PBB: Eksekusi di Luar Hukum Selama Krisis Venezuela Renggut 5.300 Nyawa

PBB merilis laporan "mengejutkan" mengenai tingginya angka pembunuhan ekstrayudisial selama krisis di Venezuela.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 05 Jul 2019, 14:41 WIB
Diterbitkan 05 Jul 2019, 14:41 WIB
Puluhan Ribu Demonstran Tuntut Presiden Venezuela Mundur
Puluhan ribu demonstran antipemerintah menuntut pengunduran diri Presiden Venezuela Nicolas Maduro di Caracas, Venezuela, Sabtu (2/2). Tokoh oposisi Juan Guaido mendeklarasikan dirinya sebagai 'presiden interim'. (AP Photo/Juan Carlos Hernandez)

Liputan6.com, Jenewa - PBB baru-baru ini merilis laporan yang "mengejutkan" mengenai tingginya angka eksekusi di luar hukum atau ekstrayudisial (extrajudicial killing) selama krisis di Venezuela.

Setidaknya 5.300 orang tewas akibat pembunuhan ekstrayudisial selama 18 bulan terakhir di Venezuela, menurut laporan dari Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet, seperti dikutip dari Sky News, Jumat (5/7/2019).

Bachelet juga mengklaim, 1.569 kriminal telah dibunuh dengan prosedur yang sama sejak 19 Mei 2019.

Namun, menurut laporan PBB, keluarga dari 20 pria telah menggambarkan bagaimana pria bertopeng berpakaian hitam dari Pasukan Aksi Khusus (FAES) Venezuela yang tiba di rumah mereka dengan truk pickup hitam tanpa plat nomor.

Dalam laporan itu, "regu kematian" masuk ke rumah-rumah, mengambil barang-barang dan menyerang anggota keluarga sebelum memisahkan pemuda dan menembak mereka.

Laporan itu mengatakan, "Dalam setiap kasus, saksi melaporkan bagaimana FAES memanipulasi TKP dan bukti."

"Mereka akan menanam bukti palsu beruoa senjata dan obat-obatan dan menembakkan senjata mereka ke dinding atau di udara untuk menyarankan konfrontasi dan untuk menunjukkan bahwa korban telah 'menentang otoritas'."

Simak video pilihan berikut:


PBB Sebut Ulah Nicolas Maduro, Caracas Membantah

Presiden Venezuela Nicolas Maduro (AP/Ariana Cubillas)
Presiden Venezuela Nicolas Maduro (AP/Ariana Cubillas)

Dikatakan dalam laporan PBB bahwa pembunuhan itu adalah bagian dari strategi rezim Presiden Nicolas Maduro untuk "menetralisir, menindas dan mengkriminalisasi lawan politik dan orang-orang yang kritis terhadap pemerintah."

Merespons, Caracas menyebut laporan itu sebagai "selektif dan parsial", dan berpendapat bahwa PBB mengandalkan "sumber-sumber yang kurang objektif."

Venezuela terjerumus ke dalam krisis politik awal tahun ini setelah oposisi berusaha untuk menggulingkan pemerintah saat ini --sementara keruntuhan ekonomi telah mendorong eksodus penduduk ke Meksiko dan Amerika Serikat.

Laporan PBB didasarkan pada 558 wawancara dengan para korban dan saksi pelanggaran hak asasi manusia dan situasi ekonomi yang memburuk, di Venezuela dan delapan negara lainnya, dan mencakup periode dari Januari 2018 - Mei 2019.

Selama periode pelaporan, PBB mengatakan bahwa pasukan sipil dan militer diduga bertanggung jawab atas penahanan sewenang-wenang, penganiayaan dan penyiksaan terhadap orang-orang yang kritis terhadap pemerintah dan kerabat mereka, kekerasan berbasis seksual dan gender dalam penahanan dan selama kunjungan dan penggunaan yang berlebihan dari kekuatan selama demonstrasi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya