Liputan6.com, Cox's Bazaar - Beberapa kelompok etnis Rohingya dilaporkan melarikan diri dari kamp pengungsi di Bangladesh untuk menghindari dipulangkan ke Myanmar pada akhir pekan ini, kata tokoh masyarakat setempat pada Senin 12 November 2018 lalu.
Pihak berwenang berencana untuk memulai proses repatriasi (pemulangan kembali) lebih dari setengah juta pengungsi Rohingya yang saat ini berada di Bangladesh, agar pulang ke Rakhine, Myanmar pada Kamis 15 November mendatang.
Para pengungsi itu telah hampir setahun berada di kamp-kamp penampungan di Bangladesh, guna menghindar dari apa yang disebut PBB sebagai pembersihan etnis yang dilakukan oleh aparat Myanmar.
Advertisement
Namun, prospek repatriasi telah menimbulkan rasa panik di kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh, yang terkonsentrasi di distrik Cox's Bazaar. Rasa panik terutama dirasakan oleh gelombang pertama kelompok keluarga yang akan dipulangkan ke Myanmar akhir pekan ini.
Baca Juga
Saat ini diketahui sebanyak 2.260 etnis Rohingya telah dijadwalkan untuk meninggalkan kamp pengungsian di distrik Cox's Bazar tenggara dalam gelombang repatriasi pertama di bawah skema sukarela yang akan dilakukan pada Kamis esok.
"Pihak berwenang berulang kali mencoba memotivasi orang-orang yang ada di daftar proses repatriasi untuk segera kembali pulang ke Myanmar. Namun apa yang terjadi adalah mereka diintimidasi untuk hal tersebut dan akhirnya melarikan diri ke kamp lain," kata Nur Islam, tokoh masyarakat Rohingya dari kamp pengungsi di Jamtoli, Cox's Bazaar, seperti dikutip dari Channel News Asia, Rabu (14/11/2018).
Nur Islam mengatakan, prospek repatriasi gelombang pertama telah menciptakan "kebingungan dan ketakutan besar" di antara orang-orang Rohingya dan banyak yang tidak ingin kembali ke Rakhine kecuali mereka dijamin kewarganegaraan dan hak-hak lainnya oleh pemerintah Myanmar.
Seorang wartawan asing di kamp pengungsian di Cox's Bazaar turut melaporkan kekhawatiran serupa dari beberapa keluarga Rohingya yang akan direpatriasi pada gelombang pertama akhir pekan ini.
"Kami benar-benar terganggu. Ketika hari semakin dekat, ketegangan kami meningkat," kata Mohammad Khaleque, seorang pengungsi Rohingya kepada AFP, seperti dikutip dari Channel News Asia.
Dia mengatakan bahwa keluarganya melarikan diri dari kamp mereka menuju ke pemukiman sementara Rohingya di Cox's Bazar, dalam upaya untuk menghindari dipulangkan secara paksa.
"Saya tidak melihat masa depan untuk keluarga saya jika kami secara paksa dikirim kembali ke rumah sekarang (di Rakhine, Myanmar) tanpa jaminan mendapatkan kewarganegaraan penuh Myanmar. Itulah mengapa saya membawa keluarga saya keluar dari kamp ... Kami tidak ingin kembali dalam kondisi seperti ini," katanya.
Lebih dari 720.000 etnis Rohingya melarikan diri dari negara bagian Rakhine di barat Myanmar guna menghindar dari operasi militer Burma sejak Agustus tahun lalu. Banyak di antara mereka membawa cerita tentang aksi pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan yang dilakukan oleh Tatmadaw (angkatan bersenjata Myanmar) dan kelompok simpatisan.
Badan pengungsi PBB, UNHCR, telah menerima daftar dari pemerintah Bangladesh pada hari Senin 12 November untuk menilai apakah para pengungsi ingin kembali ke Myanmar secara sukarela. Badan itu mengatakan, proses repatriasi gelombang pertama pada 15 November adalah "rencana ambisius" dan mengkritik sejumlah kendala pelaksanaannya serta menggarisbawahi "situasi yang tidak kondusif."
Juru bicara senior UNHCR, Chris Melzer mengatakan "masalah logistik" perlu dipecahkan terlebih dahulu.
"Ini adalah masalah pemerintah Bangladesh dan Myanmar. Meskipun kami masih berpikir bahwa kondisinya tidak kondusif sekarang bagi para pengungsi untuk kembali di Myanmar," katanya kepada AFP.
Penilaian PBB dapat memakan waktu setidaknya dua hari lagi, menurut kedua pejabat PBB dan Bangladesh. Penilaian itu mungkin akan berujung pada penundaan lebih lanjut proses repatriasi.
Komisioner Badan Pengungsi Bangladesh, Mohammad Abul Kalam mengatakan, negaranya siap untuk mulai mengembalikan para pengungsi ke dua pusat hunian di Rakhine dekat perbatasan Myanmar-Bangladesh.
Tapi, seorang pejabat Bangladesh lainnya, yang berbicara dalam kondisi anonimitas, mengakui bahwa pengungsi Rohingya tidak "siap secara mental" untuk kembali.
"Mereka sering mengatakan kepada kami bahwa mereka lebih baik mati di sini di kamp-kamp (Bangladesh) daripada kembali dan menerima penderitaan mengerikan yang telah mereka alami," kata pejabat anonim itu.
Simak video pilihan berikut:
Pakar PBB Minta Bangladesh Batalkan Rencana Repatriasi Rohingya
Seorang pakar PBB tentang Myanmar, Selasa 6 November 2018 mendesak Bangladesh untuk membatalkan rencana repatriasi pengungsi Rohingya ke Rakhine bulan ini guna menghindari penganiayaan.
Dikutip dari laman VOA Indonesia, Kamis 8 November 2018, hampir tiga perempat juta orang Rohingya melarikan diri dari Rakhine pada Agustus 2017 ketika terjadi penumpasan oleh militer.
Setelah diberitakan pembunuhan, perkosaan, dan pembakaran desa-desa, warga Rohingya akhirnya ditampung di kamp-kamp di Bangladesh.
Kedua negara sepakat pada 30 Oktober untuk memulangkan pengungsi Rohingya ke Rakhine pada pertengahan November, tetapi pelapor khusus PBB untuk HAM di Myanmar, Yanghee Lee, mengatakan waktunya tidak tepat untuk memulangkan mereka.
"Pemerintah Myanmar gagal memberi jaminan mereka tidak akan dihadapkan pada pengulangan penganiayaan dan kekerasan mengerikan itu," kata Lee dalam sebuah pernyataan.
Lee menambahkan sebab-sebab yang mendasari krisis ini harus ditanggapi dulu, termasuk hak kewarganegaraan.
Peringatan Lee itu menyusul pengakuan Facebook bahwa jejaring media sosial itu berperan dalam genosida terhadap orang-orang Rohingya.
Kampung Rohingya di Rakhine Belum Siap Huni
Komisariat Tinggi PBB Urusan Pengungsi, (UNHCR) mengatakan, keadaan di negara bagian Rakhine di Myanmar "belum memadai untuk dihuni kembali.
Hal ini dinilai setelah Bangladesh dan Myanmar setuju untuk memulai memulangkan ratusan ribu warga muslim Rohingya pertengahan November, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia.
"Sangat penting bahwa pemulangan itu tidak terburu-buru atau prematur," kata juru bicara UNHCR, Andrej Mahecic dan bahwa pemulangan itu juga harus bersifat sukarela.
"Kami menyarankan untuk tidak memaksakan waktunya atau jumlah orang yang dipulangkan," tambahnya.
Para pejabat PBB juga pernah melaporkan muslim Rohingya hidup dalam ketakutan dan tidak bisa bebas bergerak di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Advertisement