China Memprotes Keras Pembukaan Kedutaan De Facto AS di Taiwan

Pemerintah Tiongkok menyampaikan protes keras atas dibuka kedutaan de facto Amerika Serikat di Taiwan, yang dianggap menyalahi komitme "Satu China".

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 13 Jun 2018, 09:36 WIB
Diterbitkan 13 Jun 2018, 09:36 WIB
Pembukaan resmi Kedutaan de Facto Amerika Serikat di Taipei, Taiwan (AP)
Pembukaan resmi Kedutaan de Facto Amerika Serikat di Taipei, Taiwan (AP)

Liputan6.com, Taipei - Pemerintah China mengajukan protes keras kepada Amerika Serikat (AS) karena secara resmi membuka kedutaan de facto di Taipei, Taiwan.

Sebelumnya, Beijing telah lama menganggap Taiwan sebagai "provinsi pemberontak", meski Taipei sejatinya telah mendeklarasikan diri sebagai Republik China pasca-berakhirnya perang revolusi.

"Amerika Serikat mengirim pejabat ke Taiwan dengan alasan apa pun adalah pelanggaran serius terhadap prinsip 'satu China'," kata Geng Shuang, seorang juru bicara kementerian luar negeri Cina, sebagaimana dikutip dari CNN pada Rabu (13/6/2018).

"Hal itu mengganggu urusan internal China dan berdampak negatif terhadap hubungan China-AS," lanjutnya.

"Kami mendesak AS berkomutmen tentang janjinya kepada Tiongkok, serta memperbaiki kesalahannya, untuk menghindari ancaman rusaknya hubungan China-AS dan perdamaian di Selat Taiwan."

Kedutaan de facto AS yang bernama The American Institute in Taiwan (AIT) itu dibuka secara resmi pada Selasa, 12 Juni 2018, dalam sebuah upacara yang dihadiri oleh diplomat senior AS dan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen.

Dalam pidato pembukaan, Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Pendidikan dan Kebudayaan Marie Royce mengenalkan secara garis besar kompleks bangunan lima lantai, yang menelan biaya pembangunan sebesar USD 255 juta, atau setara Rp 3,5 triliun.

"Rumah baru AIT adalah simbol nyata yang mencerminkan kekuatan hubungan kami, dan fasilitas mutakhir yang akan memungkinkan kerja sama yang lebih besar untuk tahun-tahun mendatang," katanya.

Seperti kebanyakan pemerintah di dunia, Washington secara resmi berpegang pada kebijakan "satu Cina", mengakui Taiwan menjadi bagian dari China dan mempertahankan hubungan diplomatik formal hanya dengan Beijing.

Namun, besarnya biaya yang dikeluarkan untuk membangun Kedutaan de facto itu justru dianggap oleh China sebagai pernyataan tidak langsung, bahwa Negeri Paman Sam mendukung kemerdekaan Taiwan.

Beijing menganggap ratusan juta dolar yang dikeluarkan Washington, melebihi rata-rata pembangunan kedutaan besar di negara-negara lain yang memiliki hubungan diplomatik resmi.

Di sisi lain, AS terlihat tidak mau ambil pusing menanggapi protes China, karena sejak lama Taiwan dipandang sebagai salah satu mitra penting Negeri Paman Sam di Asia Timur, khususnya di bidang perdagangan. Bahkan, di bawah Presiden Donald Trump, hubungan tidak resmi antara AS dan Taiwan dinilai semakin kuat.

Berbicara pada upacara peresemian kedutaan de facto AS, Presiden Tsai menggarisbawahi hubungan kedua negara.

"Sebagai negara demokrasi yang bebas dan terbuka, kami berkewajiban untuk bekerja dengan satu sama lain untuk mempertahankan nilai-nilai kami dan melindungi kepentingan bersama kami," katanya.

Terlepas dari kecaman China, AS terus menjual senjata canggih ke Taiwan di bawah UU Hubungan Taiwan, sebagai bagian dari upaya pertahanan diri terhadap militer China yang jauh lebih besar.

Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintahan Trump juga membuat marah Beijing dengan memberi wewenang kepada produsen AS untuk menjual teknologi kapal selam ke Taiwan, serta memberlakukan Taiwan Travel Act untuk mendorong kunjungan resmi antara AS dan negara pulau itu.

 

Simak video pilihan berikut:

 

 

Sejarah rumit

Kekuatan Militer Taiwan dalam Latihan Han Kuang
Tentara pasukan khusus Taiwan mensimulasikan strategi penyerangan terhadap China dalam latihan militer tahunan terbesar Han Kuang di sebuah pangkalan udara di Taichung, Kamis (7/6). (AP/Chiang Ying-ying)

China dan Taiwan --secara resmi bernama Republik Rakyat China dan Republik China-- berpisah pada 1949 menyusul kemenangan Komunis di daratan dalam perang saudara.

Kedua belah pihak menjalankan pemerintahan yang berbeda, meskipun warisan budaya dan linguistiknya serupa, yakni menjadikan bahasa Mandarin sebagai bahasia nasional.

Meski Beijing dan Taipei sama-sama menganggap pulau Taiwan sebagai bagian dari masyarakat China, namun pemerintahan kedua negara hampir tidak pernah memiliki satu suara dalam perencanaan masa depan "Satu China".

Namun dalam beberapa waktu terakhir, muncul sentimen kuat terhadap isu pro-kemerdekaan Taiwan, yang kini dipimpin oleh Presiden Tsai Ing Wen.

Aksi sentimen itu mendorong Beijing menegaskan pendiriannya, dan menekankan janjinya untuk merebut kembali pulau itu dengan paksa jika perlu.

Presiden China Xi Jinping, pemimpin paling berkuasa di negara itu bersumpah untuk menjaga "setiap sentimeter dari wilayah ibu pertiwi kami," memerintahkan latihan militer di sekitar pulau itu dalam beberapa bulan terakhir.

Pernyataan Presiden Xi itu termasuk latihan militer berkala, dikerahkannya kapal induk yang berlayar rutin di Selat Taiwan, dan mengirim pasukan dan pesawat pembom dengan dalih "patroli keamanan".

Dengan kekuatan ekonomi dan politiknya yang meningkat pesat, China berhasil memengaruhi sebagian dari lebih 20 sekutu resmi Taiwam --kebanyakan negara kecil dan miskin di Pasifik Selatan dan Karibia-- untuk memutus hubungan diplomatik dengan Taipei.

Burkina Faso dan Republik Dominika mengalihkan pengakuan diplomatik dari Taipei ke Beijing bulan lalu. Hal itu membuat marah Presiden Tsai, yang menuduh China melakukan "diplomasi dolar".

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya