Liputan6.com, Washington DC - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menerapkan prinsip hukum hak eksekutif, untuk menangkis pemakzulan atas laporan investigasi --yang belum selesai-- oleh penasihat khusus Robert Mueller, terkait dugaan campur tangan Rusia dalam pemilihan umum 2016.
Keputusan itu diumumkan tepat ketika Komite Kehakiman DPR AS mendesak Jaksa Agung William Barr untuk mengeluarkan seluruh laporan yang terkumpul, demikian sebagaimana dikutip dari Abc.net.au pada Kamis (9/6/2019).
Jika disetujui, perintah rilis terkait akan memicu rujukan pidana ke pengadilan tinggi AS untuk Washington DC, yang akan memutuskan apakah akan dijadikan tuntutan atau tidak terhadap Donald Trump.
Advertisement
Baca Juga
"Ini adalah langkah sangat serius dan penting, yang terpaksa kami ambil untuk menanggapi penghinaan terhadap Jaksa Agung Amerika Serikat. Kami tidak senang melakukan hal ini. Tetapi kami tidak punya pilihan," kata Ketua Komite Kehakiman Jerrold Nadler.
Hasil investigasi Mueller "yang telah disesuaikan" dirilis pada 18 April lalu oleh Jaksa Agung Barr, dan meninggalkan beberapa pertanyaan tentang hasil penyelidikan yang belum selesai itu.
Dalam sepucuk surat kepada Donald Trump, Jaksa Agung Barr menjelaskan bahwa arsip hasil penyelidikan Mueller berisi jutaan halaman informasi rahasia, namun dinyatakan tidak terklasifikasi.
Namun di lain pihak, menurut Nadler, kebijakan Kementerian Kehakiman di bawah pemerintahan Donald Trump secara jelas berusaha menyalahi peran presiden terhadap konstitusional Kongres.
"Setiap hari kita menemukan upaya-upaya baru oleh pemerintahan ini (Trump) untuk menghalangi Kongres," kata Nadler.
Sementara itu, juru bicara Gedung Putih, Sarah Sanders, mengatakan upaya pemakzulan tidak lebih dari respons terhadap "penyalahgunaan kekuasaan secara terang-terangan" oleh Nadler, yang merupakan salah satu wakil utama kubu Demokrat.
"Baik Gedung Putih maupun Jaksa Agung Barr tidak akan memenuhi tuntutan Ketua Nadler yang melanggar hukum dan gegabah," katanya.
Krisis Konstitusional
Kubu Demokrat di Komite Kehakiman AS mengatakan bahwa pemerintahan Donald Trump telah menginjak-injak tugas Kongres untuk melakukan pengawasan.
Menurut Nadler, penolakan pemerintahan Trump untuk bersaksi di Kongres atas dugaan campur tangan Rusia dalam pilpres 2016, telah memicu "krisis konstitusional".
Hal itu membuat panel terkait tidak punya pilihan lain, kecuali bergerak maju untuk melawan Jaksa Agung Barr di ranah hukum.
Pembicaraan dengan Kementerian Kehakiman AS pada Selasa 7 Mei, telah gagal menemui titik temu terkait desakan untuk merilis laporan investigasi secara penuh.
Jaksa Agung Barr merilis versi "yang disesuaikan" (redacted) dari laporan Mueller kepada publik bulan lalu, tetapi Demokrat meminta versi lengkapnya.
Sementara kementerian kehakiman AS menolak permintaan itu, mereka mengizinkan segelintir politikus untuk melihat versi laporan Mueller dengan lebih sedikit penyuntingan.
Demokrat mengatakan mereka tidak akan melihat versi itu sampai mereka mendapatkan akses yang lebih luas.
Advertisement
Bisa Memakan Waktu Sangat Lama
Hak eksekutif adalah kekuatan Presiden AS untuk menyimpan informasi dari pengadilan, Kongres dan publik, guna melindungi kerahasiaan proses pengambilan keputusan negara.
Jika komite berhasil menahan Jaksa Agung Barr dalam upaya penyuntingan laporan Mueller, maka itu akan menjadi langkah pertama dalam pertempuran pengadilan yang berlarut-larut, antara Kongres dan pemerintahan Trump.
Meski begitu, DPR AS masih perlu mengirim rujukan pidana ke pengacara AS untuk Distrik Columbia, yakni seorang pejabat Kementerian Kehakiman, yang kemungkinan akan membela Jaksa Agung.
Para pemimpin kubu Demokrat juga bisa mengajukan gugatan terhadap Kementerian Kehakiman untuk mendapatkan laporan Mueller, meskipun kasus itu bisa memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk diselesaikan.