Menkes Budi Gunadi Akui Sangat Sulit Melacak Pasien Tuberkulosis

Pelacakan pasien tuberkulosis (TB) sangat sulit dilakukan tanpa teknologi yang memadai.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 25 Sep 2023, 15:00 WIB
Diterbitkan 25 Sep 2023, 15:00 WIB
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengakui sulitnya melacak pasien tuberkulosis. (Dok Kementerian Kesehatan RI)

Liputan6.com, New York - Pelacakan pasien tuberkulosis (TB) rupanya sangat sulit dilakukan tanpa dukungan teknologi yang memadai. Tak hanya itu saja, butuh kerja sama dengan berbagai pihak agar dapat meningkatkan pelacakan pasien TB.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin menyebutkan, pelacakan pasien TB terus dilakukan lantaran estimasi kasus tuberkulosis di Indonesia tertinggi kedua di dunia setelah India. 

Yakni dengan estimasi kasus sebanyak 969.000 dan kematian 144.000 per tahun, menurut data Global TB Report 2022.

“Kami memang punya banyak kasus TB, seperti yang Anda tahu, estimasi dari WHO itu kasusnya 845.000 sebelum COVID, sekarang kasus kami meningkat 969.000 dan sejauh ini catatan kami, kami hanya bisa mengidentifikasi 565.000,” kata Budi Gunadi saat dialog ‘TB Innovation Summit’ di New York, Amerika Serikat (AS) baru-baru ini.

“Jadi 60 persen ke mana sisanya? Sisanya menyebar ke mana-mana. Dan Anda tahu, mereka bisa menyebarkan penyakit TB.”

Tingkatkan Lacak 700.000 Kasus

Budi Gunadi pun mendorong tim Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI untuk meningkatkannya menjadi 700.000-an kasus.

“Tapi ya kuncinya ini sangat sulit, sangat sulit untuk melakukan diagnosis, tes diagnostik molekuler,” ucapnya.

“Jika ada teknologi baru yang dapat membuatnya (identifikasi TB) lebih mudah, tidak menggunakan foto, dapat menggunakan darah atau dapat menggunakan apa pun yang Anda miliki. Itu merupakan sesuatu yang saya butuhkan dari Anda semua.”

Identifikasi Pasien TB

Demi meningkatkan pelacakan pasien tuberkulosis, Kemenkes RI telah terintegrasi dengan data dan bekerja sama, salah satunya membentuk TB Army.

TB Army merupakan kegiatan pelacakan pasien initial Lost to Follow Up (iLTFU) TBC RO dengan melibatkan peran penyintas TB dan organisasi TB. TB Army pertama kali diinisiasi pada Oktober 2022 dan secara bertahap mulai dikembangkan di beberapa daerah.

“Kami bisa mendapatkan orang-orang yang terdeteksi TB dan saya bekerja sama dengan pekerja sosial,” terang Menkes Budi Gunadi Sadikin.

“Butuh waktu tiga bulan atau enam bulan untuk mengidentifikasinya. Mereka adalah orang yang tepat, sekarang sudah terhubung secara digital dan itu masuk pada pengawasan.”

Lakukan Pengobatan Resisten TB

Ilustrasi Tuberkulosis
Ilustrasi ketika pasien sudah diketahui tuberkulosis, maka dilakukan pengobatan. Terutama kepada pasien yang resisten TB, yakni resisten obat. oleh Anna Shvets dari Pexels

Ketika pasien sudah diketahui tuberkulosis, maka dilakukan pengobatan. Terutama kepada pasien yang resisten TB, yakni resisten obat.

Tuberkulosis Resisten Obat (TB-RO) adalah kondisi saat bakteri Mycobacterium Tuberculosis kebal terhadap obat TB lini 1. Akibatnya, pasien yang mengalami TB RO harus melakukan kombinasi obat (obat lini 2) dan pengobatan lebih lama (9 - 24 bulan).

“Kemudian harus dilakukan sesuatu pada pengobatan yang kita lakukan, kita mengawasi juga pengobatan terhadap yang resisten TB,” Budi Gunadi Sadikin membeberkan.

Uji Klinik Vaksin TB dari GSK

Dari sisi vaksin tuberkulosis, Menkes Budi Gunadi menyatakan Indonesia segera melakukan uji klinik fase 3. Vaksin TB ini merupakan besutan GlaxoSmithKline (GSK), yang kemudian diambil alih oleh Bill & Melinda Gates Foundation. 

“Kami akan melakukan uji klinis fase 3 untuk vaksin GSK oleh  Bill & Melinda Gates Foundation. Mereka mendukung saya dalam hal ini dan kami akan melakukan uji klinis fase 1 dengan BioNTech,” lanjutnya.

“Ini vaksin tuberkulosis berbasis mRNA dan juga melihat di China untuk uji klinik vaksin tuberkulosis baru.”

Strategi Kendalikan Tuberkulosis

Indonesia menetapkan target eliminasi TB di tahun 2030. Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah telah menetapkan empat strategi nasional untuk mengendalikan TB di Indonesia.

Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Maxi Rein Rondonuwu dalam kegiatan 5th INA-TIME bertajuk, “Stepping up research to end TB” yang digelar di Yogyakarta pada Jumat (1/9/2023).

Strategi pertama, menambah fasilitas pelayanan kesehatan yang mampu mengidentifikasi TB. Saat ini, jumlah fasyankes yang mampu mengidentifikasi TB masih terbatas.

Oleh karena itu, Pemerintah secara bertahap akan menambah dan melengkapinya dengan sarana dan prasarana yang mendukung proses identifikasi dan pengobatan TB.

Strategi kedua, memperkuat dan memperluas surveilans berbasis laboratorium. Ke depan, proses pemeriksaan TB tidak hanya menggunakan Tes Cepat Molekuler (TCM), tetapi juga menggunakan laboratorium PCR yang tersebar di seluruh Indonesia dan memakai reagen produksi dalam negeri.

Lacak TB RO

Strategi ketiga, membentuk TB Army. TB Army merupakan kegiatan pelacakan pasien initial Lost to Follow Up (iLTFU) TBC RO dengan melibatkan peran penyintas TB dan organisasi TB. TB Army pertama kali diinisiasi pada Oktober 2022 dan secara bertahap mulai dikembangkan di beberapa daerah.

Pilot Project dilaksanakan secara bertahap di 6 kabupaten/kota. Selama piloting, TB Army telah melacak 96 orang TB RO. TB Army resmi diluncurkan oleh Menkes Budi Gunadi Sadikin pada Selasa (29/8/2023).

Strategi terakhir adalah mengembangkan vaksin TB. Pemerintah sedang mengembangkan 3 jenis vaksin TB. Ketiganya, menggunakan teknologi yang berbeda-beda dan Indonesia dipastikan akan menjadi lokus uji klinis.

Dirjen Maxi merinci vaksin TB pertama berbasis protein rekombinan dari Bill and Melinda Gates Foundation (BMGF). Vaksin kedua berbasis viral vektor yang dikembangkan oleh CanSino-Etana. Vaksin ketiga berbasis mRNA dikembangkan oleh BioNTech bekerja sama dengan Bio Farma.

Infografis Cek Fakta
Infografis Cek Fakta: 6 Tips Cara Identifikasi Hoaks dan Disinformasi di Medsos
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya