Liputan6.com, Jakarta Thailand menjadi negara terbaru yang menghadapi penurunan angka kelahiran. Para ahli memperkirakan penurunan populasi pada negara ini dari 66 juta menjadi 33 juta hanya dalam waktu 60 tahun.
Penurunan ini akan mengakibatkan populasi usia kerja menurun dari 46 juta menjadi sekitar 14 juta. Wakil Perdana Menteri Somsak Thepsutin memperingatkan penurunan ini berdampak besar pada pembangunan ekonomi dan keamanan nasional.
Baca Juga
Selain Thailand, penurunan angka kelahiran juga terjadi di sejumlah negara tetangga. Hal ini disebabkan oleh ketidakmauan generasi muda untuk memiliki anak. Beberapa fakor seperti inflasi yang merajalela telah menjadi penghalang utama bagi generasi saat ini untuk menjalani kehidupan keluarga tradisional.
Advertisement
Akibatnya, negara-negara dengan tingkat kelahiran yang menurun akan melihat populasi mereka menua dengan cepat. Hal ini akan mengakibatkan dampak pada perekonomian karena jumlah penduduk usia kerja menjadi lebih sedikit.
Tingkat kesuburan Thailand telah turun dari 6,29 pada tahun 1970 menjadi 1,08 pada tahun 2023, menurut Dewan Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional (NESDC), dilansir dari laman News Au pada Senin (18/3/2024).
Perkiraan NESDC menunjukkan bahwa populasi Thailand akan mencapai puncaknya pada 67,19 juta pada tahun 2028, kemudian menurun menjadi 67 juta pada tahun 2033 dan 66,18 juta pada tahun 2037. Persentase populasi usia kerja diperkirakan akan menurun dari 66,1 persen pada tahun 2017 menjadi 56,8 persen pada tahun 2037.
Kampanye untuk Meningkatkan Angka Kelahiran di Thailand
Somsak telah mengadvokasi kampanye yang bertujuan untuk meningkatkan angka kelahiran di kalangan perempuan muda dan mendukung kelahiran di kalangan perempuan yang berusia di atas 30 tahun melalui teknologi medis dan kebijakan yang mendorong kehidupan dan lingkungan kerja yang mendukung.
Kementerian Pembangunan Sosial dan Keamanan Manusia juga telah mengadakan diskusi tentang bagaimana mengatasi dilema yang dihadapi negara ini.
Hasil dari lokakarya ini akan dipresentasikan pada konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang populasi pada akhir April, dengan tujuan untuk mendorong kolaborasi internasional untuk mengatasi masalah ini.
Selain Thailand, beberapa negara lainnya di Asia juga mengalami angka kelahiran yang terus merosot setiap tahunnya, seperti Jepang, Cina dan Korea Selatan
Advertisement
Jepang dan Negara-negara Tetangga Juga Mengalami Penurunan Angka Kelahiran
Pihak berwenang di Jepang telah membunyikan lonceng peringatan selama bertahun-tahun, karena angka kelahiran terus merosot di negara kepulauan yang berpenduduk 125 juta jiwa ini.
Angka kelahiran di Jepang telah menurun sejak tahun 1973 setelah mencapai puncaknya sekitar 2,1 juta kelahiran per tahun. Pada tahun 2040, angka kelahiran diproyeksikan turun menjadi hanya 740.000.
"Laju ini bahkan lebih lambat dari tahun lalu, Saya memahami bahwa ini adalah situasi yang kritis," kata Matsuno. Dengan menerapkan tren saat ini, populasi Jepang diperkirakan akan menyusut hampir 40 juta jiwa dalam 40 tahun ke depan, dan para ahli memperkirakan akan turun di bawah 90 juta jiwa pada tahun 2060.
Jepang menyediakan pembayaran subsidi untuk kehamilan, persalinan, dan perawatan anak, namun, ketentuan untuk mendukung keluarga baru tidak mengurangi penurunan tersebut.
Negara-negara tetangga seperti Cina dan Korea Selatan juga mencatat penurunan angka kelahiran yang tajam, dengan Korea Selatan mencatat angka terendah di dunia.
Penurunan Populasi di Tingkat Global
Masalah penurunan angka kelahiran ini juga muncul di Eropa, dengan negara-negara seperti Bulgaria (22,5 persen), Lithuania (22,1 persen), Latvia (21,6 persen), Ukraina (19,5 persen), dan Serbia (18,9 persen) yang mencatat penurunan populasi yang paling cepat di dunia.
Angka yang dirilis oleh pemerintah Korea Selatan menunjukkan bahwa kelahiran per wanita turun menjadi 0,81 - turun dari 0,84 pada tahun sebelumnya.
"Di tingkat global, penurunan populasi didorong oleh tingkat kesuburan yang rendah dan terus menurun," demikian bunyi laporan PBB tentang kondisi pertumbuhan populasi.
"Pada tahun 2019, lebih dari 40 persen populasi dunia tinggal di negara-negara yang berada pada atau di bawah tingkat penggantian 2,1 anak per wanita; pada tahun 2021, persentase ini naik menjadi 60 persen."
PBB juga mengindikasikan bahwa "meskipun status quo mungkin nyaman bagi banyak orang, kita perlu menyadari bahwa gagasan tentang populasi yang stabil tidak realistis".
Advertisement