Liputan6.com, London- Nama Nostradamus kini menjadi perbincangan di Inggris setelah meramalkan kematian Ratu Elizabeth II. Peramal asal Prancis ini meramalkan tahun kematian Ratu Elizabeth II dalam "Cryptic Poems".
Nostradamus adalah seorang peramal dan astrolog Prancis abad ke-16 yang terkenal karena ramalannya yang akurat tentang kebangkitan Hitler, serangan 9/11 dan perang di Eropa, seperti dikutip dari laman Wion, Senin (26/9/2022).
Baca Juga
Bukunya berjudul 'Les Propheties'Â diterbitkan pada 1555 yang memuat puisi-puisi di dalamnya sebenarnya tidak merujuk pada tahun-tahun tertentu dan sulit untuk ditafsikan. Akan tetapi, ada banyak upaya untuk menafsirkan puisi-puisinya untuk mengetahui hal-hal yang mungkin akan terjadi di masa depan. Oleh karena itu, Mario Reading, seorang ahli Nostradamus dan penulis menerbitkan sebuah buku yang berjudul 'Nostradamus: The Complete Prophecies for the Future' pada 2005 yang berisi penafsiran dari syair-syair ramalan yang ditulis peramal Prancis itu.
Advertisement
Sunday Times melaporkan, buku yang ditulis Mario, yang meninggal pada 2017, kini kembali muncul menjadi salah satu buku terlaris di Inggris karena ramalan kematian Ratu Elizabeth II pada 8 September 2022.
Sejak 17 September, sebanyak 8.000 eksemplar buku tersebut telah terjual, padahal seminggu sebelum kematian Ratu Elizabath II, hanya lima eksemplar yang terjual.
Menurut laporan, buku tersebut memuat tafsiran sebuah syair yang berbunyi "Ratu Elizabeth II akan meninggal sekitar tahun 22, pada usia sekitar 96 tahun."
Pangeran Harry Pengganti Raja Charles III
Selain dugaan kematian Ratu Elizabeth, Nostradamus bahkan dilaporkan telah meramalkan perang di Ukraina dengan petunjuk agak samar tentang Prancis yang mungkin menghadapi ancaman dari timur.
Buku yang ditulis Marip tentang penafsiran Nostradamus tidak berhenti pada kematian Ratu, tetapi juga meramalkan masa depan Raja Charles III.
Nostradamus Quatrain 10/22 bertuliskan, "Karena mereka tidak menyetujui perceraiannya—seorang pria yang mereka anggap tidak layak. Rakyat akan memaksa Raja keluar; Seorang Pria yang tidak pernah diharapkan untuk menjadi Raja akan menggantikannya."
Mario mengklaim bahwa syair tersebut meramalkan Raja Charles III yang nantinya akan melepaskan tanggung jawabnya karena ia lelah akan berbagai tekanan terhadap dirinya dan istri keduanya, dan karena kebencian sebagian penduduk Inggris yang ditujukkan padanya setelah perceraiannya dengan Diana, Princess of Wales.
Lebih lanjut, buku ini juga menyebutkan bahwa Pangeran Harry—seorang yang tidak pernah berharap untuk menjadi raja—yang akan menjadi raja berikutnya menggantikan Charles, bukan William, Prince of Wales yang baru.
Advertisement
Nasib Kerajaan Inggris di Tangan Raja Charles III
Berbicara soal pengganti Ratu Elizabeth II, sebagai Putra Mahkota, Pangeran Charles langsung naik takhta menjadi Raja Charles III. Saat mengumumkan kematian Ratu Elizabeth II pihak istana juga menyebut istri Charles, Camila sebagai Queen Consort atau Permaisuri.
Charles telah menjadi pewaris takhta terlama dalam sejarah Inggris. Puluhan tahun ia berstatus putra mahkota.
Kini usia Raja Charles III adalah 73 tahun. Ia pun menjadi raja tertua yang naik takhta dalam sejarah Inggris. Raja tertua sebelumnya dalam sejarah Inggris berasal dari tahun 1830 ketika Raja William IV naik tahta pada usia 64 tahun.
Dalam pernyataan pertama yang dikeluarkannya sebagai Raja Charles III, dia menyebut kematian Ratu Elizabeth II sebagai "momen kesedihan terbesar bagi saya dan semua anggota keluarga saya."
"Kami sangat berduka atas meninggalnya seorang Penguasa yang disayangi dan seorang ibu yang sangat dicintai," ungkap Charles.
Terakhir kali Inggris melihat perubahan kepemimpinan adalah 70 tahun lalu, ketika Ratu Elizabeth II mengambil alih takhta setelah kematian Raja George VI. Lalu, akan seperti apa wajah monarki Inggris di bawah kepemimpinan Raja Charles III?
Peter Harris, seorang profesor di Departemen Ilmu Politik Universitas Negeri Colorado yang lahir di Inggris, berbicara tentang apa yang terjadi selanjutnya setelah kematian ratu, apa dampaknya secara geopolitik dan apa artinya bagi masa depan monarki Inggris.
"Monarki adalah tentang stabilitas dan kontinuitas. Saat sang ratu meninggal, rangkaian peristiwa yang diatur dengan sangat baik dimulai. Tujuannya adalah kesinambungan di setiap level," ujar Peter Harris, dikutip dari laman source.colostate.edu, Jumat (9/9/2022).
"Kita mungkin akan melihat keterkejutan dan trauma publik dalam beberapa minggu mendatang. Jika ada satu tujuan yang dimiliki seorang raja: Itu untuk mewakili stabilitas dan kontinuitas. Monarki adalah benteng melawan ketidakpastian," imbuh Harris yang juga pakar hubungan internasional dan kebijakan luar negeri AS.
Ia menilai Charles bukanlah sosok yang mudah untuk dihormati sebagai Raja. "Dia laki-laki, dia diejek oleh pers selama bertahun-tahun, dia bercerai dari Putri Diana, yang menjadi orang yang sangat populer berbeda dengannya, dan Permaisuri Camilla yang baru tidak terlalu populer."
Menurutnya, masih harus dilihat seberapa populer monarki setelah meninggalnya Ratu Elizabeth II. "Dia mempersonifikasikannya begitu lama, dan kita tidak tahu bagaimana penduduk akan menanggapi seorang raja yang bukan Elizabeth," kata Harris.
Charles Tak Seperti Elizabeth
Untuk orang Inggris yang tinggal di luar negeri di Amerika, Harris tertarik dengan pertanyaan tentang berapa lama institusi monarki dapat bertahan. "Ini adalah institusi yang populer sekarang, tetapi saya ingin tahu apakah itu berubah sekarang karena Charles adalah raja, bukan Elizabeth."Â
Dengan itu, lanjut dia, monarki telah mempersiapkan ini selama beberapa dekade, karena Charles sadar akan fakta bahwa orang tidak menyukainya seperti ibunya. Dia akan datang dengan tim baru, dan Istana akan memiliki rencana untuk membuat publik menyambutnya, dan mungkin memindahkan monarki menjadi institusi yang lebih modern.Â
"Saya kembali ke firasat bahwa Elizabeth secara unik mudah untuk dihormati. Dia seperti nenek bangsa, sedangkan Charles – dan William setelah dia – akan seperti seorang ayah. Orang-orang memberontak melawan ayah mereka, mereka tidak memberontak terhadap nenek mereka."
Penulis biografi Tom Bower mengatakan, Charles selama ini berkomitmen pada isu-isu seperti lingkungan. "Dia adalah orang yang didorong, yang pasti ingin berbuat baik tetapi tidak mengerti bahwa konsekuensi dari banyak tindakannya menyebabkan banyak masalah," kata Bower.
Media melaporkan pada Juni bahwa Charles telah terlibat dalam pertengkaran dengan pemerintah mengenai kebijakannya dalam mengirim pencari suaka ke Rwanda - sesuatu yang disebut pangeran itu "mengerikan", yang menyebabkan kritik dari para menteri dan surat kabar.
"Jika dia tidak terlalu berhati-hati, mereka yang tidak setuju dengan intervensi politiknya yang provokatif juga dapat menyimpulkan monarki konstitusional Inggris tidak lagi layak dipertahankan," kata Daily Mail dalam editorialnya.
Kharisma Ratu Elizabeth II dinilai Pakar hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Aleksius Jemadu, sebagai ilmu yang harus dipelajari Raja Charles III. Namun, sejauh ini Aleksius menilai Charles bukan sosok yang spesial di kancah internasional. Hal ini menjadi tantangan bagi Raja Charles di masa depan.
"Bayangkan dari tahun 50-an sampai 2022 itu cukup panjang dan dia (Ratu Elizabeth II) sudah pengalamannya banyak sekali, pengetahuan yang dia miliki, dan dia tahu itu Inggris Itu posisinya di mana. Charles harus belajar dari ibunya ini untuk membawa Inggris ke depan dan membuat Inggris tetap terpandang sebagai negara monarki konstitusional," ujar Aleksius kepada Liputan6.com.Â
"Charles kelihatannya biasa-biasa saja, tidak ada sesuatu yang gemilang sekali," lanjutnya.Â
Aleksius pun turut membandingkan antara sosok Elizabeth yang tegas versus Charles yang kurang stabil. Itu terlihat dari masalah rumah tangga dengan Putri Diana.Â
Mengenai masa depan, Penulis Biografi untuk kerajaan Inggris Hugo Vickers percaya Raja Charles III akan mencoba dan "mengurangi" jumlah anggota keluarga kerajaan yang melakukan tugas resmi.
Vickers "berharap" bangsanya akan menyambut Raja Charles yang baru, meskipun sekarang, banyak orang masih menyalahkannya atas hancurnya pernikahannya dengan Diana, Putri Wales, pada awal 1990-an. Namun, setelah pernikahan keduanya dengan Camilla pada 2005, popularitas pasangan itu tumbuh, dan pada 2022 Ratu Elizabeth pernah mengatakan ingin Camilla menjadi permaisuri bergelar ratu atas aksesi putranya ke takhta.
Advertisement