Liputan6.com, Buenos Aires - Setelah perdebatan panjang selama berminggu-minggu, Senat Argentina akhirnya memutuskan menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan melegalkan aborsi dalam 14 pekan pertama kehamilan.
Setelah debat maraton, 38 senator memilih menentang RUU tersebut, sementara 31 lainnya mendukung. Kekalahan tersebut berarti anggota parlemen harus menunggu hingga tahun depan untuk mengajukan kembali RUU terkait.
Saat ini, sebagaimana dikutip dari BBC pada Kamis (9/8/2018), aborsi diperbolehkan di Argentina hanya dalam kasus perempuan korban pemerkosaan, atau jika kesehatan ibu dalam bahaya.
Advertisement
Demonstran di kedua belah kubu berdebat dalam unjuk rasa di luar parlemen saat pemungutan suara berlangsung, Rabu 8 Agustus.
Baca Juga
Aktivis anti aborsi mengaku senang dengan keputusan tersebut.
"Apa yang ditunjukkan oleh suara ini adalah bahwa Argentina masih merupakan negara yang mewakili nilai-nilai keluarga," kata seorang aktivis kontra aborsi.
Tetapi para demonstran pro aborsi, yang mayoritas berpakaian hijau sebagai bentuk dukungan, terlihat menangis dan berusaha saling menghibur satu sama lain.
Sayangnya di sela-sela tanggapan terhadap putusan RUU, beberapa oknum mulai berlaku rusuh pada pihak keamanan yang berjaga. Mereka dilaporkan menembak dan melempar bom molotov ke arah barisan polisi di depan gedung parlemen.
Â
Simak video pilihan berikut:Â
Â
Â
Melalui Perdebatan Panjang
Massa pendukung RUU legalisasi aborsi telah mengupayakan pengajuan isu terkait sejak bertahun-tahun lalu, dan mulai mendapatkan "titik cerah" pada penghujung 2017, ketika pemerintah Argentina setuju untuk membahasnya di tingkat parlemen.
Bukan tanpa halangan, upaya mengkampanyekan tindak aborsi pada 14 pekan pertama kehamilan ditentang keras oleh kalangan konservatif, yang kebanyakan berasal dari penganut Katolik, agama terbesar di Argentina.
Presiden Mauricio Macri --yang sejatinya menentang aborsi-- meminta Kongres untuk mempertimbangkan pemungutan suara, dan hal itu kemudian disahkan secara ketat di majelis rendah.
Bagi pendukung RUU itu, legalisasi aborsi adalah masalah kesehatan masyarakat, dengan 43 wanita diperkirakan meninggal tahun lalu setelah menjalani tindakan tersebut secara ilegal.
"Wanita melakukan aborsi, mayoritas karena kriminalisasi," kata kuasa hukum dan juru kampanye Sabrina Cartabia Groba.
Tetapi seorang juru kampanye di pihak lawan, Camila Duro, berpendapat bahwa kematian semacam itu dapat dihindari tanpa melegalkan praktik aborsi.
"Pesan yang ingin kami sampaikan adalah bahwa aborsi sama dengan kegagalan sosial," ujar Duro.
Di antara negara-negara Amerika Latin, hanya Uruguay dan Kuba yang sepenuhnya telah menjadikan praktik aborsi bukan sebagai tindakan kriminal.
Advertisement