Liputan6.com, New York - Kiamat bagi galaksi kita, Bimasakti mungkin 'tertunda'. Setidaknya itu yang disimpulkan dari perhitungan para ilmuwan.
Sebuah studi baru menunjukkan bahwa tabrakan dahsyat yang diprediksi terjadi antara Bimasakti dan galaksi berbentuk spiral, Andromeda, akan terjadi sekitar 4,5 miliar tahun dari sekarang, menurut pengamatan yang dilakukan oleh pesawat ruang angkasa Eropa, Gaia.
Beberapa penelitian sebelumnya memperkirakan, tabrakan itu akan terjadi lebih cepat, dalam waktu sekitar 3,9 miliar tahun. Namun dugaan ini kemungkinan besar meleset.
Advertisement
"Temuan ini sangat penting untuk pemahaman kita tentang bagaimana galaksi, rupanya, berevolusi dan berinteraksi," kata ilmuwan proyek Gaia, Timo Prusti, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari Live Science, Selasa (12/2/2019).
Baca Juga
Gaia diluncurkan pada Desember 2013 untuk membantu para ilmuwan membuat peta tiga dimensi (3D) lain dari Bimasakti. Pesawat ruang angkasa ini telah memantau posisi dan pergerakan sejumlah besar bintang dan objek kosmik lainnya secara tepat.
Sementara itu, tim misi tersebut sudah melacak lebih dari 1 miliar bintang sebelum Gaia tak lagi berfungsi untuk selamanya.
Sebagian besar bintang yang Gaia amati berada di Bimasakti, tetapi beberapa di antaranya terletak di galaksi terdekatnya.
Dalam riset baru, para peneliti menemukan sejumlah bintang di galaksi Bimasakti, di Andromeda (juga dikenal sebagai M31) dan di dalam spiral Triangulum (atau M33). Ketiga galaksi yang saling bertetangga ini berada dalam jarak 2,5 juta hingga 3 juta tahun cahaya dari Bimasakti dan dapat berinteraksi satu sama lain.
"Kami perlu mengeksplorasi gerakan galaksi dalam 3D untuk mengungkap bagaimana mereka tumbuh dan berevolusi, serta apa yang menciptakan, memengaruhi fitur dan perilaku mereka," kata penulis utama penelitian, Roeland van der Marel, dari Space Telescope Science Institute di Baltimore.
"Kami dapat melakukannya menggunakan paket data kedua berkualitas tinggi, yang dirilis oleh Gaia," tambah van der Marel, merujuk pada tangkapan yang dirilis pada April 2018.
Pekerjaan ini memungkinkan tim riset untuk menentukan tingkat rotasi M31 dan M33 -- sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya, kata para peneliti.
Dengan memanfaatkan temuan yang diperoleh oleh Gaia dan analisis informasi arsip, tim kemudian memetakan gerakan dari M31 dan M33 yang berjalan melalui ruang angkasa di masa lalu dan ke mana keduanya akan pergi selama beberapa miliar tahun ke depan.
Model-model tersebut memberikan penanggalan yang lebih lambat dari perkiraan semula --terkait tabrakan Andromeda dan Bimasakti.
Karena jarak antar bintang begitu besar, kemungkinan tata surya kita akan terganggu oleh adanya "penggabungan" tersebut. Tetapi tabrakan itu pasti akan menyilaukan langit malam bagi makhluk apa pun yang ada di Bumi, yang hidup 4,5 miliar tahun dari sekarang.
"Gaia dirancang untuk memetakan bintang-bintang di dalam Bimasakti ---tetapi studi baru ini menunjukkan bahwa satelit itu bisa melakukan lebih dan dapat memberikan wawasan unik tentang struktur dan dinamika galaksi di luar wilayah kita sendiri," papar Prusti.
"Semakin lama Gaia mengamati pergerakan kecil galaksi-galaksi ini di langit, pengukuran kita akan menjadi lebih tepat," lanjutnya.
Andromeda bukan satu-satunya galaksi yang ditabrak oleh Bimasakti. Awan Magellan Besar (Large Magellanic Cloud) dan Bimasakti disebut akan "menyatu" sekitar 2,5 miliar tahun dari sekarang.
Studi baru tersebut diterbitkan bulan ini di The Astrophysical Journal.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Ilmuwan Temukan 72 Sinyal Radio Misterius
Sementara itu sebelumnya, para ilmuwan --yang mencari kehidupan di angkasa luar-- mengklaim bahwa mereka telah menemukan 72 sinyal radio misterius di Galaksi Bimasakti. Gelombang tersebut terdeteksi oleh kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI) yang terdapat dalam mesin pencari alien.
Para peneliti dari SETI (Search for Extraterrestrial Intelligence) Institute menemukan sinyal yang tidak biasa itu ketika memeriksa data radio sebesar 400 terabyte dari sebuah galaksi kerdil, yang berjarak tiga miliar tahun cahaya dari Bumi.
SETI adalah nama dari sekelompok usaha terorganisir untuk mendeteksi kehidupan ekstraterestrial. Sejumlah usaha yang tergabung di dalamnya diorganisir dan didanai oleh pemerintah Amerika Serikat.
Periset mengemukakan, hampir semua teknologi AI sudah mengotomatisasi analisis data dan menyisir kumpulan data besar untuk mengidentifikasi pola atau kejadian yang tidak biasa.
Sinyal yang ditemui oleh para ilmuwan --semburan radio cepat (Fast Radio Bursts atau FRB)-- berbentuk pulse (bunyi teratur) dan ditemukan pertama kali pada tahun 2007. FRBs diyakini oleh para peneliti berasal dari galaksi yang jauh dari Bumi, meskipun belum diketahui asal mulanya.
"Sifat dari objek yang memancarkan FRB tidak diketahui," kata SETI, seperti dikutip dari Sky News, Rabu 12 September 2018. "Ada banyak teori yang kami dapatkan, termasuk bahwa FRB adalah tanda dari sebuah teknologi yang dikembangkan oleh kehidupan di antariksa."
Tahun lalu, para ilmuwan di Harvard University menyatakan bahwa FRB kemungkinan muncul karena adanya kebocoran energi dari pemancar yang kuat di ruang hampa, yang dibangun oleh sebuah peradaban asing atau alien untuk kapal raksasa mereka, ketika melakukan perjalanan antarbintang (interstellar).
FRB terdeteksi dalam data yang dikumpulkan oleh Green Bank Telescope, bagian dari Radio Quiet Zone AS, di mana sinyal komunikasi nirkabel tidak boleh digunakan untuk mencegah gangguan dengan teleskop tersebut.
Gerry Zhang, seorang mahasiswa PhD di Berkeley University, adalah orang yang mengembangkan algoritma mesin pembelajaran (machine-learning) yang digunakan untuk memeriksa data sebesar 400 terabyte tersebut. Sedangkan peneliti lain telah mengidentifikasi temuan 21 FRB yang diduga berasal dari makhluk astral seperti alien.
"Karya milik Gerry menarik, bukan hanya karena bisa membantu kita dalam memahami perilaku dinamis FRB secara lebih rinci," papar Dr Andrew Siemion dari SETI. "Tetapi juga karena mesin itu mampu mendeteksi sinyal yang tidak bisa dibaca oleh algoritma klasik."
"Teknik baru ini telah meningkatkan kepekaan kami terhadap sinyal dari teknologi angkasa luar," imbuh Dr Siemion.
Sementara itu, hasil penelitian ini telah diterima untuk dipublikasikan dalam Astrophysical Journal.
Advertisement