Liputan6.com, Tehran - Sejumlah orang tewas ditembak oleh aparat dalam rangkaian demo -- bertajuk anti-pemerintah dan diwarnai isu ekonomi -- di beberapa kota di Iran yang telah berlangsung sejak beberapa hari terakhir.
Seperti dilansir CNN (31/12/2017), setidaknya lima peserta demo tewas akibat penembakan yang dilakukan oleh polisi pengendali huru-hara di Kota Dorud, Provinsi Lorestan, Iran Barat, pada Sabtu malam kemarin.
Advertisement
Baca Juga
Korban tewas diketahui sebagai bagian dari massa aksi yang mencoba untuk menduduki kantor pemerintahan setempat. Penembakan yang dilakukan oleh aparat dilaporkan sebagai upaya untuk membubarkan paksa para demonstran.
Belum diketahui bagaimana nasib lima orang korban tewas itu, dan apakah ada peserta aksi yang terluka akibat penembakan tersebut.
Mengungkapkan Amarah kepada Para Pemimpin Iran
Seperti dikutip CNN, sejumlah massa aksi dilaporkan mengungkapkan kemarahan mereka kepada Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khomeini. Sejumlah fotonya dikabarkan dirobek dan dihancurkan massa.
Sekelompok peserta demo di beberapa kota juga menyebut nama Khomeini dan Presiden Iran Hassan Rouhani dengan teriakan berkonotasi negatif.
"Kami melihat foto Khomeini dirobek dari papan reklame jalan, juga mendengar sejumlah massa meneriakkan 'Kematian untuk Khomeini dan Rouhani' di beberapa kota," kata Nic Robertson, jurnalis senior CNN di Iran.
Sejumlah penduduk juga menyebut, poster Khomeini di Tehran University dirobek oleh beberapa massa pada Minggu, 31 Desember 2017.
Adapun seperti di Kota Dorud, massa aksi dilaporkan berusaha untuk menduduki gedung kantor pemerintahan setempat sebagai bentuk menyalurkan amarah.
Hingga kini, demonstrasi anti-pemerintah yang juga diwarnai oleh isu ekonomi itu dilaporkan masih berlangsung di Iran.
Isu Ekonomi Warnai Demo yang Telah Bergulir Selama 3 Hari
Demonstrasi bertajuk anti-pemerintah itu telah berlangsung dan menyebar di sejumlah kota di Iran sejak Kamis, 28 Desember 2017. Seperti dikutip CNN, pengelompokan massa aksi masih terjadi hingga Minggu, 31 Desember 2017.
Beberapa kota yang diketahui terjadi pengelompokan massa aksi meliputi; ibu kota Tehran, Kermanshah, Dorud, Arak, Qazvin, Khorramabad, Karaj dan Sabzevar.
Meski bertajuk anti-pemerintah, sejumlah pihak di Barat menyebut bahwa alasan mendasar demo tersebut adalah; naiknya harga makanan dan bahan bakar minyak, serta penurunan standar hidup masyarakat di sejumlah kota di Iran.
Saat ini, Iran duduk di urutan 120 dalam Indeks "World Bank's Ease of Doing Business". Posisi itu mencerminkan buruknya situasi yang terjadi di Iran.
Kelompok masyarakat berusia muda dan produktif yang banyak menganggur, serta menjadi salah satu cerminan atas buruknya kondisi ekonomi di Negeri Para Mullah saat ini.
Sementara itu, laporan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat menyebut bahwa aksi protes yang dilakukan oleh warga Iran merupakan "bentuk kekecewaan masyarakat atas rezim yang diselimuti korupsi dan menyalahgunakan anggaran negara untuk mendanai teroris di luar negeri".
Advertisement
Respons Pemerintah Iran dan Amerika Serikat
Pada Sabtu, memasuki hari kedua demo, Kantor Wakil Presiden Iran mengatakan bahwa pemerintah akan bekerja lebih keras untuk memulihkan perekonomian negara.
Kendati demikian, komentar berbeda diutarakan oleh Wakil Presiden Iran Eshaq Jahangiri. Ia mengatakan bahwa isu ekonomi adalah permasalahan yang dibuat-buat oleh para demonstran -- juga kelompok anti-Iran -- sebagai upaya untuk menggoyah dan "menyakiti" pemerintah.
Adapun terkait teknis demonstrasi, pemerintah Iran telah menetapkan seluruh pengelompokan dan penyampaian aspirasi massa di ruang publik tanpa izin otoritas sebagai aktivitas "ilegal" sejak awal aksi protes itu merebak.
"Polisi dan pasukan keamanan telah melakukan berbagai cara untuk mengendalikan situasi. Kita telah menerima berbagai laporan tentang pengelompokan massa. Tanpa izin, pengelompokan massa itu ditetapkan sebagai ilegal," kata Menteri Dalam Negeri Iran Abdolreza Rahmani Fazli.
Namun, menurut sejumlah laporan, pemerintah Iran melakukan pengendalian massa dengan "menggunakan kekuatan yang berlebihan (using of excessive forces)".
Menanggapi kejadian yang terjadi di Iran, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mendesak Tehran untuk "menghargai hak para demonstran" dan mengimbau bahwa "dunia mengamati" -- secara implisit memperingatkan Negeri Para Mullah supaya tak bertindak sembrono dalam menangani massa.
Demo semacam itu dapat dikatakan langka terjadi di Negeri Para Mullah.
Terakhir kali, demonstrasi dengan tajuk anti-pemerintah dan proreformasi semacam itu terjadi sekitar delapan tahun lalu -- yang populer disebut dengan nama Gerakan Hijau (Green Movement) 2009.