10-5-1941: 'Aksi Gila' Pejabat Nazi yang Bikin Hitler Murka

Pejabat Nazi Rudolf Hess terbang sendirian menuju Inggris. Ia menawarkan perdamaian ke Britania Raya. Konon, Hitler ngamuk berat saat mengetahuinya.

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 10 Mei 2018, 06:00 WIB
Diterbitkan 10 Mei 2018, 06:00 WIB
Adolf Hitler (AP)
Adolf Hitler (AP)

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah jet tempur Messerschmitt Bf110 lepas landas dari pangkalan udara Nazi dekat Munich, Jerman. Rudolf Hess duduk di kursi pilot. Tak ada orang lain yang menyertainya. Ia terbang sendirian menembus malam yang pekat oleh kabut.

Hanya bermodal grafik dan peta, ia mengarahkan pesawat terbang ke atas Sungai Rhine, lalu melintasi Laut Utara, menuju Inggris. Hess juga kerap bermanuver untuk menghindari serangan udara pasukan Britania Raya.

Pada Sabtu pagi 10 Mei 1941, Hess yang kala itu berada di langit Skotlandia, menemui masalah. Bahan bakarnya habis di titik 12 mil dari tujuan. Ia pun terpaksa terjun dengan parasut.

Sementara itu di darat, seorang petani bernama David McLean kaget bukan kepalang saat menyaksikan sebuah pesawat terbakar di ladangnya. Lalu seseorang turun menggunakan parasut. Pria itu mengenalkan dirinya sebagai Kapten Alfred Horn.

"Saya punya pesan penting untuk Duke Hamilton," kata Hess, pada petani Skotlandia itu, seperti dikutip dari onthisday.com.

David McLean lalu memberitahukan soal insiden tersebut ke sang ibu. Perempuan itu segera menyiapkan teh hangat untuk tamunya yang malang.

Mereka tak sadar, pria yang dijamu itu bukan pilot Angkatan Udara Jeraman (Luftwaffe) biasa. Rudolf Hess adalah wakil bos Nazi, Adolf Hitler.

Hess bergabung dengan Partai Nazi pada 1920. Pria itu ada di samping Hitler di Beer Hall Putsch, bahkan dipenjara berdua Landsberg, di mana ia membantu penyuntingan naskah Mein Kampf.

Sebagai deputi fuhrer, ia ada di posisi ketiga, di belakang Hitler dan Hermann Goering dalam suksesi kepemimpinan Nazi.

Belakangan, Rudolf Hess mengaku, ia berada di Skotlandia dalam rangka "misi damai", hanya beberapa minggu sebelum Hitler melancarkan invasi ke Uni Soviet.

Seperti dikutip dari situs Smithsonian.com, Rabu (9/5/2018) Hess berniat menuju ke Dungavel House, kediaman Douglas Douglas-Hamilton, Duke of Hamilton. Keduanya pernah bertemu di Olimpiade Berlin 1936.

Ia berharap bisa menjalin kontak dengan tokoh terkemuka di Inggris itu -- yang tak seperti Winston Churchill --bersedia berdamai dengan Nazi.

Hess mengira, Hamilton bisa mempertemukannya dengan Raja George V, membuat pemimpin monarki Inggris itu menyingkirkan Winston Churchill, agar Britania Raya berdamai dengan Jerman dan bergabung jadi satu kekuatan untuk menghadapi Uni Soviet.

Namun, Hess salah sangka. Hamilton, yang kala itu tak ada di rumahnya karena sedang bertugas di pangkalan Angkatan Udara Inggris (RAF), berkomitmen untuk negaranya dan perjuangan bangsanya melawan Jerman. Misinya gagal total.

Saat dipertemukan dengan Hamilton keesokan harinya, permohonan Hess sama sekali tak digubris.

Apalagi, ia sejak awal menyangkal bahwa Hitler tahu tentang misinya. Inggris pun tak sudi memberikan fasilitas diplomatik apapun. Rudolf Hess bahkan dijebloskan ke penjara dalam kondisi mental yang hancur.

Pada 16 Juni 1941, Hess mencoba bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas tangga.

Selama perang berkobar, Hess berada di tahanan Inggris. Ia dikurung di sejumlah tempat, termasuk Tower of London dan rumah sakit militer. Kalau bukan psikiater yang ingin menyelami pemikiran anggota Nazi, hanya intel yang ingin mengorek informasi yang mengunjunginya di bui.

Rudolf Hess baru kembali ke Jerman, tepatnya ke Nuremberg, untuk menjalani persidangan pasca-perang pada bulan Oktober 1945, di mana ia lolos dari algojo hukuman mati dan divonis pidana seumur hidup.

Dia menghabiskan sisa hidupnya yang panjang, lebih dari 40 tahun, sebagai Tahanan Nomor 7 di Spandau. Ia masih ada di sana, meski banyak anggota Nazi lain akhirnya dibebaskan.

Masa tahanannya baru berakhir saat berusia 93 tahun. Bukan lantaran bebas. Pada Agustus 1987, Hess ditemukan dalam kondisi tergantung, terjerat kabel lampu di sebuah bangunan taman pada bulan Agustus 1987.

Versi resmi menyebut, ia bunuh diri. Namun, banyak orang yang meragukannya. Putra Hess, Wolf yakin benar ayahnya adalah korban pembunuhan yang dilakukan agen British Secret Intelligence Service. Ia diduga dibungkam.

Namun kematian Hess tidak mengakhiri pertanyaan, apakah dia benar-benar pergi ke Inggris atas inisiatif sendiri? Atau, ia hanya sekedar utusan bos Nazi?

Saksikan juga video menarik soal Nazi di bawah ini: 

Nazi Kalang Kabut, Hitler pun Murka

Wakil Hitler, Rudolf Hess yang ditangkap oleh pihak Inggris
Wakil Hitler, Rudolf Hess yang ditangkap oleh pihak Inggris (Wikipedia/Public Domain)

Kabar soal nasib Rudolf Hess di Inggris bak petir di siang bolong bagi pihak Berlin. Nazi segera bertindak untuk memutuskan kaitan eks pentolannya dengan rezim apalagi Hitler. Mereka berniat cuci tangan.

Pengumumkan disampaikan pada rakyat Jerman bahwa Hess menderita gangguan mental dan halusinasi.

Joseph Goebbels, ahli propaganda Nazi yang tahu banyak soal taktik semacam itu, takut bahwa Inggris akan menggunakan Hess sebagai bagian dari kampanye yang menghancurkan atau menargetkan moral Jerman di tengah pertempuran.

Catatan dalam buku hariannya, yang bertanggal 14 Mei 1941, Goebbels mengungkapkan kekhawatirannya jika insiden Hess bikin rakyat Jerman bertanya-tanya, "bagaimana bisa orang sebodoh itu jadi orang nomor dua Sang Fuhrer."

Namun, seiring waktu, kehebohan itu mereka. Rudolf Hess memang punya jabatan mentereng, namun pengaruhnya dalam hierarki Nazi sudah menurun drastis sejak 1941 -- sehingga orang berspekulasi, aksinya itu adalah cara untuk memenangkan kembali hati Hitler.

Teori berbeda muncul. Tak sedikit yang menduga, misi gagal itu dilakukan atas sepengetahuan Hitler. Hess tahu benar, jika ia gagal, maka bos Nazi itu akan menyangkal terlibat.

Pada tahun 2011, Matthias Uhl dari German Historical Institute, Moscow menemukan sejumlah bukti yang dianggap menguatkan klaim tersebut.

Pagi hari setelah Hess terbang ke Inggris, ajudannya, Karlheinz Pintsch telah menyerahkan surat berisi penjelasan pada Adolf Hitler.

Uhl menemukan laporan yang menampilkan deskripsi Pintsch tentang pertemuan itu di Arsip Nasional Federasi Rusia.

Pintsch mengklaim, Hitler menerima laporan itu dengan tenang. "Pengaturan disepakati dengan pihak Inggris sebelum penerbangan dilakukan," tulis dia.

Pintsch menambahkan, Hess ditugasi untuk "menggunakan segala cara yang dia miliki untuk mencapai tujuan." Yakni, menjalin aliansi militer Jerman dengan Inggris melawan Rusia. Atau, setidaknya, memastikan Inggris di pihak netral.

Namun, saksi mata lain melaporkan hal bertentangan. Albert Speer, lingkaran dalam Nazi mengatakan, Hitler marah berat. Sang fuhrer khawatir berat insiden itu akan dimanfaatkan pihak Inggris.

"Siapa yang bakal percaya kepadaku jika aku mengatakan Hess tak terbang ke sana sana atas namaku," kata Albert Speer dalam bukunya Inside the Third Reich.

Ia bahkan mencatat bahwa Hitler berharap Hess celaka dan tewas di Laut Timur, daripada ditangkap pihak Inggris..

Speer mengaku berbincang dengan Hess 25 tahun pasca-insiden penerbangan solo itu, saat keduanya dipenjara di Spandau.

"Hess meyakinkan aku...bahwa gagasan itu dipicu mimpi yang melibatkan kekuatan supranatural," kata dia.

Meski telah mati berkalang tanah, Rudolf Hess hingga kini punya posisi istimewa di kalangan pengikut neo-Nazi.

Bahkan, pada 2011, kuburan wakil Hitler itu dibongkar. Belulangnya kemudian diangkat, dikremasi, dan abunya disebar ke laut. Pun dengan bekas penjaranya di penjara Spandau. Semua dihancurkan agar tak jadi 'monumen' bagi kalangan ekstremis neo-Nazi.

Selain aksi nekat  Rudolf Hess, sejumlah momentum bersejarah terjadi pada tanggal 10 Mei. 

Pada 1994, Nelson Mandela disumpah menjadi Presiden Afrika Selatan. Sementara, pada 10 Mei 1872, Victoria Woodhull menjadi perempuan pertama yang dicalonkan sebagai Presiden AS. Ia lebih dulu seabad lebih dari Hillary Clinton.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya