Kisah Sukses Diaspora Indonesia di AS Jualan Es Krim, Omzetnya Hampir Rp1 Miliar

Toko es krim milik diaspora Indonesia ini turut menghidangkan menu pencuci mulut khas Nusantara yaitu es campur.

oleh Tim Global diperbarui 25 Jun 2024, 20:40 WIB
Diterbitkan 25 Jun 2024, 20:40 WIB
es krim vanilla
Ilustrasi es krim vanilla (Sumber: pixabay)

Liputan6.com, Las Vegas - Seorang diaspora Indonesia di Las Vegas, Amerika Serikat (AS), membuat variasi menu es krim yang unik dan viral untuk mengembangkan bisnis toko es krimnya di kota hiburan itu. Omzet usahanya kini mencapai hampir satu miliar rupiah per tahun.

“Kita punya menu itu banyak banget variasinya, dari yang roll ice cream, dari toast, waffle, terus kita ada es campur juga,” demikian ungkap Rosalina Sie, diaspora Indonesia pemilik toko yang pertama kali buka tahun 2016 itu. Demikian sikutip VOA Indonesia, Selasa (25/6/2024). 

Namun, menu ‘Cotton Candy Burrito’-lah yang melambungkan nama tokonya ketika diulas oleh surat kabar setempat.

“Kebetulan sekali tamu-tamu kita benar-benar senang banget sama kreasi itu: cotton candy (permen kapas, red.) dengan es krim di dalamnya dan kombinasi itu orang-orang pada suka.”

Kreasi unik dan keragaman menu yang ia tawarkan menarik para pelanggan, termasuk Kimberly Oralao, yang menyebut Creamberry salah satu tempat nongkrong favoritnya.

“Saya lumayan sering ke sini bareng pacar. Jujur, mungkin sekali atau dua kali seminggu. Variasi menunya gila banget, kayaknya saya belum pernah lihat menu seberagam ini. Saya lihat mereka juga sering punya menu baru, jadi saya suka pengin coba yang baru-baru, ketimbang beli menu yang sama setiap kali ke sini,” ungkap Kimberly, yang kali itu datang bersama temannya, Hanna Lamon.

“Ini pertama kalinya saya ke sini, tapi saya rasa media sosial [berhasil] memengaruhi saya untuk mencoba-coba tempat baru, karena ketika saya lihat sesuatu di TikTok, saya suka bilang ‘Aduh, kayaknya enak banget,’ terus saya kirim ke kakak dan pacar saya, dan bilang, ‘kita harus ke sini,’ ‘kita harus ke situ,’ dan jadilah saya datangi tempat-tempat itu,” timpal Hanna.

Pentingnya Media Sosial

Sosial Media
Foto: Ilustrasi (Dole777/Unsplash.com)

Rosalina paham betul kekuatan media sosial sekaligus pentingnya memperbarui menu untuk memajukan usaha toko es krimnya. Sejak awal ia sudah bekerja sama dengan penulis blog kuliner untuk memperkenalkan bisnisnya ke pasar yang lebih luas, sambil rutin mengubah menu es krimnya setiap bulan, menyesuaikan momen-momen tertentu.

“Sangat membantu sekali, jadi kalau setiap kali dia pos atau kita pos [ke media sosial], terus bikin blogger-blogger yang lain – yang cukup terkenal – ikut pos kita punya produk, itu akan bikin viral dan bikin mereka (pelanggan, red.) keingat lagi, atau bikin mereka itu kayak kepengin lagi. Jadi mereka datang terus,” jelas Rosalina.

“Tapi, ya seperti yang saya bilang juga, kita harus tetap mengutamakan cita rasa. Itu harus sama,” imbuhnya.

Bukan hanya blogger lokal, bisnisnya juga disoroti sejumlah media dan figur publik nasional di Amerika, seperti Food Network, Ellen DeGeneres hingga akun @foodgod yang punya lebih dari 10 juta pengikut lintas media sosial.

Perjalanan Bangun Bisnis di AS

Bendera Amerika Serikat (AP PHOTO)
Bendera Amerika Serikat (AP PHOTO)

Rosalina berasal dari keluarga pebisnis. Sebelum keluarganya pindah ke AS, orang tuanya membuka toko pakaian di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Setelah menetap di negeri Paman Sam, mereka lantas membuka restoran makanan China.

Sementara itu, ia sendiri terpikir untuk membuka toko es krim gara-gara kegemaran sang suami akan makanan pencuci mulut.

“Kenapa kita nggak buka saja satu toko yang khusus untuk dessert, yang pengunjungnya itu nggak hanya datang khusus untuk satu produk, tapi bisa berbagai produk,” kenang Rosalina.

Untuk memulai bisnisnya delapan tahun lalu, ia merogoh kocek hingga 300.000 dolar Amerika, atau sekitar Rp4,9 miliar. Kini, dengan 12 karyawan, ia membukukan keuntungan tahunan hingga 60.000 dolar Amerika, atau hampir Rp1 miliar.

Meski tampak manis, perjuangannya tidak sederhana. Di awal, ia harus bergelut dengan berbagai ketentuan ketat untuk bisa membuka tempat usaha. Perbedaan besar yang ia rasakan, antara berbisnis di Indonesia dan di Amerika, yaitu dalam aspek prosedur hukum, kelayakan tempat usaha, serta budaya pelanggan yang lebih menantang di AS.

Selain itu, ia sendiri harus turun tangan ke dapur untuk memastikan kualitas produk yang ia tawarkan.

“Kalau misalnya bisnis di Indonesia kan semua kita harap pegawai kita [yang kerjakan] ya, tapi kalau ini kita mesti turun tangan seratus persen,” ungkapnya. “… Ngontrol, belanja bahan-bahan baku yang dibutuhin, terus juga training mereka (pegawai, red.), tiap hari harus ada meeting, bagaimana kita harus melayani customer, gimana kita harus menjelaskan produk kita, terus saya juga harus cari tahu apa lagi yang harus saya bikin, menu-menu baru, biar orang nggak bosan.”

Sempat Terdampak Pandemi COVID-19

ilustrasi toko.
ilustrasi toko (Unsplash/Mike Petrucci)

Pandemi COVID-19 juga sempat melumpuhkan bisnisnya di Las Vegas, kota yang mengandalkan pariwisata. Beruntung, toko es krimnya bisa bertahan berkat bantuan pemerintah AS bagi kalangan usaha, tidak seperti restoran orang tuanya yang terpaksa gulung tikar.

Terlepas dari itu, ia sadar produk yang ia tawarkan bukanlah kebutuhan pokok, sehingga ia tidak bisa sembarangan menentukan harga.

“Kayak sekarang ini, kebetulan [harga] barang-barang pada naik, [ongkos] pegawai naik, tapi kan harga kita nggak bisa selalu naik banyak, gitu, apalagi soal makanan ya, karena kan makanan kita cuma bisa naiknya 25 sen, 50 sen, apalagi dessert,” tutur Rosalina.

Infografis Bisnis Game di Indonesia (Liputan6.com/Deisy Rika)
Infografis Bisnis Game di Indonesia (Liputan6.com/Deisy Rika)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya