Liputan6.com, Hyogo - Seorang siswa SMA di Jepang tidak bisa menikmati hari bahagia wisuda karena gaya rambutnya. Siswa berusia 18 tahun itu merupakan anak campuran wanita Jepang dan pria Afrika-Amerika.
Permasalah dipicu oleh gaya rambut cornrows. Pihak sekolah menilai hal itu tidak sesuai peraturan sekolah tentang penampilan anak murid.
Baca Juga
Berdasarkan laporan Kyodo, Rabu (29/3/2023), insiden itu terjadi pada 27 Februari lalu di Himeji, Prefektur Hyogo. Siswa itu hadir di acara wisuda, tetapi diminta agar tidak merespon ketika namanya dipanggil.
Advertisement
Pihak sekolah mengaku sudah meminta agar murid itu memotong rambutnya karena sudah terlalu panjang, sehingga melanggar aturan rambut sekolah yang "rapih dan sesuai untuk murid". Selain itu, pihak sekolah berkata siswa tersebut tak menjelaskan alasan etnik yang membuatnya menggunakan gaya rambut cornrows.
Insiden itu dilaporkan oleh koran Mainichi. Dewan pendidikan setempat menyesalkan insiden ini karena tak ada konsultasi terlebih dahulu.
"Responsnya akan berbeda jika ada konsultasi sebelumnya," ujar pihak Dewan Pendidikan di prefektur. Pihak dewan juga menyesalkan adanya sikap yang tidak suportif terhadap murid tersebut karena tidak menyertakannya dalam wisuda.
Rambut cornrow adalah gaya yang populer di kalangan komunitas Afrika, serta terkadang digunakan oleh seleb Asia.
Rasisme di negara-negara Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan kerap menjadi sorotan di media Barat.
Pada 2015, Miss Japan Ariana Miyamoto juga mendapatkan kritik bernuansa rasis ketika ikut ajang internasional tersebut, sebab tampilannya dianggap tidak mewakili orang-orang Jepang pada umumnya
Korsel-Jepang Normalisasi Hubungan Kerja Sama Intelijen yang Rusak Sejak 2019
Sebelumnya dilaporkan, Kementerian Pertahanan Korea Selatan (Korsel) pada Jumat memulai proses untuk menormalkan kesepakatan berbagi informasi intelijen militer dengan Jepang, menyusul kesepakatan puncak antara pemimpin kedua negara pada hari sebelumnya.
Kementerian Pertahanan mengatakan mereka telah mengirim surat kepada Kementerian Luar Negeri yang isinya meminta langkah-langkah untuk menormalkan Kesepakatan Keamanan Umum Informasi Militer (GSOMIA).
Kementerian Luar Negeri diharapkan segera mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Luar Negeri Jepang sebagai tanggapan, kata beberapa pejabat seperti diwartakan Yonhap, dikutip dari Antara (18/3).
Pada Kamis, Presiden Yoon Suk Yeol mengatakan setuju untuk "sepenuhnya menormalkan" pakta militer selama pertemuannya dengan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida di Tokyo, sebagai bagian upaya merespons ancaman nuklir dan rudal Korea Utara dengan lebih baik.
Ditandatangani pada 2016, GSOMIA dipandang sebagai simbol kerja sama keamanan yang langka antara Seoul dan Tokyo.
Pada 2019, mantan pemerintahan Presiden Moon Jae-in memutuskan untuk menghentikannya sebagai protes atas pembatasan ekspor Tokyo terhadap Seoul di tengah perselisihan tentang mobilisasi Jepang terhadap warga Korea untuk melakukan kerja paksa selama Perang Dunia II.
Keputusan itu kemudian ditangguhkan tetapi menyebabkan kerentanan terhadap dasar justifikasi hukum kesepakatan tersebut.
Advertisement
Presiden Korea Selatan Dikritik Usai Rujuk dengan Jepang
Hubungan Jepang dan Korea Selatan kembali harmonis setelah beberapa tahun memanas karena isu sejarah. Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida bertemu di Tokyo, Kamis (16/3).
Kedua pemimpin dilaporkan setuju untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM saat perang seabad lalu, yakni terkait kerja paksa oleh perusahaan Jepang.
Berdasarkan laporan Kyodo News, Jumat (17/3), PM Kishida dan Presiden Yoon sepakat untuk menjaga komunikasi serta menggenjot pertukaran politik, ekonomi, dan budaya. Ini merupakan kunjungan bilateral pertama Jepang dan Korea Selatan dalam empat tahun terakhir.
Saat konferensi pers, PM Kishida berkata ada urgensi itu memperkuat hubungan bilateral kedua negara. PM Kishida juga mengapresiasi solusi dari Presiden Yoon untuk menyelesaikan masalah kerja paksa.
Menurut Yonhap, Presiden Yoon akan memberikan kompensasi dari pemerintah negaranya untuk para korban kerja paksa.
Hal itu dilakukan walau Mahkamah Agung Korea Selatan memerintahkan Nippon Steel dan Mitsubishi Heavy Industries untuk ganti rugi.
Dituduh Submisif Hasil kunjungan Presiden Yoon Suk Yeol ke Jepang ternyata memicu protes dari Partai Demokrat yang merupakan oposisi pemerintah Korsel. Presiden Yoon dianggap "submisif secara diplomatik" dan Jepang disebut tidak tahu malu.
"Meski pemimpin-pemimpin Korea Selatan dan Jepang bertemu, pemerintah Jepang tidak memberikan sebuah maaf untuk masalah tenaga kerja paksa saat perang. Meski pendirian Jepang tidak tahu malu, Yoon malah mencoba membela sisi Jepang," ujar juru bicara Partai Demokrat Korsel, An Ho Young, dikutip Yonhap.