Liputan6.com, New Delhi - Ayah dari dokter magang yang dibunuh saat istirahat di sebuah rumah sakit di Kolkata, India, berkisah tentang kecintaan putrinya terhadap ilmu kedokteran dan cara keluarganya berupaya untuk mendukung cita-cita sang buah hati.
"Kami adalah keluarga miskin dan kami membesarkannya dengan banyak kesulitan. Dia bekerja sangat keras untuk menjadi dokter. Yang dia lakukan hanyalah belajar, belajar, belajar," kata pria itu kepada The Guardian melalui telepon, seperti dikutip pada Kamis (22/8/2024).
Baca Juga
"Semua harapan kami hancur dalam satu malam. Kami mengirimnya untuk bekerja dan rumah sakit memberikan kami jasadnya. Semuanya sudah berakhir bagi kami. Putri saya tidak akan kembali. Saya tidak akan pernah mendengar suaranya atau tawanya. Yang dapat saya lakukan sekarang adalah berkonsentrasi untuk mendapatkan keadilan baginya."
Advertisement
Pemerkosaan dan pembunuhan dokter magang di R.G. Kar Medical College and Hospital di Kolkata, di mana jasad korban ditemukan pada 9 Agustus dan penanganan kasus selanjutnya oleh pihak berwenang, telah menyebabkan protes dan aksi mogok oleh para dokter di seluruh India.
Ayahnya, yang tidak dapat disebutkan namanya berdasarkan hukum India yang melindungi identitas korban, menuturkan bahwa karier di bidang kedokteran adalah satu-satunya yang diinginkan oleh anak tunggalnya. Wanita berusia 31 tahun itu berhasil mengalahkan berbagai rintangan untuk memenuhi syarat masuk ke salah satu dari sekitar 107.000 tempat di perguruan tinggi kedokteran India, yang diperebutkan lebih dari satu juta calon dokter setiap tahunnya.
Dia berhasil masuk ke College of Medicine & JNM Hospital di Kalyani di negara bagian asalnya, Benggala Barat. Orang tuanya membiayai mimpinya dengan penghasilan tak menentu yang diperoleh ayahnya sebagai penjahit.
Mengingat hari ketika dia menceritakan keinginannya untuk menjadi dokter, suara ayahnya bergetar.
"Dia bilang, 'Papa, menjadi dokter dan membantu orang lain adalah hal yang baik. Bagaimana menurutmu?' Saya jawab, 'Baiklah, lakukan saja. Kami akan membantumu.' Dan lihat apa yang terjadi," ujar sang ayah.
Ambisi putrinya mendorong ayahnya untuk memperluas bisnis menjahitnya dan keuangan keluarga membaik hingga pada titik ketika putrinya khawatir tentang keselamatan dalam perjalanan bus selama satu jam antara rumah sakit dan rumah mereka di pinggiran Kota Kolkata yang padat. Ayahnya pun meminjam uang untuk membelikannya mobil.
"Awalnya, dia menyuruh saya menunggu, dia bilang kami tidak sanggup membayar cicilan bulanan dan dia tidak mau membebani kami. Tapi kemudian dia merasa perjalanan bus sangat melelahkan setelah shift panjang sehingga dia setuju untuk naik mobil," tutur sang ayah.
Keluarga itu tetap tinggal di pinggiran kota kelas menengah ke bawah tempat putri mereka dibesarkan, di mana semua orang menghormatinya sebagai putri daerah yang sukses. Bahkan, orang tuanya yang baru saja merenovasi rumah mereka meletakkan papan nama kuningan bertuliskan nama putri mereka dengan awalan 'Dr'.
Dukungan terhadap Orang Tua Korban
Rasa tidak percaya di lingkungan tempat tinggal korban belum pudar sejak berita pemerkosaan dan pembunuhan menyebar dari rumah ke rumah bahwa hari cerah bagi sang dokter telah berakhir.
Lokasi serangan – di rumah sakit tempat korban bekerja, yang dia dan keluarganya anggap aman – dan pelayanan publiknya sebagai dokter yang bekerja selama 36 jam menambah kemarahan publik atas kejahatan biadab tersebut.
"Seperti semua orang tua, kami khawatir tentang keselamatannya tetapi hanya saat dia dalam perjalanan. Saat dia sampai di rumah sakit, kami merasa tenang. Dia aman. Seperti saat kami biasa mengantarnya ke sekolah – begitu dia masuk gerbang, Anda merasa dia aman," tutur ayahnya.
Dalam unggahan di platform X, kepala Asosiasi Medis India RV Asokan mengungkapkan kesedihannya atas pembunuhan itu dengan mengatakan, "Kami mengecewakannya semasa hidup, tetapi tidak mengecewakannya setelah meninggal".
Pernyataannya merujuk pada protes, kecaman, dan aksi mogok dokter yang telah mengguncang Negeri Hindustan sejak jasad korban ditemukan.
Rekan kerja dan tetangganya menggambarkan korban sebagai seorang dokter muda yang berdedikasi yang ingin melunasi utang orang tuanya dan memberi mereka kehidupan yang nyaman setelah pengorbanan mereka untuk membantunya menjadi dokter.
Salah satu mantan gurunya, Arnab Biswas, menuturkan bahwa tidak seperti banyak anak muda yang memilih kedokteran karena potensi penghasilannya, dia "beraliran lama", menganggapnya sebagai panggilan hidup.
Setelah menyaksikan pasien COVID-19 terengah-engah, perempuan malang itu memilih kedokteran pernapasan saat harus memilih spesialisasi medisnya.
"Dia anak satu-satunya saya. Kami bekerja keras untuk menjadikannya seorang dokter … Saya tidak akan pernah bahagia lagi," kata seorang tetangga mengutip pernyataan ibu korban.
Para tetangga, yang berkonsultasi kepadanya tentang setiap penyakit dan bangga dengan prestasinya, mengenangnya kerap memberi makan hewan liar dan berkebun ketika punya waktu.
"Anak perempuan itu sudah pergi sekarang," kata seorang tetangga. "Tetapi, kami akan mendukung orang tuanya agar mereka tidak merasa sendirian."
Advertisement