan untuk menyaksikan perjalanan peti jenazah sejauh empat mil, melalui kota London. Mereka datang untuk memberikan penghormatan terakhir bagi Putri Diana.