Koalisi Pimpinan Mahathir Mohamad Unggul Sementara di Pemilu Malaysia, Menang?

Kolisi Pakatan Harapan yang dipimpin Mahathir Mohamad berpeluang menumbangkan kedigdayaan Barisan Nasional yang memerintah Malaysia selama 60 tahun. Peruntungan PM Najib Razak meredup?

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 10 Mei 2018, 02:53 WIB
Diterbitkan 10 Mei 2018, 02:53 WIB
Mahathir Mohamad
Mahathir Mohamad memimpin Malaysia selama 22 tahun (AP Photo/Vincent Thian, File)

Liputan6.com, Kuala Lumpur - Najib Razak menghadapi lawan kuat dalam Pemilu Malaysia 2018. Seterunya itu adalah Mahathir Mohamad, mantan mentornya sendiri. Hasil perhitungan sementara bahkan menunjukkan, kubu oposisi Pakatan Harapan unggul sementara dari Barisan Nasional yang kini berkuasa.

Seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (10/5/2018) Komisi Pemilu menyebut, dari 176 kursi parlemen yang telah dihitung, Pakatan Harapan mendapatkan 90 kursi, sementara Barisan Nasional 69. Total, ada 222 kursi yang diperebutkam dua kubu serta partai-partai lainnya.

Meski perhitungan masih dilakukan alias belum final, Mahathir Mohamad yakin benar, koalisi yang dipimpinnya akan berjaya. Agar bisa dinyatakan sebagai pemenang, Pakatan Harapan harus mendapatkan 112 kursi di parlemen.

"Tampaknya kami telah mencapai angka itu. Perolehan Barisan Nasional jauh lebih sedikit," kata Mahathir. "Tak mungkin mereka bisa menyusul."

Hingga berita ini diturunkan, belum ada respons yang diberikan pihak Barisan Nasional -- yang memerintah Malaysia selama 60 tahun terakhir.

Para jurnalis berbondong-bondong menuju ke markas UMNO, partai kunci dalam koalisi Barisan Nasional. Namun, Najib Razak tak muncul. Para pewarta bahkan diminta angkat kaki.

Najib Razak, yang telah memerintah Malaysia selama hampir 10 tahun, sebagai perdana menteri, dijadwalkan akan menyampaikan pidato ke media pada pukul 11.00 waktu setempat.

Pemilu Malaysia 2018  adalah yang paling seru dan imbang dalam sejarah Malaya. Mahathir yang kini berusia 92 tahun bangkit dari masa pensiunnya untuk menghadapi mantan anak didiknya, Najib Razak, yang belakangan dikaitkan dengan kasus mega-korupsi 1MDB.

Sebelumnya, Mahathir menuduh Komisi Pemilihan sengaja menunda bahkan merahasiakan hasil perhitungan suara.

"Diduga ada beberapa tindakan menyimpang yang dilakukan untuk menggagalkan kehendak rakyat," kata Mahathir dalam konferensi pers yang digelar sesaat sebelum tengah malam. 

Namun, pihak komisi membantah prasangka itu. Mereka berdalih tak bisa mengumumkan hasil pemilu sebelum melewati proses validasi.

"Saya berharap orang-orang dapat bersabar. Kami akan mencoba yang terbaik untuk mendapatkan informasi dari seluruh negeri," kata Ketua Komisi Pemilihan Malaysia Mohamed Hashim Abdullah.

"Tentu saja, semua partai bisa mengklaim kemenangan, tapi...tolong tunggu."

 

Saksikan video menarik berikut ini:

'Hantu' Kasus 1MDB

Najib Razak
Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak memberikan keterngan seusai memberikan hak suaranya pada pemilihan umum di Pekan, Pahang, Rabu (9/5). Pemilu ini pertarungan antara PM Najib yang sudah berkuasa sejak 2009, melawan Mahathir Mohamad. (AP/Aaron Favila)

Selain fakta bahwa Mahathir Mohamad masih jadi sosok berpengaruh di Negeri Jiran, peruntungan Najib Razak meredup gara-gara skandal korupsi yang melibatkan namanya dan orang-orang terdekatnya.

Departemen Kehakiman Amerika Serikat mengajukan gugatan perdata pada Rabu 20 Juli 2016, sebagai upaya menyita aset senilai lebih US$ 1 miliar atau Rp 13 triliun sebagai bagian dari penyelidikan atas 1MDB.

Putra tiri Najib Razak, Riza Aziz dan orang dekatnya, Low Taek Jho dianggap bertanggung jawab atas pengalihan sebesar US$ 3,5 miliar atau Rp 45,9 triliun dari 1MDB.

1Malaysia Development Berhad adalah lembaga investasi yang didirikan Pemerintah Negeri Jiran untuk memberikan manfaat pada rakyatnya.

Gagasannya, 1MDB akan berinvestasi dalam sejumlah proyek di seluruh dunia, kemudian keuntungannya akan dikembalikan pada rakyat Malaysia.

Namun, apa yang terjadi tak sesuai dengan rencana semula. Menurut agen federal AS, miliaran dana justru dikuras oleh mereka yang korup dan punya koneksi dengan penguasa.

"Mereka memperlakukan dana publik sebagai rekening bank pribadi," kata Jaksa Agung AS, Loretta Lynch pada konferensi pers Juli 2016 lalu.

Dampaknya, pemerintah AS menggugat 'hak untuk keuntungan, royalti dan hasil distribusi" dari The Wolf of Wall Street. Film yang dibuat pada 2013 tersebut mengisahkan tentang penipuan dan keserakahan di jantung industri keuangan Amerika.

Film yang disutradarai Martin Scorcese dan dibintangi Leonardo DiCaprio, menurut ComScore, menghasilkan US$ 392 juta.

Pengungkapan kasus itu, apalagi oleh Departemen Kehakiman AS, menjadi "tsunami" untuk kubu Najib.

"Ada "ayunan besar" yang berlaku untuk semua ras. Ini adalah perubahan besar -- penolakan terhadap pemerintahan Najib dari semua lapisan masyarakat, dari negara bagian di utara yang sangat pedesaan ke pantai selatan yang lebih industrialis," kata Bridget Welsh,  ahli Asia Tenggara di John Cabot University di Roma.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya