Liputan6.com, Washington D.C - Pemerintahan Joe Biden, Jumat (2/9) mengumumkan penjualan senjata lebih dari US$ 1 miliar atau setara Rp 14,8 triliun kepada Taiwan ketika ketegangan AS-China meningkat terkait status pulau itu.
Penjualan US$ 1,09 miliar termasuk US$ 355 juta untuk rudal udara-ke-laut Harpoon dan US$ 85 juta untuk rudal udara-ke-udara Sidewinder, kata Departemen Luar Negeri.
Baca Juga
Meski demikian, porsi terbesar dari penjualan senjata itu adalah paket dukungan logistik senilai US$ 655 juta untuk program radar pemantau Taiwan, yang memberikan peringatan dini kepada sistem pertahanan udara. Sistem peringatan dini tersebut menjadi semakin penting karena China telah meningkatkan latihan militer di dekat Taiwan, yang dianggap Beijing sebagai provinsi pemberontak.
Advertisement
Departemen Luar Negeri mengatakan peralatan itu diperlukan oleh Taiwan untuk "mempertahankan kemampuan pertahanan diri yang memadai." Pemerintah memberi tahu Kongres tentang penjualan itu, seperti dikutip dari laman VOA Indonesia, Senin (5/9/2022).
Pemerintahan Biden mengatakan kesepakatan itu sesuai dengan kebijakan AS Satu China. Ia juga mendesak Beijing "untuk menghentikan tekanan militer, diplomatik dan ekonominya terhadap Taiwan dan sebaliknya agar terlibat dalam dialog yang berarti dengan Taiwan."
Ketegangan dan retorika keras antara AS dan China terkait Taiwan telah meningkat tajam sejak Ketua DPR Nancy Pelosi berkunjung ke pulau itu bulan lalu.
Sejak perjalanan Pelosi ke Taipei, setidaknya ada dua kunjungan anggota kongres lainnya dan beberapa gubernur negara bagian AS, yang semuanya dikecam China.
Joe Biden Siap Pasang Badan Bela Taiwan dari China
Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengatakan bahwa dia akan bersedia menggunakan kekuatan untuk membela Taiwan.
Selain itu, bersedia menggalang dukungan pada perjalanan pertamanya ke Asia sejak menjabat sebagai oposisi AS terhadap ketegasan China yang tumbuh di seluruh kawasan.
Komentar Biden tampaknya merupakan penyimpangan dari kebijakan AS yang disebut punya pandangan ambiguitas strategis pada posisinya ke pulau yang diperintah China sebagai wilayahnya.
Ketika ditanya oleh seorang reporter di Tokyo apakah Amerika Serikat akan membela Taiwan jika diserang oleh China, presiden menjawab: "Ya."
"Itulah komitmen yang kami buat. Kami setuju dengan kebijakan satu China. Kami telah menandatanganinya dan semua perjanjian yang dimaksudkan dibuat dari sana. Tetapi gagasan bahwa itu dapat diambil dengan paksa, diambil oleh kekuatan, tidak, tidak tepat."
Dia menambahkan bahwa itu adalah harapannya bahwa peristiwa seperti itu tidak akan terjadi atau dicoba.
Sementara Washington diwajibkan oleh undang-undang untuk memberi Taiwan sarana membela diri.
AS dinilai telah lama mengikuti kebijakan "ambiguitas strategis" tentang apakah akan campur tangan secara militer untuk melindungi Taiwan jika terjadi serangan China.
Biden membuat komentar serupa tentang membela Taiwan pada Oktober lalu. Saat itu, juru bicara Gedung Putih mengatakan bahwa Biden tidak mengumumkan perubahan apa pun dalam kebijakan Amerika Serikat.
Advertisement
Perubahan Kebijakan AS?
Pada Senin (23/5), seorang pejabat Gedung Putih mengatakan bahwa tidak ada perubahan dalam kebijakan AS terhadap Taiwan.
"Seperti yang dikatakan Presiden, kebijakan kami tidak berubah," kata pejabat Gedung Putih, yang menolak disebutkan namanya.
“Dia mengulangi Kebijakan One China Policy dan komitmen kami untuk perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan. Dia juga menegaskan kembali komitmen kami di bawah Undang-Undang Hubungan Taiwan untuk memberi Taiwan sarana militer untuk mempertahankan diri.”
Kekhawatiran tentang kekuatan China yang semakin besar dan kemungkinan bahwa China dapat menyerang Taiwan telah menguatkan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dan Partai Demokrat Liberal yang berkuasa di bidang pertahanan, mengikis beberapa kewaspadaan tradisional di antara banyak orang Jepang tentang mengambil postur pertahanan yang lebih kuat.