Liputan6.com, Jakarta - Menteri Luar Negeri (Menlu RI) Retno Marsudi mengatakan bahwa Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mendesak Israel melakukan gencatan senjata.
Sejauh ini, Indonesia sudah melakukan pendekatan melalui Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) dan Sidang Majelis Umum (SMU) PBB.
Baca Juga
"Kita harus mendorong bersama-sama agar gencatan senjata dapat dilakukan. Maka resolusi Sidang Majelis Umum PBB itu kalimatnya adalah calling for an immediate and sustained humanitarian truce leading to a cessation of hostilities," tuturnya saat ditemui media di Kantor Sekretariat ASEAN, Selasa (31/10/2023).
Advertisement
Selain itu, menteri luar negeri wanita pertama Indonesia itu juga mengaku telah menjalin komunikasi dengan berbagai organisasi internasional, hampir seluruh menlu negara Arab, menlu Amerika Serikat dan menlu negara-negara Barat.
"Hampir semua sudah saya ajak bicara, dan saya juga bicara dengan menlu negara Barat, Amerika, karena mereka juga sebenarnya dapat berkontribusi banyak," ungkap Menlu Retno.
Seluruh upaya tersebut, kata Retno, dilakukan demi mengatasi masalah kemanusiaan yang menimpa warga sipil yang terdampak perang Israel Vs Hamas. Terlebih, ia mengungkapkan bahwa kondisi masyarakat di Gaza saat ini semakin memprihatinkan. Berdasarkan informasi yang didapatnya dari Presiden Palang Merah Internasional, penyakit kolera mulai merebak di tengah masyarakat sipil di Gaza.
"Jadi yang penting sekarang adalah humanitarian truce, larinya nanti tentunya kalau kita bicara mengenai humanitarian enggak mungkin itu bisa dilakukan tanpa dihentikannya kekerasan," kata Menlu Retno lagi.
PM Benjamin Netanyahu Nyatakan Israel Tolak Gencatan Senjata
Perdana Menteri Isael Benjamin Netanyahu tegas menolak seruan gencatan senjata untuk memfasilitasi pembebasan tawanan atau mengakhiri perang, yang menurutnya akan memakan waktu lama dan sulit.
"Seruan untuk gencatan senjata adalah seruan agar Israel menyerah kepada Hamas," katanya dalam konferensi pers pada Senin, seperti dilansir AP. "Itu tidak akan terjadi."
Netanyahu, yang menghadapi kemarahan yang meningkat atas kegagalan Israel mencegah serangan Hamas yang dicap sebagai serangan terburuk di negara itu dalam setengah abad terakhir, juga mengatakan dia tidak berencana mengundurkan diri.
Hamas dan kelompok militan Palestina lainnya diyakini menahan sekitar 240 tawanan, termasuk pria, wanita, dan anak-anak. Netanyahu menghadapi tekanan yang semakin besar untuk menjamin pembebasan mereka.
Sejauh ini, Hamas sendiri telah membebaskan empat sandera. Gelombang pertama, mereka melepaskan pasangan ibu anak berkewarganegaraan ganda Amerika Serikat (AS)-Israel. Gelombang kedua, mereka membebaskan dua perempuan lanjut usia berkewarganegaraan Israel.
Dalam tuntutannya, Hamas menyebutkan akan melepaskan sandera lainnya, dengan catatan Israel juga membebaskan ribuan tahanan Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel. Tel Aviv menolak tawaran tersebut.
Menurut Netanyahu, invasi darat akan menciptakan kemungkinan untuk membawa pulang para sandera. Dia menekankan, Hamas hanya akan membebaskan mereka "di bawah tekanan".
Advertisement
PBB: Israel Melakukan Hukuman Kolektif
Operasi darat yang lebih besar telah diluncurkan di utara dan timur Kota Gaza. Namun, militer Israel tidak memberikan kejelasan mengenai operasinya di Gaza, termasuk lokasi dan jumlah pasukan.
Sebelumnya, Israel telah mendeklarasikan fase baru dalam perang melawan Hamas. Meski demikian, mereka tidak melabelinya invasi darat habis-habisan.
Israel mengatakan banyak pasukan Hamas dan sebagian besar infrastruktur militannya, termasuk terowongan sepanjang ratusan kilometer, berada di Kota Gaza. Sebelum perang, Gaza yang merupakan wilayah kantong adalah rumah bagi lebih dari 650.000 orang, populasi yang sebanding dengan Washington DC.
Meskipun Israel telah memerintahkan warga Palestina untuk meninggalkan utara Gaza, ratusan ribu orang masih tetap memilih tinggal, sebagian karena Israel juga telah membombardir sasaran-sasaran yang disebut sebagai zona aman. Menurut data PBB, sekitar 117.000 pengungsi yang berharap untuk tetap aman dari serangan, kini tinggal di rumah sakit-rumah sakit di utara Gaza, bersama dengan ribuan pasien dan staf.
Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan bahwa hampir 672.000 warga Palestina berlindung di sekolah-sekolah dan fasilitas lainnya di Gaza, yang empat kali lipat melampaui kapasitas.
Ketua UNRWA Philippe Lazzarini menuduh Israel melakukan hukuman kolektif terhadap warga Palestina dan memaksa mereka mengungsi dari Gaza utara ke selatan, di mana mereka masih belum aman.
Kementerian Kesehatan Gaza pada Senin mengumumkan bahwa jumlah korban tewas di kalangan warga Palestina melampaui 8.300 orang, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. Angka tersebut belum pernah terjadi sebelumnya dalam beberapa dekade konflik Israel-Palestina. Lebih dari 1,4 juta orang di Gaza telah meninggalkan rumah mereka.
Lebih dari 1.400 orang tewas di pihak Israel, yang juga merupakan angka yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Lazzarini mengonfirmasi bahwa 64 staf UNRWA tewas dalam tiga pekan terakhir – yang terakhir terjadi hanya dua jam sebelum dia berpidato di pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB.
"Kebanyakan warga Gaza merasa terjebak dalam perang yang tidak ada hubungannya dengan mereka dan merasa dunia menyamakan mereka dengan Hamas," kata Lazzarini kepada Dewan Keamanan PBB.
Israel: Operasi Darat Akan Diperluas dan Diintensifkan
Juru bicara militer Israel Laksamana Muda Daniel Hagari menolak berkomentar mengenai di mana pasukan Israel dikerahkan.
Dia memastikan bahwa tambahan unit infanteri dan lapis baja serta teknik dan artileri telah memasuki Gaza dan operasi darat akan terus diperluas dan diintensifkan.
Militer Israel mengatakan bahwa pihaknya telah membunuh puluhan militan yang menyerang dari dalam gedung dan terowongan. Mereka mengklaim dalam beberapa hari terakhir mereka telah menyerang lebih dari 600 sasaran militan, termasuk depot senjata dan posisi peluncuran rudal anti-tank.
Sementara itu, militan Palestina disebut terus menembakkan roket ke Israel, termasuk ke Tel Aviv.
Advertisement