Parlemen Inggris Akan Periksa Mark Zuckerberg Soal Skandal Cambridge Analytica

Parlemen Inggris mengajukan pemanggilan kepada CEO Facebook, Mark Zuckerberg untuk menghadap dan menjalani pemeriksaan seputar dugaan skandal Cambridge Analytica.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 21 Mar 2018, 15:00 WIB
Diterbitkan 21 Mar 2018, 15:00 WIB
Ini 10 Daftar Orang Terkaya Dunia Tahun 2017 Versi Forbes
Sementara di posisi lima ada pendiri Facebook Mark Zuckerberg. Pada tahun 2017 ini, aset kekayaan Mark ditaksir 57,6 miliar dolar Amerika, atau sekitar 749 triliun rupiah. (AP Photo/Eric Risberg, File)

Liputan6.com, London - Sebuah Komite di Parlemen Inggris telah mengajukan pemanggilan kepada CEO Facebook, Mark Zuckerberg pada Selasa, 20 Maret 2018, untuk menghadap dan menjalani pemeriksaan seputar dugaan skandal Cambridge Analytica.

Komite memanggil Zuckerberg guna memperoleh keterangan langsung darinya seputar dugaan skandal Cambridge Analytica yang mengeksploitasi informasi dari 50 juta pengguna Facebook dan menggunakannya untuk mengembangkan teknik yang bisa digunakan untuk mendukung kampanye Donald Trump dalam Pilpres 2016. Tujuannya, untuk mempengaruhi para pemilih.

Eksploitasi informasi itu juga diduga terjadi pada referendum Brexit, berujung pada suara mayoritas memilih Inggris keluar dari Uni Eropa.

Pemanggilan Mark Zuckerberg oleh Komite Parlemen Inggris terjadi beberapa hari setelah berbagai pejabat Inggris mendesak Facebook untuk ikut bertanggung jawab dalam dugaan kebocoran data itu.

Damian Collins, Anggota Komite Media Parlemen Inggris mengindikasikan bahwa Facebook telah 'lalai dan membohongi parlemen'.

"Facebook telah berkomitmen akan memperbaiki sistem yang mengalami kebocoran data... Zuckerberg berjanji sejak awal tahun 2018 untuk hal itu. Maka, kami meminta penjelasan mengapa peristiwa bencana kebocoran data itu tetap dapat terjadi," tulis Collins dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Facebook.

Sementara itu, Komisioner Informasi Inggris, Elizabeth Denham mengatakan bahwa lembaganya akan menggunakan 'segala upaya legal untuk menginvestigasi' Facebook dan Cambridge Analytica seputar dugaan penyalahgunaan data dalam berbagai peristiwa politik penting.

Denham juga mendesak Kepolisian Inggris untuk melakukan penggeledahan terhadap server Cambridge Analytica -- menilai bahwa firma itu telah melanggar hukum karena menjaring data pribadi secara ilegal.

Ia pun mewanti-wanti Facebook agar berhenti melakukan 'audit internal' mandiri dan menyerahkan seluruh proses investigasi kepada otoritas yang berwenang.

"Kami mengimbau Facebook untuk berhenti dan membiarkan otoritas melakukan pekerjaannya," kata Komisioner Informasi Inggris, Elizabeth Denham.

Di sisi lain, pihak Cambridge Analytica -- yang telah membantah berbagai tuduhan yang menerpa mereka -- menyatakan komitmennya untuk membantu seluruh proses pemeriksaan yang akan dilakukan oleh otoritas Inggris. Namun, Denham menjelaskan bahwa hingga saati ini, firma itu belum menunjukkan sikap-sikap kooperatif.

CEO Cambrdige Analytica Diskors

Kabar pemanggilan Mark Zuckerberg oleh Parlemen Inggris datang bersamaan dengan keputusan Cambridge Analytica untuk menskors CEO firma tersebut, Alexander Nix.

Dalam sebuah pernyataan tertulis, pihak Cambridge Analytica menjelaskan bahwa Nix akan diskors efektif secepatnya sepanjang penyelidikan yang tengah berlangsung.

"Menimbang komentar terbaru Alexander Nix dalam liputan rahasia Channel 4 dan berbagai tuduhan lainnya ... skors itu kami lakukan demi menunjukkan keseriusan kami dalam menanggapi skandal tersebut," ujar pernyataan tertulis dari Cambridge Analytica.

Skenario 'Klien Sri Lanka' yang Menguak Taktik Kotor Cambridge Analytica

Defeat Crooked Hillary, sebuah kampanye pencemaran nama Hillary Clinton saat menjadi Kandidat Presiden dalam Pilpres AS 2016 (Facebook via ABC Australia)
Defeat Crooked Hillary, sebuah kampanye pencemaran nama Hillary Clinton saat menjadi Kandidat Presiden dalam Pilpres AS 2016 (Facebook via ABC Australia)

Cambridge Analytica, perusahaan konsultan politik berbasis data asal Inggris, konon berada di balik rangkaian kampanye pencemaran nama Hillary Clinton dalam Pilpres Amerika Serikat 2016.

Dugaan itu semakin menambah daftar tuduhan serius yang tengah menerpa firma tersebut, setelah sebelumnya mereka diduga mencuri informasi dari 50 juta profil pengguna Facebook tanpa izin.

Kabar itu terkuak berkat investigasi reporter media Inggris, Channel 4 News yang bertemu dengan sejumlah eksekutif Cambridge Analytica meliputi; CEO Alexander Nix dan Direktur Manajer Divisi Politik Mark Turnbull.

Pertemuan itu dilaksanakan di sebuah hotel di London. Tak jelas kapan pertemuan itu terselenggara.

Dalam pertemuan itu, si jurnalis menyamar sebagai perwakilan dari sebuah keluarga tajir di Sri Lanka yang berniat menyewa jasa Cambridge Analytica guna mempengaruhi hasil pemilu di negara Asia Selatan itu. Pembicaraan dalam pertemuan itu, menurut klaim Channel 4, terekam pada sebuah kamera tersembunyi.

Tudingan Pencemaran Hillary Clinton

Pembicaraan dalam pertemuan itu pun mengalir hingga ke persoalan Pilpres AS 2016. Para eksekutif Cambridge Analytica pun membeberkan taktik perusahaan mereka dalam memanipulasi pemilu di Negeri Paman Sam dua tahun lalu.

Salah satu manipulasi yang mereka lakukan adalah dengan melakukan pencemaran terhadap Kandidat Presiden AS dari Partai Demokrat, Hillary Clinton -- saingan Kandidat Presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump. Demikian seperti dikutip dari ABC Australia Rabu (21/3/2018).

Dalam pembicaran tersebut, para eksekutif Cambridge Analytica mengklaim sebagai dalang di balik rangkaian kampanye bernama 'Defeat Crooked Hillary'.

"Huruf 'OO' ganda di tengah kata 'Crooked' diisi dengan sepasang borgol, menyimbolkan bahwa ia (Hillary) layak berada di balik jeruji tahanan," kata Direktur Manajer Divisi Politik Cambridge Analytica, Mark Turnbull dalam pertemuan dengan jurnalis Channel 4 yang menyamar sebagai klien Sri Lanka.

Kata 'Crooked Hillary' sendiri merupakan istilah hinaan yang digunakan oleh Trump kala Kampanye Pilpres AS 2016. Penggunaan istilah itu ditempatkan dalam konteks skandal kebocoran data pos elektronik (pos-el) pribadi Hillary saat dirinya menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS.

Turnbull melanjutkan, strategi yang digunakan oleh Cambridge Analytica untuk menggencarkan kampanye 'Defeat Crooked Hillary' adalah dengan menyebarluaskannya ke jaringan maya dan laman media sosial berbagai organisasi, lembaga swadaya, dan kelompok aktivis politik. Termasuk, lewat Facebook.

"Kami tempatkan (kampanye Defeat Crooked Hillary) itu ke nadi internet dan kemudian ... kita simak hal itu bertumbuh. Sesekali kami mendorong kembali kampanye itu dan mengamati bagaimana hal tersebut berkembang," lanjut Turnbull.

"Hebatnya, kampanye itu menyusup ke berbagai jaringan internet tanpa jejak dan identitas, sehingga, orang-orang tak akan bisa melacak pengirim aslinya," tambahnya.

Dalam pertemuan itu, CEO Cambridge Analytica Alexander Nix juga mengungkap taktik lain yang digunakan perusahaannya dalam menyebarluasan kampanye 'Defeat Crooked Hillary'

"Saya sangat yakin bahwa (strategi) itu tidak akan diselidiki oleh otoritas AS, karena mereka tidak memiliki yurisdiksi untuk memperoleh informasi dari klien asing," kata Nix kepada jurnalis Channel 4 yang menyamar sebagai klien Sri Lanka dalam pertemuan itu.

Ia juga menganjurkan untuk menggunakan akun pos-el ProtonMail yang memiliki fitur menghapus surat elektronik (surel) secara otomatis dalam jangka waktu tertentu. Tujuannya, agar sulit terlacak oleh pihak lain.

"Kami menggunakan ProtonMail yang diatur agar mampu menghapus sur-el secara otomatis. Jadi, usai dua jam terkirim, surel itu akan hilang dengan sendirinya. Tidak ada bukti, dokumen, tak akan ada apa-apa," ujar bos Cambridge Analytica.

Mendongkrak Donald Trump dalam Pilpres AS 2016?

Dalam pertemuan yang sama, firma itu juga mengklaim sebagai dalang di balik kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS 2016.

"(Perihal kampanye Donald Trump dalam Pilpres AS 2016) Kami melakukan semua; riset, pengumpulan data, analisis, target implementasi, kampanye digital, kampanye televisi, dan strategi," kata CEO Cambridge Analytica Alexander Nix kepada jurnalis Channel 4 yang menyamar sebagai klien Sri Lanka.

Direktur Manajer Divisi Politik Cambridge Analytica Mark Turnbull ikut menimpali, "Hasilnya Trump menang dengan selisih 40.000 suara di tiga negara bagian. Selisihnya tipis."

Merespons produk jurnalistik Channel 4 itu, pihak Cambridge Analytica membantah bahwa mereka menjadi dalang di balik kemenangan Donald Trump.

"Cambridge Analytica tak pernah mengklaim memenangkan Pilpres untuk Donald Trump. Laporan itu sungguh absurd," lanjut keterangan dari Cambridge Analytica.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya