Ghost Fleet: Kisah Nyata Nelayan Asing Korban Perbudakan Modern di Asia Tenggara

Bukannya penghasilan besar yang mereka petik, para nelayan asing itu justru dijerumuskan ke jurang perbudakan modern.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 08 Agu 2019, 16:47 WIB
Diterbitkan 08 Agu 2019, 16:47 WIB
6 Kapal Asing Pencuri Ikan Menunggu Diledakan
Ilustrasi kapal nelayan asing. (Liputan6.com/Richo Pramono)

Liputan6.com, Jakarta - Kasim baru berusia 21 tahun ketika ia tercerabut dari rumahnya di Myanmar beberapa tahun silam untuk dipaksa bergabung menjadi awak kapal penangkap ikan asal Thailand.

Bukannya penghasilan besar yang Kasim petik, pemuda itu justru dijerumuskan ke jurang perbudakan modern 'berwajah' nelayan asing oleh perusahaan dari Negeri Gajah Putih yang terdaftar dan melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia timur.

Kasim dipaksa bekerja rodi. Ia bisa setahun lebih melaut tanpa menjejak daratan. Upahnya ditahan perusahaan dan ia dihambat untuk pulang. Jika melawan, kekerasan fisik dari kapten kapal bisa Kasim dapatkan.

Sudahlah jatuh, tertimpa tangga. Status Kasim sebagai 'budak modern' juga membuatnya menjadi pekerja migran tak berdokumen di Indonesia. Jangan harap gaji selangit, hak-hak mendasar sebagai pekerja migran sudah pasti tak terpenuhi.

Kasim hidup nelangsa di Kaimana, Papua Barat. Seadanya.

Ketika lembaga swadaya hak-hak buruh migran dan pengentas perbudakan modern asal Thailand, Labor Right Promotion Network Foundation (LPN), berhasil menjangkaunya dan menawarkan pulang ke Burma pada 2016, Kasim dengan berat hati menolak.

Bukannya ia tak rindu rumah dan sanak-saudara. Tapi, setelah sejumlah tahun tercerabut dari kampung halaman, asa Kasim untuk kembali pulang sudah sirna.

Bagaimanapun, Kasim tetaplah manusia yang punya kebutuhan, termasuk untuk urusan biologis. Selagi tinggal, ia telah menikah dengan perempuan lokal, kemudian memiliki anak, dan berkeluarga.

"Saya tidak punya uang untuk kembali. Saya ingin, tetapi saya tidak bisa. Sekarang saya telah membangun kehidupan di sini," katanya dalam film dokumenter 'Ghost Fleet' yang membingkai kasus perbudakan modern bermodus nelayan asing di perairan Indonesia timur.

Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta menggelar pemutaran film dokumenter itu pada Rabu (7/8/2019) kepada sejumlah wartawan, pemangku kepentingan, dan organisasi kemanusiaan.

Ketika montase film menunjukkan Kasim merekam pesan video untuk keluarganya atas permintaan LPN, pria Myanmar itu menangis.

Pesan itu, yang dijanjikan oleh para aktivis akan ditunjukkan kepada keluarganya di Burma, mungkin merupakan kata-kata terakhir yang akan diucapkan Kasim untuk para handai taulan.

"Ibu, ayah, pacar - belahan jiwaku - jangan khawatir tentang aku. Aku harus merawatku keluarga sendiri di sini. Saya ingin pulang, tetapi saya tidak bisa. Saya semakin tua. Waktu saya sudah habis untuk kembali pulang," lanjutnya.

Namun, beberapa mungkin tak seberuntung mereka yang telah berhasil dibebaskan, atau tak seberuntung Kasim yang masih bernapas.

Di tengah-tengah dokumenter, tim aktivis LPN menemukan para korban tewas selama perbudakan modern. Mereka dikubur di tanah Indonesia dengan nisan kayu seadanya, mati diperbudak di negeri orang dan jauh dari kampung halaman.

Simak video pilihan berikut:

Tragis

Tangkapan Nelayan Tak Laku Dijual, Tekanan Pasca-Insiden Natuna?
Ilustrasi. (Liputan6.com/Ajang Nurdin)

Film dokumenter Ghost Fleet yang disutradarai Shannon Service dan Jeffrey Waldron membingkai hampir apik mengenai nasib tragis para korban perbudakan modern dari negara-negara Asia Tenggara yang dipekerjakan secara paksa --dan ilegal-- di kapal-kapal penangkap ikan yang beroperasi di perairan Indonesia timur.

Terinspirasi dari peliputan investigatif dan mendalam dari para jurnalis Amerika Serikat, dokumenter itu mengisahkan seluk beluk jaringan perbudakan modern dari akar hingga dampaknya bagi para korban; mulai dari sifat pekerjaan yang sangat berisiko bisa melukai atau membunuh hingga efek psiko-sosial jangka panjang.

Melalui testimoni para korban, dokumenter membingkai bagaimana perusahaan penangkap ikan asal Thailand yang beroperasi di Indonesia timur, PT Benjina Pusaka Resources (PBR) menjerat para budak-budak modern itu, membalut tipu muslihat mereka dengan tawaran pekerjaan serta gaji yang menjanjikan. Tindak pidana PBR telah mencuat ke permukaan sejak 2014, memicu pemerintah Indonesia mengambil langkah tegas di bawah undang-undang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan mengantisipasi agar kejadian serupa tidak berulang.

Ghost Fleet juga menampilkan kepada audiens mengenai sisi kriminal-konspiratif dari kejahatan tersebut, menyebut soal tindakan penculikan terhadap para calon budak hingga dugaan aparat pemerintah korup yang melanggengkan fenomena tersebut selama bertahun-tahun lamanya.

Seluk-beluk itu ditampilkan dari perspektif protagonis utama dokumenter, Patima Tungpuchayakul, seorang aktivis, pendiri LPN, dan peraih nominasi Nobel Perdamaian 2017. Film menceritakan bagaimana perempuan paruh baya itu turun langsung ke lapangan menerjang segala potensi bahaya, menelusuri pelosok Indonesia timur bersama rekan-rekannya --termasuk seorang penyintas asal Myanmar-- untuk menyelamatkan mereka yang "terpenjara dan diperbudak di perairan."

Determinasi Patima dalam mendedikasikan hidupnya untuk menolong para korban dan merehabilitas para penyintas digambarkan dengan penuh perasaan. Empati penuhnya, yang rela meninggalkan keluarga di Thailand untuk menyelamatkan korban, adalah salah satu faktor yang membuatnya menjadi peraih nominasi Nobel Perdamaian 2017.

"Apakah kamu ingin pulang?" mungkin menjadi sebuah kata yang tak bosan-bosannya diucapkan Patima sebanyak beribu-ribu kali kepada para korban perbudakan modern tersebut.

Pada akhir film, disebutkan bahwa Patima dan tim dari LPN, telah berhasil menyelamatkan lebih dari 4.000 orang korban perbudakan modern bermodus nelayan asing di sejumlah titik perairan Asia Tenggara.

Jaringan

Cuaca Buruk, Nelayan Muara Angke Libur Melaut
Ilustrasi kapal nelayan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ghost Fleet menggambarkan bagaimana fenomena perbudakan modern bermodus nelayan asing merupakan sebuah jaringan yang terkoneksi dan beroperasi 'di balik layar'. Tanpa bermaksud hiperbolis, namun, peliputan investigatif dari sekelompok jurnalis asing terhadap sampel fenomena yang terjadi di perairan Indonesia timur itu berhasil membuka mata publik dan pemerintah terhadap sebuah kejahatan yang mungkin selama ini terkubur sejak beberapa tahun terakhir.

Seorang staf Badan PBB urusan Migrasi di Indonesia (IOM) mencatat bahwa dokumenter tersebut memang membuka mata. Namun, pihaknya mencatat bahwa persoalan serupa telah mengemuka sejak 2011, dan sejumlah korban telah tercerabut dari negara asalnya sejak hampir beberapa tahun lebih lama sebelumnya.

Salah satu 'titik puncaknya' adalah pada kasus PT Benjina Pusaka Resources tahun 2014, kata staf IOM Shafira Ayunindya di Kedutaan AS Jakarta.

"Pada saat itu akhirnya IOM bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI untuk membebaskan mereka yang menjadi korban," kata Shafira

Shafira mengatakan, sejak IOM membuka kantor perwakilan di Indonesia, badan PBB itu telah membantu sekitar 9.000 korban perdagangan orang -- sebuah konsep yang memayungi kasus-kasus perbudakan modern berwajah nelayan asing. Dari total angka itu, sekitar 2.300 orang di antaranya adalah nelayan asing yang diperbudak.

Sementara itu, pejabat politik Kedutaan AS di Jakarta, Fausto DeGuzman mengatakan bahwa fenomena tersebut disebabkan oleh faktor ekonomi, instabilitas politik di negara asal, dan pemerintahan yang korup.

"Kami merilis setiap tahunnya laporan Kementerian Luar Negeri AS tentang fenomena perdagangan orang, di mana untuk setiap negara, AS merekomendasikan sejumlah langkah yang bisa mereduksi atau menghapus kasus tersebut," jelasnya.

DeGuzman merujuk pada 'Trafficking in Persons Report (TIP) 2019, US State Department' edisi terbaru yang rilis tahun ini.

Kemlu AS mengklaim TIP sebagai 'laporan paling komprehensif mengenai upaya yang dilakukan pemerintah berbagai negara terkait isu anti-perdagangan manusia'.

Salah satu hasil kajian TIP adalah pengkategorisasian (tier) -- berdasarkan tingkatan tinggi-rendahnya -- berbagai negara berdasarkan upaya mereka untuk mengeliminasi fenomena perdagangan manusia.

Pengkategorisasian itu mengacu pada ketentuan yang diatur dalam 'Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children', yang merupakan suplemen untuk Convention Against Transnational Organised Crime PBB pada tahun 2000.

Di Tier 1 atau tingkatan pertama merupakan kategori negara yang memiliki upaya terbaik untuk menghapuskan perdagangan manusia. Sedangkan Tier 3 merupakan yang terburuk.

Mengentas

Menengok Tempat Perbaikan Kapal Nelayan di Myanmar
Para pekerja berjalan melewati kapal-kapal yang sedang diperbaiki di galangan kapal di tepi Sungai Yangon, yang terletak di pinggiran Yangon, Myanmar (30/7/2019). (AFP Phot/Sai Aung Main)

Dalam film, ketika Perdana Menter Thailand Prayut Chan-o-Cha mengunjungi beberapa korban yang berhasil diselamatkan dari Indonesia, ia mengatakan "Kita akan membuat undang-undang lebih ketat," ia mengumumkan. "Kami menangani masalah ini dengan serius!"

Bisnis perikanan Thailand, salah satu negara pengekspor hasil tangkapan laut terbesar di dunia, digambarkan oleh Ghost Fleet sebagai penyebab terjadinya fenomena perbudakan modern tersebut.

Pada akhir dokumenter, montase kreatif yang berjalan mundur menggambarkan bagaimana hasil olahan ikan yang kita beli di supermarket dan konsumsi sehari-hari mungkin bersumber dari peluh para korban perbudakan. Dan Thailand, diinterpretasikan memiliki tanggung jawab moral dalam 'melanggengkan' hal tersebut.

Kini, setelah kasus tersebut mencuat ke permukaan dan di bawah ancaman boikot impor Eropa, pemerintah Thailand telah mulai mendaftarkan dan memeriksa semua kapal penangkap ikan. Misalnya, penangkapan ikan yang berlebihan, metode penangkapan ikan yang tidak ramah alam, perdagangan manusia dan perbudakan harus dihentikan.

Eropa yang puas telah menarik 'lampu kuning'-nya terhadap Thailand pada Januari 2019.

Menurut Human Rights Watch, ada juga kemajuan. Perdagangan manusia dan perbudakan tampaknya menghilang.

Tetapi, perbaikan lebih lanjut tetap diperlukan: kondisi kerja bagi puluhan ribu pekerja miskin masih sama tidak manusiawinya seperti sebelumnya. Karena mereka harus menyerahkan paspor mereka dan kapal kadang-kadang menjauh selama bertahun-tahun. Dan menurut, HRW para nelayan terjebak di atas kapal seperti biasa. Dan melalui Ghost Fleet kita tahu nasib apa yang menanti mereka.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya