Donald Trump Tunjuk Ahli Korut sebagai Dubes AS untuk Korsel?

Hingga kini, pos diplomatik AS di Seoul masih kosong. Padahal, situasi di Semenanjung Korea tengah memanas.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 31 Agu 2017, 15:03 WIB
Diterbitkan 31 Agu 2017, 15:03 WIB
Rudal Korea Utara Lintasi Langit Jepang
Sebuah program TV melaporkan peluncuran rudal Korea Utara di Tokyo, Jepang, Selasa (29/8). Ini merupakan rudal Korut pertama yang berhasil melintasi Jepang sejak April 2009 saat Pyongyang meluncurkan rudal jarak jauh Taepodong-2. (AP/Shizuo Kambayashi)

Liputan6.com, Washington, DC - Presiden Donald Trump dilaporkan memilih seorang ahli Korea Utara yang akan ditugaskan sebagai Duta Besar Amerika Serikat untuk Korea Selatan. Langkah ini dinilai pertanda bahwa Gedung Putih percaya, menekan China adalah pilihan diplomatik terbaik untuk mencegah perang nuklir di kawasan itu.

Seperti dikutip dari The Guardian pada Kamis (31/8/2017), sosok yang digadang-gadang akan mengisi pos diplomatik AS di Seoul adalah Victor Cha. Ia adalah mantan Direktur Urusan Asia di Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih dan pernah pula menjabat sebagai Wakil Ketua Delegasi AS dalam perundingan multilateral dengan Korut semasa pemerintahan Presiden Bush.

Cha adalah seorang keturunan Korea-Amerika yang selama lebih dari dua dekade terakhir menulis soal Korea, China, dan Jepang. Ia dianggap seorang yang mendukung kebijakan agresif.

Sebuah laporan menyebutkan bahwa penunjukan Cha akan segera diumumkan. Namun, ia masih harus melalui uji kepatutan dan kelayakan oleh Senat.

Cha yang kini menjabat sebagai Direktur Studi Asia di Georgetown University baru-baru berargumen bahwa China perlu berbuat banyak untuk menekan Korut demi mengurangi ambisi nuklir. Ia menyebut Beijing telah meninggalkan beban berat bagi AS.

Pendekatan Baru

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Washington Post pada Juli lalu, Cha mengemukakan sebuah pendekatan baru. "Menghidupkan kembali kesepakatan lama yang telah diputuskan Korut tidak akan berhasil. China tidak akan memberi tekanan yang berarti. Dan serangan militer dapat memicu perang habis-habisan yang berujung pada jatuhnya jutaan korban jiwa".

Cha menambahkan, "Tidak cukup meminta China untuk menekan Pyongyang agar berunding dengan AS. China juga harus menjadi bagian utama dari negosiasi. Adalah China, bukan AS, yang seharusnya mendesak Korut untuk menyudahi program nuklir dan rudalnya".

Pria itu juga menulis bahwa tidak realistis mengharapkan China untuk mendukung perubahan rezim di Pyongyang karena berbagai alasan, termasuk ikatan historis Tiongkok dengan saudara komunisnya dan ketidakpercayaan Beijing terhadap Washington.

Meski demikian, Cha menentang tawaran China yang bersedia menekan Korut jika AS menghentikan latihan militernya di Semenanjung Korea.

Cha berpendapat bahwa China seharusnya mengancam menarik kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan Korut, kecuali negara pimpinan Kim Jong-un itu bersedia dimonitor oleh Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). Ia yakin saat ini China akan bersedia untuk lebih memanfaatkan pengaruh ekonominya.

"Beijing menginginkan jalan keluar diplomatik dari krisis saat ini. Presiden Xi Jinping masih berupaya membangun hubungan baik dengan Trump. Dan Tiongkok frustrasi dengan pemimpin Korut, Kim Jong-un, yang telah mengeksekusi anggota keluarga dan sejumlah tokoh yang dekat dengan mereka. Semua ini membuat kondisinya lebih memungkinkan bagi China untuk memanfaatkan pengaruh ekonominya," terang Cha.

Dalam jangka panjang, menurut Cha, kemunculan pasar di Korut akan membantu mengembangkan sebuah golongan yang independen dari rezim dan kondisi ini sangat tidak sesuai dengan kediktatoran Kim Jong-un.

Kosongnya pos diplomatik AS di Seoul dinilai sangat memalukan bagi Gedung Putih mengingat situasi genting yang terjadi di Semenanjung Korea hari-hari belakangan. Langkah maju-mundur pemerintahan Trump disebut-sebut membuat sejumlah negara khawatir.

 

Saksikan  video menarik berikut:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya