Liputan6.com, Singapura - Indonesia dan Singapura sejatinya punya musuh bersama: terorisme dan radikalisme. Ancaman tersebut muncul dalam berbagai bentuk.
Jika sebelumnya jaringan Jemaah Islamiyah (JI) yang berafiliasi dengan Al Qaeda menjadi dalang teror Bom Bali dan mencoba menjadikan Negeri Singa target serangan, belakangan ISIS menebar ancaman ke penjuru dunia dan rajin merekrut generasi muda lewat propaganda di internet.
Wakil Perdana Menteri Singapura, Teo Chee Hean mengatakan, terorisme hadir dalam tiga tingkatan yakni, global, regional, dan lokal. Untuk itulah, kerja sama antarnegara, khususnya Indonesia dan Negeri Singa, harus dijalin.
Advertisement
"Pendekatan keamanan harus dilakukan, juga kerjasama antar lembaga intelijen," kata dia saat menyambut peserta Indonesia Journalists Visit Programme (IJVP), Selasa 3 Oktober 2017.
Baca Juga
Wakil PM Singapura mengapresiasi keberhasilan aparat Indonesia menggagalkan plot serangan teror yang menargetkan negaranya. "Indonesia menggagalkan dan menahan kelompok radikal yang berniat melakukan serangan roket terhadap Singapura," kata Teo Chee Hean.
Kelompok teror tersebut, dia menambahkan, menamakan diri sebagai 'Katibah Gonggong Rebus', yang mengambil istilah makanan terkenal di Batam -- lokasi di mana serangan teror direncanakan.
Aksi jahat kelompok radikal tersebut terbongkar pada Agustus 2016. Kala itu Densus 88 Antiteror menangkap enam orang terduga teroris dari Batam yang diduga akan melancarkan teror serangan teror roket ke Marina Bay, Singapura. Mereka diduga terkait dengan Bahrun Naim, yang diduga pendukung ISIS sekaligus yang diyakini sebagai dalang serangan teror Thamrin.
"Itulah salah satu contoh kerja sama erat dua negara melalui badan-badan keamanan. Kami berharap bisa memperkuat hubungan tersebut di masa depan," kata pria yang juga menjabat sebagai Menteri Koordinator Keamanan Nasional itu.
Selain pendekatan keamanan, Wakil PM Teo Chee Hean juga menekankan pentingnya masing-masing negara untuk mewujudkan masyarakat yang inklusif, Indonesia dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Juga, Singapura dengan masyarakatnya yang multirasial.
"Sangat penting bagi komunitas untuk mengambil sikap, tegas menentang eksklusivitas, ekstremisme, dan radikalisme," kata dia. "Kita bekerja sama melawan tiga musuh bersama, baik bagi Indonesia maupun Singapura," kata dia.
Yang juga tak kalah penting dalam program penanggulangan terorisme di Singapura adalah merehabilitasi mereka yang terpengaruh paham radikalisme agar bisa secepatnya kembali ke masyarakat.
"Mereka adalah warga negara kami. Kami tak ingin terus menahan orang-orang itu. Kami ingin membebaskan mereka, mengembalikan ke masyarakat sesegera mungkin," kata dia.
Terkait upaya tersebut, Wakil PM Singapura menyoroti arti penting Religious Rehabilitation Group (RRG), organisasi nirlaba yang relawannya adalah para ulama dan asatizah atau guru agama, yang membantu menderadikalisasi dan merehabilitasi mantan pengikut aliran ekstrem lewat konseling dan rehabilitasi.
"Untuk membantu mereka lepas dari tendensi melakukan kekerasan, untuk kembali ke masyarakat," kata dia.
Lawan Ekstremisme dengan Kerukunan
Agama sejatinya menjadi kekuatan yang luar biasa bagi perdamaian dan kebaikan. Namun, di sisi lain, juga bisa disalahgunakan atau 'dibajak' untuk menyebarkan paham-paham ekstremis maupun kekerasan, yang bisa memecah belah masyarakat.
"Apalagi ketika agama berkelindan dengan perbedaan ras dan agama, situasinya bisa kian sensitif," kata Wakil Perdana Menteri Singapura, Teo Chee Hean saat membuka acara pertemuan ke-17 Regional Islamic Da’wah Council of Southeast Asia and The Pacific (RISEAP), Selasa 3 Oktober 2017.
Dia menambahkan, tantangan yang dihadapi banyak negara adalah, bagaimana membantu membangun komunitas yang tangguh dan bersatu di mana kaum minoritas bisa berkembang demi menghindari konflik.
Misalnya, "Komunitas Muslim di Singapura hidup harmonis dalam masyarakat yang kohesif, multi-rasial dan multi-agama. Hal itu tidak diwujudkan dalam semalam. Kerja sama semua masyarakat tetap diperlukan," kata Teo Chee Hean.
Pria kelahiran 1954 itu menambahkan, ada tiga prioritas untuk menciptakan kerukunan beragama.
Pertama adalah membangun masyarakat yang terbuka, inklusif dan terpadu. "Sikap saling pengertian dan saling menghormati akan memperkuat antarmasyarakat. Ini akan membantu mendorong integrasi, mengurangi potensi konflik, memberikan kepastian kepada semua masyarakat terutama komunitas minoritas, dan memperbesar ruang bersama, sehingga semua masyarakat bersatu dalam tujuan bersama," kata dia.
Singapura, Teo menambahkan, menerapkan kebijakan dan program agar semua kalangan masyarakat hidup berdampingan dan berinteraksi satu sama lain dengan bebas. Misalnya, dalam hal perumahan dan sarana pendidikan.
Hal kedua yang harus dilakukan, adalah kontekstualisasi praktik keagamaan dalam masyarakat multi-agama.
Salah satu caranya adalah membentuk aliansi lintas agama dalam hal kebajikan, melalui dialog atau kegiatan sosial seperti memberi makan orang miskin atau sakit.
Dan yang tak kalah penting adalah untuk melawan ekstremisme dan kekerasan dalam segala bentuk.
"Ketegangan dan ketidakpercayaan antar-kelompok dapat dengan mudah dieksploitasi oleh mereka yang ingin memecah-belah masyarakat dan menyebarkan ideologi radikal," kata Wakil PM Singapura. Apa yang terjadi saat ini di Negara Bagian Rakhine, Myanmar adalah salah satu buktinya.
Advertisement