Liputan6.com, Beirut - Penyebaran COVID-19 varian baru dari Afrika Selatan, Omicron terus terjadi. Kali ini dilaporkan dari Lebanon.
Mengutip Xinhua, Jumat (10/12/2021), Kementerian Kesehatan Lebanon pada Kamis 9 Desember mengatakan bahwa mereka telah mendeteksi dua kasus pertama COVID-19 varian Omicron. Hal itu diketahui setelah para penumpang menjalani tes saat kedatangan di bandara Beirut.
"Dua kasus yang terdeteksi dalam tes di bandara dipastikan varian Omicron," kata Menteri Kesehatan Lebanon Firas Abiad dalam konferensi pers.
Advertisement
Baca Juga
"Kedua penumpang tersebut tiba di Lebanon dari Benua Afrika dan telah ditempatkan di karantina," imbuhnya.
Rabu 8 Desember Lebanon melaporkan 1.994 kasus baru COVID-19, dan total infeksi di negara itu mencapai 683.326. Sementara jumlah kematian akibat infeksi virus tersebut bertambah sembilan kasus menjadi 8.804.
Lebanon dilanda pandemi COVID-19 sejak 21 Februari 2020.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Varian Omicron Terdeteksi di 57 Negara
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) menyampaikan COVID-19 varian Omicron kini telah dilaporkan ada di 57 negara. Diperkirakan jumlah itu akan terus bertambah.
Fitur-fitur tertentu dari Omicron, termasuk penyebaran global dan sejumlah besar mutasi, menunjukkan bahwa hal itu dapat berdampak besar pada perjalanan pandemi.
“Kami sekarang mulai melihat gambaran yang konsisten dari peningkatan pesat dalam transmisi, meskipun untuk saat ini tingkat peningkatan yang tepat relatif terhadap varian lain masih sulit untuk diukur,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom dalam keterangan pers Rabu (8/12/2021).
Di Afrika Selatan, jumlah kasus Omicron meningkat dengan cepat. Namun, Omicron terdeteksi saat transmisi Delta sangat rendah, sehingga persaingannya kecil.
Oleh karena itu, penting untuk memantau dengan cermat apa yang terjadi di seluruh dunia. Serta perlu memahami apakah Omicron dapat mengalahkan dominasi Delta.
Untuk alasan itu, WHO meminta semua negara untuk meningkatkan pengawasan, pengujian, dan pengurutan.
Diagnostik yang ada masih berfungsi seperti PCR maupun tes berbasis antigen.
Advertisement