Liputan6.com, Juba - Para kelompok yang berkonflik dalam Perang Saudara di Sudan Selatan telah menyepakati gencatan senjata. Kesepakatan ini secara resmi telah dimulai pada Minggu, 24 Desember 2017 pukul 00.01 waktu setempat.
Kesepakatan gencatan senjata itu merupakan buah positif dari dialog perundingan damai yang digelar di Addis Ababa, Ethiopia pada Kamis, 21 Desember 2017.
Martin Elia Lumoro, kepala delegasi pemerintah Sudan Selatan mengatakan, meski banyak argumen di antara berbagai pemangku kepentingan, gencatan senjata terbaru adalah awal yang baik bagi negara tersebut. Demikian seperti dikutip dari VOA News, Minggu (24/12/2017).
Advertisement
"Saya pikir kita membuat kemajuan," kata Lumoro mengomentari hasil positif dialog di Addis Ababa.
Menteri Luar Negeri Sudan Selatan, Deng Alor menyebut kesepakatan itu sebagai "awal yang baik."
Baca Juga
"Saya merasa senang karena isu terpenting dalam dokumen tersebut adalah penghentian permusuhan. Gencatan ini juga menciptakan kepercayaan diri dan juga memberi ketenangan kepada masyarakat kita di Sudan Selatan," kata Alor.
Sementara itu, pemimpin kelompok oposisi (SPLM-IO) Riek Machar -- Wakil Presiden Sudan Selatan yang digulingkan pada 2013 -- memerintahkan pasukannya untuk "menghentikan semua permusuhan".
Machar tak hadir dalam perundingan damai di Addis Ababa pada Kamis lalu. Namun, ia mengutus sejumlah delegasinya ke untuk menghadiri perundingan tersebut.
Sang eks-Wapres juga mengatakan, "Semua pasukan harus tetap berada di basis mereka masing-masing dan hanya bertindak untuk membela diri atau melawan agresi." Demikian seperti dikutip dari The Guardian.
Kesepakatan itu juga mengatakan bahwa semua pasukan harus menghentikan segala tindakan yang dapat menyebabkan konfrontasi serta segera membebaskan tahanan politik dan juga para perempuan dan anak-anak yang diculik.
Kendati demikian, tak dijelaskan berapa lama gencatan senjata akan berlangsung di negara itu.
Namun, berbagai pihak melihat proses gencatan senjata pada pengujung Desember ini sebagai momentum untuk perdamaian secara permanen di Sudan Selatan.
Banyak pihak yang memproyeksikan bahwa perdamaian di Sudan Selatan akan tercapai secara penuh pada Agustus 2018. Namun, mengingat tahun depan adalah periode pemilu di Sudan Selatan, sejumlah pihak meragukan perdamaian secara penuh dapat terwujud sesuai dengan proyeksi.
Jutaan Orang Mengungsi Akibat Perang Saudara di Sudan Selatan
Sudan Selatan telah berjuang selama berpuluh-puluh tahun untuk memerdekakan diri dari Sudan. Namun, usai meraih kemerdekaan pada 2011, pertarungan kekuasaan antara Machar dan Presiden Sudan Selatan Salva Kiir memicu perang saudara sejak dua tahun lalu.
Kesepakatan perdamaian sempat ditandatangani oleh kedua pihak pada tahun 2015. Namun pakta damai ambruk pada Juli 2016, dipicu oleh pertempuran baru di Ibu Kota Juba. Pertempuran itu memaksa Wapres Machar mengasingkan diri keluar dari Sudan Selatan.
Memasuki tahun 2017, militan pro-Machar yang mayoritas beretnis Nuer sukses menyudutkan pasukan pro-Kiir yang didominasi etnis Dinka. Meski begitu, konflik bersenjata tak menunjukkan tanda-tanda surut.
Bahkan, konflik menyebar ke kawasan Africa Ekuator di selatan dan memicu munculnya sejumlah grup oposisi baru.
Hingga kini, konflik bersenjata itu menyebabkan jutaan warga Sudan Selatan mengungsi ke Uganda dan Republik Demokratik Kongo.
PBB, sejak 2015, telah mendorong berbagai dialog damai dan revitalisasi pemerintahan di negara yang baru merdeka tersebut.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement