Ayah di Jaksel Aniaya Anak Kandung, Kriminolog Jabarkan Berbagai Kemungkinan Penyebab KDRT

Seorang ayah di Jakarta Selatan melakukan kekerasan fisik kepada anak kandungnya yang masih kecil.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 29 Des 2022, 17:00 WIB
Diterbitkan 29 Des 2022, 17:00 WIB
Kasus Eksploitasi Anak
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak. (Dok. Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Seorang ayah di Jakarta Selatan melakukan kekerasan fisik kepada anak kandungnya yang masih kecil.

Kasus ini mulai terungkap setelah istri dari terduga pelaku mengunggah video penganiayaan itu ke media sosial dan menjadi viral.

Kejadian ini pun mendapat perhatian dari pihak berwenang seperti kepolisian dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). Tanggapan juga datang dari pihak kriminolog, Haniva Hasna.

Menurut kriminolog yang akrab disapa Iva, sebagian besar kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) disebabkan oleh kuatnya relasi kuasa antara pelaku dan korban. Relasi kuasa ini membuat pelaku bertindak sewenang-wenang dengan tujuan utama untuk memuaskan keinginan diri sendiri. Baik dalam bentuk pelampiasan emosi maupun perasaan berhak atas korban.

“Siapa yang mendominasi keluarga, maka ia akan merasa berhak untuk mengontrol dan menguasai segala aspek dalam hubungan rumah tangga,” kata Iva kepada Health Liputan6.com melalui pesan tertulis, Kamis (29/12/2022).

Selain relasi kuasa, ada sebab lain yang bisa memicu KDRT, salah satunya gangguan mental. Orangtua yang melakukan tindak kekerasan merasa layak melakukan hal itu kepada anaknya sebagai bentuk pengulangan sejarah kekerasan yang pernah ia alami di masa kecil.

Di sisi lain, kemiskinan, kehadiran orang ketiga, keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidakmampuan dalam mendidik anak, harapan orangtua yang tidak realistis terhadap anak, lahirnya anak yang tidak diinginkan (unwanted child), dan anak lahir di luar nikah juga bisa menjadi pemicu KDRT.

Agresivitas dan Pendidikan

Dalam kasus yang terjadi di Jakarta Selatan, terduga pelaku diduga berasal dari kalangan berpendidikan.

Lantas, apakah tingkat pendidikan seseorang tidak menjamin perilakunya terhadap keluarga?

Mengenai hal ini Iva mengatakan, agresivitas dipengaruhi oleh kesehatan fisik, kesehatan mental, hubungan dengan orang lain, lingkungan, pengasuhan, faktor sosial atau ekonomi, sifat individu serta pengalaman hidup seseorang.

“Setinggi apapun gelar orang tersebut bila dia tidak bisa mengendalikan diri maka akan terus melakukan agresi untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan emosinya,” kata Iva.

Jika ayah tersebut terbukti bersalah, maka ancaman hukumannya sudah ditetapkan dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pasal 80.

“Yaitu setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan, ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).”

Delik Aduan

Namun, lanjut Iva, kasus KDRT ini termasuk dalam delik aduan. Artinya, bisa dicabut oleh korban.

Jika aduan ini dicabut, maka pelaku pun tidak jadi diproses secara hukum. Hal ini dapat berakibat pada pengulangan kasus KDRT.

“Biasanya dengan pertimbangan rasa sayang atau ‘tidak mungkin memenjarakan ayah kandung dari anak sendiri’.”

Dalam video yang beredar, sang ibu mengambil video sambil menangis dan berteriak kepada suaminya bahwa ini adalah tindakan kekerasan pada anak.

Menurut Iva, ini adalah tindakan untuk mendapatkan barang bukti ketika akan melakukan proses hukum atau setidaknya meminta pertolongan dan perlindungan kepada pihak lain.

“Mungkin akan terjadi pro dan kontra, kenapa istri tidak langsung melakukan pembelaan atau perlindungan terhadap anaknya tetapi dari sudut pandang yang berbeda bahwa alat bukti sangat diperlukan untuk proses hukum yang akan ditempuh. Pengambilan alat bukti bisa dimasukkan dalam perlindungan terhadap anak tersebut.”

Dampak KDRT

Lebih lanjut, Iva mengatakan bahwa KDRT tidak hanya berdampak buruk pada fisik tapi juga psikologis.

“Dampak psikologis kekerasan terhadap anak antara lain penarikan diri, ketakutan, tindakan agresif, emosi yang labil, depresi, cemas, merasa minder, merasa tidak berharga, dan banyak hal lain hingga depresi dan upaya bunuh diri.”

KDRT menimbulkan dampak sangat besar, baik bagi si korban maupun keluarganya. Kondisi ini bisa diperparah dengan lingkungan sekitar yang kurang tanggap terhadap kejadian KDRT di sekitarnya. Lingkungan biasanya beralasan bahwa KDRT merupakan masalah domestik sehingga apabila ada kejadian KDRT, orang lain tidak perlu campur tangan.

Selain menimbulkan luka fisik dan psikis berkepanjangan bagi perempuan dan anak yang menjadi korban KDRT, peristiwa kekerasan akan terekam dalam memori otak anak-anak yang menyaksikannya.

“Jangan heran jika anak-anak yang menyaksikan dan bahkan menjadi korban KDRT akan melakukan hal serupa dengan teman sebaya mereka dan ke anak-anak mereka kelak.”

Anak yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang mengalami KDRT cenderung akan meniru ketika mereka dewasa. 

Infografis 1 dari 4 Perempuan Mengalami Kekerasan Fisik atau Seksual. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis 1 dari 4 Perempuan Mengalami Kekerasan Fisik atau Seksual. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya