Liputan6.com, Teheran - Iran telah memulai proses produksi logam uranium yang diperkaya sehingga dapat membantunya mengembangkan senjata nuklir, kata tim pengawas atom PBB.
Teheran memberi tahu Badan Energi Atom Internasional (IAEA), dan mengatakan tujuannya adalah untuk mengembangkan bahan bakar sebagai reaktor riset.
Baca Juga
Pejabat Inggris, Prancis dan Jerman mengatakan langkah itu dapat mengancam pembicaraan untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 yang sempat ditinggalkan.
Advertisement
Sementara, Amerika Serikat menyebutnya sebagai "langkah mundur yang disayangkan".
Kesepakatan itu, yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA), memberlakukan pembatasan pada program nuklir Iran untuk mempersulit mereka mengembangkan senjata nuklir.
Sebagai imbalannya, AS dan Eropa sepakat untuk mencabut sanksi ekonomi yang ada, demikian dikutip dari laman BBC, Rabu (7/7/2021).
Mantan Presiden Donald Trump menarik AS keluar dari kesepakatan pada 2018 dan memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran, setelah itu Teheran mulai melanggar banyak pembatasannya.
Pemerintahan Presiden AS Joe Biden sejauh ini mempertahankan sanksi Trump terhadap Iran.
Sekarang, negosiator dari AS dan Eropa telah mengadakan pembicaraan di Wina untuk mencoba dan memulihkan kesepakatan tersebut.
Pembicaraan dimulai pada April 2021 dan ditunda pada tanggal 20 Juni kemarin, tanpa tanggal yang ditetapkan untuk putaran pertemuan berikutnya.
Presiden terpilih Iran Ibrahim Raisi ingin AS mencabut sanksi terhadap negaranya sebagai imbalan untuk mematuhi kesepakatan itu.
Dalam sebuah pernyataan pada Selasa (6/7), IAEA mengatakan: "Hari ini, Iran memberi tahu bahwa UO2 (uranium oksida) yang diperkaya hingga 20% U-235 akan dikirim ke laboratorium R&D (penelitian dan pengembangan) di Pabrik Fabrikasi Bahan Bakar di Esfahan. Di mana, ini akan diubah menjadi UF4 (uranium tetrafluorida) dan kemudian menjadi logam uranium yang diperkaya hingga 20% U-235, sebelum menggunakannya untuk memproduksi bahan bakar."
Â
Kekhawatiran Sejumlah Negara
Pejabat dari Inggris, Prancis dan Jerman mengatakan bahwa mereka memiliki "keprihatinan besar" tentang keputusan Iran.
"Iran tidak memiliki kebutuhan sipil yang kredibel untuk R&D dan produksi logam uranium, yang merupakan langkah kunci dalam pengembangan senjata nuklir," kata ketiga negara dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh Kantor Luar Negeri Inggris.
"Dengan langkah-langkah terbarunya, Iran mengancam hasil yang sukses dari pembicaraan Wina meskipun kemajuan sudah dicapai dalam enam putaran negosiasi."
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan bahwa meskipun mereka tidak menetapkan tenggat waktu untuk pembicaraan, "sejalan dengan berjalannya waktu, kemajuan nuklir Iran akan mempengaruhi pandangan kami untuk kembali ke JCPOA".
Advertisement