Paus Fransiskus: Homoseksual Bukanlah Kejahatan

Paus Fransiskus menekankan bahwa Gereja Katolik harus menyambut semua orang dan tidak mendiskriminasi.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 26 Jan 2023, 09:01 WIB
Diterbitkan 26 Jan 2023, 09:01 WIB
FOTO: Paus Fransiskus Pimpin Misa Malam Paskah Tanpa Jemaat
Paus Fransiskus menyampaikan pesan saat memimpin Misa Malam Paskah di Basilika Santo Petrus, Vatikan, Sabtu (11/4/2020). Paus mengatakan bahwa ketakutan orang-orang saat ini sama seperti ketakutan para pengikut Yesus sehari usai diri-Nya disalibkan. (Remo Casilli/Pool Photo via AP)

Liputan6.com, Vatican City - Paus Fransiskus mengkritik undang-undang yang dianggapnya mengkriminalisasi homoseksual, menyebutnya tidak adil. Ia menyerukan kepada para uskup untuk menyambut kelompok LGBTQ+ di gereja.

"Menjadi homoseksual bukanlah kejahatan," kata Paus Fransiskus dalam sebuah wawancara seperti dikutip dari The Guardian, Kamis (26/1/2023).

Paus Fransiskus mengakui bahwa sejumlah uskup Katolik mendukung undang-undang yang mengkriminalisasi kelompok homoseksual atau LGBTQ+. Baginya itu merupakan "dosa". Namun, pada saat bersamaan Paus Fransiskus mengaitkan sikap mereka dengan latar belakang budaya dan mendorong para uskup berubah untuk mengakui martabat setiap orang.

Pernyataan Fransiskus, yang dipuji oleh para pendukung hak-hak LGBTQ+ sebagai tonggak sejarah, adalah yang pertama diucapkan oleh seorang paus tentang undang-undang semacam itu. Di lain sisi, ia dinilai konsisten dengan pendekatannya secara keseluruhan terhadap kelompok LGBTQ+ dan keyakinannya bahwa Gereja Katolik harus menyambut semua orang dan tidak mendiskriminasi.

The Human Dignity Trust mengungkapkan bahwa sekitar 67 negara atau yurisdiksi di seluruh dunia mengkriminalkan aktivitas seksual sesama jenis konsensual, 11 di antaranya dapat atau memang menjatuhkan hukuman mati. Para ahli mengatakan, meskipun hukum tidak ditegakkan, namun itu berkontribusi terhadap pelecehan, stigmatisasi, dan kekerasan terhadap orang-orang LGBTQ+.

PBB telah berulang kali menyerukan diakhirinya undang-undang yang mengkriminalisasi homoseksual secara langsung, dengan mengatakan undang-undang itu melanggar hak privasi dan kebebasan dari diskriminasi serta merupakan pelanggaran kewajiban negara di bawah hukum internasional untuk melindungi hak asasi manusia semua orang, terlepas dari orientasi seksual mereka atau identitas jenis kelamin.

Menyatakan undang-undang semacam itu "tidak adil", Paus Fransiskus menekankan, Gereja Katolik dapat dan harus bekerja untuk mengakhirinya.

"Ini harus dilakukan," tegasnya.

Mengutip Katekismus Katolik, paus kelahiran Argentina itu mengatakan, kelompok homoseksual harus disambut dan dihormati serta tidak boleh dipinggirkan atau didiskriminasi.

"Kita semua adalah anak-anak Tuhan dan Tuhan mencintai kita apa adanya," ujar Paus Fransiskus.

Dosa dan Kejahatan Perlu Dibedakan

Paus Fransiskus Pimpin Misa Malam Natal 2021
Paus Fransiskus berdoa saat merayakan Misa Malam Natal, di Basilika Santo Petrus, di Vatikan, Jumat (24/12/2021). Paus Fransiskus merayakan Misa Malam Natal di hadapan sekitar 1.500 orang di Basilika Santo Petrus. (AP Photo/Alessandra Tarantino)

Lebih lanjut, Paus Fransiskus mengatakan perlu ada perbedaan antara kejahatan dan dosa sehubungan dengan homoseksual. Ajaran Gereja berpendapat bahwa tindakan homoseksual adalah dosa atau "gangguan secara intrinsik", tetapi kelompok LGBTQ+ tetap harus diperlakukan dengan bermartabat dan hormat.

"Ini bukan kejahatan. Ya. Tapi itu dosa. Pertama-tama mari kita bedakan antara dosa dan kejahatan," ungkap Fransiskus. "Juga merupakan dosa untuk tidak berbuat baik satu sama lain."

Fransiskus selama ini telah menjangkau kelompok LGBTQ+ sebagai ciri khas kepausannya.

Komentar paus tidak secara khusus membahas tentang transgender atau non-biner, hanya homoseksualitas. Namun, para pendukung inklusi LGBTQ+ menyebut pernyataannya sebagai kemajuan penting.

"Pernyataan bersejarahnya harus mengirim pesan kepada para pemimpin dunia dan jutaan umat Katolik di seluruh dunia: kelompok LGBTQ layak hidup di dunia tanpa kekerasan dan kecaman serta mendapat lebih banyak kebaikan dan pengertian," kata president dan CEO kelompok advokasi berbasis di Amerika Serikat, Glaad, Sarah Kate Ellis.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya