Bakmi Beteng Muntilan Menjawab Drama Misteri Rasa Lapar

Lapar itu di sini dan hanya butuh sekadarnya, bukan di sana yang butuh mobil mewah, membabat hutan, menggusur gunung.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 09 Mei 2020, 20:07 WIB
Diterbitkan 09 Mei 2020, 19:15 WIB
Berbelanja saat Boxing Days di Inggris
Kerumunan orang memenuhi Oxford Street selama Boxing Day di London, Inggris, Selasa (26/12). Pada Boxing Day ini, hampir semua pusat pertokoan yang memberikan pesta diskon diserbu para pembeli dan terjadi antrean panjang. (Daniel LEAL-OLIVAS/AFP)

Liputan6.com, Magelang - Dalam kasta kuliner Jawa, mi atau bakmi tergolong makanan yang serba tidak jelas jenis kelaminnya. Makanan pokok bukan, lauk bukan, snack juga bukan. Jarang ada yang menempatkan mi sebagai menu buka puasa Ramadan.

Tetapi dalam strata sosial camilan, ia dinilai terlalu berat. Sungguh posisi yang tak jelas dan tak butuh kejelasan. Seperti kerupuk, meriah di mulut tapi rendah gizi. Lagi-lagi dalam strata ini mi tak layak jadi takjil berbuka puasa Ramadan.

Mari bercerita tentang sebuah warung mi yang sangat laris di Muntilan. Saking larisnya antrean dalam hari biasa saja pasti mencapai puluhan atau bahkan ratusan.

Warung mi yang ngetop ini berada di area persawahan dan seringkali menyajikan drama dalam perburuan pecinta mi. Warung mi ini layak menjadi buronan teratas dalam peta per-bakmi-an kota Muntilan. Ada saja pembeli yang rela antre dalam deretan mobil yang parkir.

Warung ini tak luas. Hanya warung sempit nan sederhana. Namun ketika mulai berjualan, seketika warung ini berubah menjadi panggung mega dahsyat yang menggelar pertunjukan kanibalisme kemanusiaan.

Saling sikut, saling himpit, dan kadang berdiri klimaks dalam senyum nyinyir. Ilustrasi pertunjukan itu berupa teriakan pesanan.

"Mbak, aku mi godhog, ya (mbak, saya mi rebus, ya)."

"Aku dibungkus pitu, goreng kabeh pedes nganggo pete. (Saya pesan dibungkus tujuh, goreng semua pakai pete)."

Wow sungguh mengerikan adegan ini. Segala jenis karakter naluri hewani berkumpul.

Kasta mi yang tidak jelas jenis kelaminnya itu, ternyata masih mampu membuat reaksi lidah warga Muntilan juga menjadi ikutan tidak jelas. Makan mi godog saja, orang merasa belum makan. Namun jika makan dicampur nasi, akan merasa kekenyangan.

Makan mi godog atau mi rebus yang dicampur nasi dan kekenyangan menjadi manifestasi kerakusan. Karakter mi godog ini sangat sensitif dan egois. Bertolak belakang dengan tujuan puasa Ramadan.

 

Simak video pilihan berikut

Menyimak Drama Tragedi

Warga rela mengantre panjang hingga belasan kilometer demi mendapatkan masker gratis sebagai upaya cegah Covid-19.
Antre Masker (Sumber: Liputan6.com)

Baiklah, mari kita lihat karakter pembelinya.

Saking larisnya dan panjangnya antrean dilayani, kerumunan pembeli itu akhirnya rela mendorong sesamanya. Ada yang menginjak kaki pembeli lain. 

Tetapi kejadian itu begitu saja terjadi dan mampu menjebol sekat dinding kasta sosial. Bisa saja seorang kuli panggul menyerobot pesanan sosok bermobil BMW atau sebaliknya. Kasta sosial pembeli menjadi lebur.

Mari kita simak drama kemanusiaan yang terjadi. Diawali dari datangnya seorang perempuan dandanan wanita karier. Saat ia keluar dari kerumunan. Di tangannya memegang satu tas plastik kresek warna hitam.

"Alhamdulillah, masih kebagian tiga. Nanti mama bisa merasakan lezatnya bakmi godog ini," katanya penuh kemenangan saat melapor kepada seorang wanita tua yang menunggu di mobil.

Pertunjukan kian menarik ketika mengucapkan kalimat syukur "Alhamdulillah" itu sengaja diperbesar volumenya. Ini akan memberi efek panik kepada pelanggan lain yang bahkan belum sempat mendekat ke pemilik warung.

Kepanikan pengantre makin bertambah karena reaksi ibu pemilik warung yang tak kalah dingin. Setiap ditanya pemesan, selalu dijawab seperti asal-asalan.

"Nunggu antre berapa, mbak?"

"Nunggu 97 ya. Kalau sabar, monggo. Enggak, ya enggak papa," begitu reaksi si pemilik warung.

Dingin, tanpa senyum, bahkan tanpa menengok si penanya. Bahkan, ketika panjang antrean hanya empat atau lima orang saja, ia bisa menyebut angka di atas 50. Tentu si pengantre melongo dan menduga angka itu menjadi sebuah kebenaran karena pesanan yang dibungkus sangat banyak.

Keistimewaan warung ini adalah memasak seporsi demi seporsi. Tak pernah memasak sekali untuk beberapa porsi meskipun pesanan banyak. Ini sebuah upaya menjaga kualitas rasa.

Begitulah. Larisnya warung itu ternyata menjadi panggung drama kesombongan yang meledek nurani. Ada saja pembeli yang mencoba mendramatisasi suasana.

"Wah, sudah habis, Mbak. Makanya kalau ke sini lebih awal," kata pembeli lain.

Ucapan biasa, tapi akhirnya menjadi ledekan dan menista pihak yang tak kebagian.

Bakmi Beteng Menjawab

Menyingkap Misteri Rasa Lapar Lewat Bakmi Beteng
Dalam kasta kuliner Jawa, mie atau bakmi tergolong makanan yang serba tidak jelas jenis kelaminnya.

Lalu bagaimana dengan warung-warung mi lain di Muntilan?

Tak jauh dari situ, ada juga warung bakmi. Namanya Bakmi Beteng. Warungnya tak kalah sederhana, masakannya juga biasa saja. Standar bakmi godog Muntilan, yang memiliki varian bakmi goreng, nasi goreng, maupun capcay.

Pemilik warung bernama Khusnul Nurhidayah. Biasa dipanggil Mbak Inung.

Warung itu tak seramai warung pertama tadi. Namun ia juga nyaris tak pernah istirahat meskipun kondisi warungnya hanya berisi satu orang.

Jualan sama dengan tingkat kelarisan berbeda. Tak ada drama, tak ada pertunjukan. Bagi mbak Inung, mi adalah mi. Ia bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan mati-matian.

"Selezat apa pun rasanya, ia hanya akan dimakan sekadarnya," kata Mbak Inung.

Keberadaan sebuah warung, selaris apa pun, tidak boleh menimbulkan “gegar sosial”, sebuah guncangan sosial yang akan meruntuhkan nilai kemanusiaan. 

Menurut Bambang Sustianto, suami si pemilik warung, antrean panjang, prestise, gengsi, penasaran kolektif hanyalah imajinasi yang dibangun secara massal. Imajinasi itu hanya berfungsi menggairahkan pembeli sehingga tak perlu tim marketing handal.

Lapar itu Begini

Menyingkap Misteri Rasa Lapar Lewat Bakmi Beteng
Mbak Inung sedang melayani pembeli. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

"Itu sebabnya orang yang berpuasa sering kali kaget dengan perasaan laparnya. Ia merencanakan makan ini-itu, namun ketika beduk magrib tiba, semua musnah oleh seteguk teh manis hangat," kata Bambang.

Rasa lapar sering disalahpahami sebagai sosok yang tak terjangkau; yang misterius; yang butuh pelepasan mahal. Padahal kadang cuma butuh teh panas seteguk, atau bakmi godog setengah porsi, semua yang misterius itu runtuh.

Jajan di warung Mbak Inung, obrolan antar-pembeli sebagai manusia sungguh hidup. Bahkan ada juga yang saling mengalah. Meski sama-sama butuh. 

Menu yang ditawarkan juga biasa: bakmi goreng/godog, bihun goreng/godog, nasi goreng/godog, kwetiau, capcay. Tak ada yang istimewa. Tak banyak dan tak padat. Namun selalu saja ada pembeli. 

Lapar itu memang hanya "di sini". Hanya butuh bakmi, atau kentang goreng, atau sesendok ketan. Lapar itu tak berada "di sana" yang butuh penuntasan dengan mobil mewah, istri muda, menguruk pantai, duit bermiliar dan yang serba tak terjangkau, sehingga memaksakan diri dengan korupsi, melanggar aturan, dan sejenisnya.

Dengan bekal Rp10 ribu, cukuplah menuntaskan lapar yang sesungguhnya. Karena lapar itu hanya butuh penuntasan beberapa menit, bukan dengan sebuah pulau, bukan dengan pesawat pribadi, apalagi duit berkoper-koper hasil suap menyuap.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya