Pidato Imlek, Presiden Taiwan Harapkan Kebebasan dan Demokrasi

Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen berharap "kebahagian" Imlek berupa kebebasan dan demokrasi dapat dinikmati oleh seluruh komunitas China.

oleh Siti Khotimah diperbarui 05 Feb 2019, 11:01 WIB
Diterbitkan 05 Feb 2019, 11:01 WIB
Tsai Ing-wen, presiden wanita pertama Taiwan yang disumpah pada Mei 2016
Tsai Ing-wen, presiden wanita pertama Taiwan yang disumpah pada Mei 2016 (AP Photo/Chiang Ying-ying)

Liputan6.com, Taipei - Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen berharap kebebasan dan demokrasi dapat dinikmati oleh seluruh penutur bahasa China global. Hal itu disampaikan dalam sebuah pidato sambutan tahun baru China atau Imlek, pada Minggu 3 Februari 2019.

Bahasa China yang dimaksud merujuk pada Bahasa Mandarin, Hakka, Taiwan, Teochew, dan Kanton. Demikian sebagaimana dikutip dari media lokal Focus Taiwan, Senin (4/2/2019).

Dalam kesempatan yang sama Presiden Tsai meneguhkan kembali nilai yang dianut negaranya, yakni kebebasan dan demokrasi. Ia menyebut keduanya sebagai "kebahagiaan" bagi negerinya.

Ia juga mengatakan bahwa hanya negara yang tidak berprinsip demokrasi, yang tidak mampu memahami nilai-nilai yang telah dipegang teguh oleh Taiwan sejak lama.

Apa yang dikatakan oleh Presiden Taiwan merujuk pada Beijing yang dianggapnya kurang dapat menghargai kebebasan warga negara.

Tsai Ing-wen berharap suatu saat seluruh komunitas penutur bahasa China, di manapun mereka berada, dapat merasakan kebebasan dan demokrasi.

Pidato itu seolah mencerminkan semangat Tsai Ing-wen untuk memperjuangkan kemerdekaan Taiwan. Sebagaimana misi politiknya sejak terpilih sebagai pemimpin negara pada 2016 lalu.

Hingga berita ini terbit, belum terdapat tanggapan dari Beijing terkait pidato Imlek dari Presiden Tsai Ing-wen.

 

Simak video pilihan berikut:

Tekad Kuat Taipei dan Beijing

Ilustrasi hubungan China, Taiwan, dan Amerika Serikat (AFP Photo)
Ilustrasi hubungan China, Taiwan, dan Amerika Serikat (AFP Photo)

Sebagaimana yang diketahui, Taiwan saat ini masih diklaim oleh China sebagai bagian dari teritorinya. Kedua negara bersepakat menerapkan kebijakan Satu China atau One China Policy, dimana setiap negara di dunia hanya dapat mengakui salah satu dari keduanya sebagai negara yang merdeka.

Melihat keberadaan pimpinan Partai Progresif Demokratik dengan kalimat-kalimat frontalnya, Xi Jinping, Presiden China, tidak lantas diam. Negeri Tirai Bambu menunjukkan sikap asertifnya, yang termaktub dalam pidato Presiden Xi awal tahun lalu. Dalam pidato itu, ia mengatakan bahwa negaranya dapat "secara paksa" menundukkan Taiwan, dikutip dari South China Morning Post.

Pernyataan itu dibuktikan dengan sikap Beijing yang secara konsisten mengirimkan pesawat dan kapal perang untuk berpatroli di perairan Pulau Formosa. China juga mengirimkan beberapa alat pengebom dan pesawat melalui Bashi Channel atau Terusan Bashi, yang memisahkan Taiwan dan Filipina.

Meskipun mendapatkan berbagai tekanan, Taiwan tetap bersikukuh tidak ingin menjadi bagian dari China. Baru-baru ini, Taipei telah berani membalas ancaman Beijing. Tidak tanggung-tanggung, Taipei telah sukses melobi AS untuk menyukseskan misi tersebut.

Beberapa waktu lalu, untuk kali pertamanya dalam tahun 2019, Amerika Serikat (AS) mengirimkan dua kapal perang ke Selat Taiwan. Hal itu dapat dilihat sebagai dukungan Donald Trump untuk Taiwan yang berseteru dengan China.

Meskipun tekad Taiwan untuk merdeka sudah kuat, Partai Progresif Demokratik, partai Tsai Ing-wen mengalami kekalahan besar dari Partai Kuomintang November lalu.

Sebagai implikasinya, hubungan Beijing - Taipei bisa mengalami perubahan, apabila presiden yang akan terpilih di pemilu mendatang lebih moderat dan pasif.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya