Liputan6.com, Beijing - Kongres Uyghur Sedunia mengklaim bahwa muslim di China menghadapi larangan berpuasa.
Seorang pejabat yang menjawab telepon di biro pendidikan daerah Xinyuan, Xinjiang, mengungkapkan bahwa orang-orang di bidang pendidikan dan setiap orang dewasa yang bekerja untuk pemerintah dilarang berpuasa selama Ramadhan.
Baca Juga
"Siswa tidak diperbolehkan berpuasa dan anggota keluarga yang menjadi pegawai negeri juga tidak diperbolehkan," kata pejabat tersebut seperti dikutip dari rfa.org, Sabtu (24/3/2023).
Advertisement
Seorang muslim Kazakh bernama Kamina mengatakan, siapa pun yang ditemukan berpuasa akan dikenakan pembalasan.
"Puasa benar-benar tidak diperbolehkan," katanya. "Beberapa orang dengan sukarela meninggalkan puasa karena takut, sementara yang lain berpuasa secara diam-diam."
"Beberapa tempat mengizinkan puasa tetapi kemudian mereka memantau orang-orang itu, menyebut mereka sebagai pemuja agama, dan mereka ditahan."
Juru bicara Kongres Uyghur Sedunia Dilshat Rishit mengungkap hal serupa.
"Selama Ramadhan, pihak berwenang meminta 1.811 desa (di Xinjiang) untuk menerapkan sistem pemantauan sepanjang waktu, termasuk inspeksi langsung ke rumah-rumah keluarga Uyghur," tutur Rishit.
Ketua komite agama di Kongres Uyghur Sedunia Turghunjan Alawudin menuturkan, "China tidak menghormati budaya atau menoleransi kepercayaan agama orang lain, tetapi memperlakukan budayanya sendiri sebagai yang tertinggi. Alih-alih memberi selamat kepada umat Islam atas kedatangan Ramadhan, China terus melarang umat Islam untuk berpuasa dan sholat."
"China telah menunjukkan permusuhan ekstrem terhadap keyakinan agama dan tradisi baik Uyghur dengan lebih membatasi semua aspek hari libur nasional dan keagamaan Uyghur. China melanjutkan genosida yang sedang berlangsung terhadap muslim Uyghur dalam upaya untuk menghapusnya," tutur Turghunjan.
Selain Uyghur, kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) memperingatkan dalam laporan terbarunya bahwa 11,4 juta muslim Hui juga berada dalam bahaya di bawah aturan beragama yang diterapkan Partai Komunis China. Laporan dari koalisi kelompok HAM, termasuk jaringan Pembela HAM China, menyebutkan bahwa mereka telah diidentifikasi oleh Beijing sebagai ancaman yang harus diselesaikan melalui asimilasi paksa.
Menurut laporan yang sama, itu sangat kontras dengan kebebasan yang mereka nikmati sebelum Xi Jinping meluncurkan serangan baru terhadap keyakinan, memaksa umat Kristen, Islam, dan Buddha untuk tunduk pada kontrol partai dan penyensoran kehidupan beragama di bawah program sinisasi.
"Anggota komunitas Hui dapat berpartisipasi secara terbuka dalam komunitas masjid, belajar bahasa Arab, dan ibadah secara pribadi, meskipun di bawah batasan yang difasilitasi oleh penghubung partai," sebut laporan itu. "Pengusaha Hui didorong untuk mengembangkan hubungan bisnis dan pariwisata dengan dunia muslim yang lebih luas sebagai bagian dari Belt and Road Initiative."
Tetapi urusan agama di bawah Xi Jinping, sebut laporan itu, dipengaruhi oleh retorika Islamofobia yang telah merasuki wacana kontraterorisme global, menjadikan mereka target kampanye kontraterorisme di Xinjiang, dengan lebih dari 100.000 orang Hui dikirim ke kamp pendidikan ulang bersama orang Uyghur.
Pendiri kelompok HAM Atajurt yang berbasis di Kazakhstan, Serikjan Bilash, menyebutkan bahwa sekolah-sekolah di Prefektur Otonomi Ili Kazakh memanfaatkan anak-anak untuk mendapatkan informasi tentang ketaatan beragama orang tua mereka.
"(Mereka diberikan) formulir yang menanyakan pertanyaan terperinci tentang praktik normal dalam keluarga Muslim," kata dia. "Misalnya, apakah orang tua menggunakan (ucapan) assalamualaikum ketika menyapa kerabatnya. Juga, apakah orang tua mereka makan atau minum air di tengah hari dan apakah mereka sarapan setelah matahari terbit."
Â
Kampanye Persatuan Etnis
China dikabarkan pula menargetkan komunitas muslim dengan kampanye persatuan etnis, di mana otoritas menekan mereka untuk mematuhi tradisi non-muslim, termasuk minum alkohol dan makan daging babi.
Kampanye persatuan etnis disebut terjadi di Xinjiang dengan latar belakang penahanan massal setidaknya 1,8 juta orang Uyghur dan etnis minoritas muslim lainnya di kamp pendidikan ulang. Mereka dikabarkan terlibat kerja paksa, di tengah laporan pemerkosaan, pelecehan seksual, dan sterilisasi paksa terhadap wanita Uyghur di kamp tersebut.
"Bersamaan dengan Uyghur, Hui juga tunduk pada pembatasan yang bertujuan menghilangkan tanda-tanda ekstremisme," ungkap laporan koalisi kelompok HAM.
Pada tahun 2020, pihak berwenang di provinsi timur Shandong menahan penyair dan penulis muslim Hui Cao Haoxin, yang dikenal dengan nama penanya An Ran, setelah dia men-twit kritik terhadap penahanan massal Uyghur dan pelanggaran hak-hak muslim lainnya.
Aktivis HAM Hui Ma Ju mengatakan, bahkan banyak orang tidak tahu keberadaan komunitasnya.
"Banyak orang bahkan tidak tahu bahwa kelompok etnis (Hui) ini ada," kata Ma. "Banyak ahli dan cendekiawan terkejut mendengar bahwa kami berjumlah lebih dari 10 juta dan termasuk di antara tiga kelompok etnis terbesar di China."
Menurut Ma, genosida yang saat ini dilakukan terhadap etnis Uyghur telah terjadi sebelumnya pada etnis Hui pasca reformasi agama Partai Komunis tahun 1958.
"Sekarang mereka akan menghapus sisa-sisa budaya kami yang masih tersisa," ujar Ma.
Ma mengungkapkan bahwa gelombang Islamofobia global yang muncul bersamaan dengan "perang melawan teror" Amerika Serikat setelah serangan teror 9/11 juga telah memicu rasisme anti muslim di China.
Advertisement