Alasan Kenapa Perintah Qurban kepada Nabi Ibrahim melalui Mimpi

Perintah ini datang melalui mimpi pada tanggal 8 Dzulhijjah. Namun, perintah ini tak langsung diamini oleh Nabi Ibrahim. Kenapa lewat mimpi?

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Jun 2024, 12:30 WIB
Diterbitkan 09 Jun 2024, 12:30 WIB
Pasar Hewan Kurban Jelang Idul Adha di New Delhi
Ilustrasi Idul Adha (AP Photo/Altaf Qadri)

Liputan6.com, Jakarta - Perintah qurban yang diterima oleh Nabi Ibrahim AS, yang kemudian mengurbankan Nabi Ismail AS, merupakan salah satu momen penting dalam sejarah Islam.

Kisah ini menjadi inti dari perayaan Idul Adha yang diperingati oleh umat Muslim setiap tahunnya pada tanggal 10 Dzulhijjah di seluruh dunia.

Namun, yang menarik adalah cara Allah SWT menyampaikan perintah tersebut kepada Nabi Ibrahim melalui mimpi. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang mengapa perintah qurban disampaikan dalam bentuk mimpi.

Sebelum menerima perintah qurban melalui mimpi, Nabi Ibrahim telah lama merindukan keturunan yang saleh.

Doa dan harapannya selalu ditujukan kepada Allah SWT agar diberkahi dengan seorang anak. Maka, ketika perintah tersebut akhirnya datang, melalui mimpi yang penuh makna, Nabi Ibrahim dengan tulus menerima dan siap untuk mentaati titah Allah.

Lantas mengapa perintah agung ini datang melalui mimpi dan bagaimana kisahnya?

 

Simak Video Pilihan Ini:

Ujian Siti Hajar dan Nabi Ismail AS

FOTO: Geliat Pasar Hewan Kurban Jelang Idul Adha di Afghanistan
Ilustrasi Idul Adha memperingati kisah Nabi Ibrahim atas kesediaan untuk mengorbankan putranya sebagai kepatuhan kepada Tuhan. (AP Photo/Rahmat Gul)

Mengutip Nu Online, hal ini sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an surat al-Shaffat (37) ayat 100:

رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ. فَبَشَّرْنٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيْمٍ

Artinya, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh (100). Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail) (101).

Doa demikian selalu ia panjatkan sampai kemudian lahir dari rahim istrinya, Siti Hajar, seorang putra yang diberi nama Ismail.

Pada saat itu, Nabi Ibrahim berusia 86 tahun. Saat tengah gembira atas kelahiran putranya, ia mendapatkan perintah untuk meninggalkan dua orang yang amat dicintainya itu di tengah wilayah yang tandus, yakni Makkah saat ini.

Wilayah yang diapit dua bukit, yakni Shafa dan Marwah.

Dikisahkan dalam kitab Qishashul Anbiya karya Ibnu Katsir, Siti Hajar turut berdiri manakala melihat sang suami, yakni Nabi Ibrahim, berdiri, sembari mengajukan pertanyaan.

“Duhai Ibrahim, hendak ke mana Engkau pergi, sedangkan Engkau meninggalkan kami di lembah ini tanpa ada seorang teman dan sesuatu apapun?”

Siti Hajar berulang kali menyampaikan hal yang sama. Namun, sang suami tak bergeming sedikit pun.

Melihat tak ada respons, Siti Hajar mengubah pertanyaannya, “Apakah Allah memerintahkanmu demikian?”

“Ya,” Nabi Ibrahim menjawab pendek. “Jadi, jangan sia-siakan kami,” kata Siti Hajar lagi menjawab sembari kembali ke tempat semula.

Sementara Nabi Ibrahim terus berlalu. Saat itu, Nabi Ismail masih bayi, masih menyusu kepada ibunya. Ketika perbekalan habis, sang ibu pun mencari penghidupan.

Namun, ia tak menemukan apa-apa di sekitarnya. Segera ia menaiki bukit Shafa dan melempar pandangannya ke bawah, tetapi tak ada apa-apa. Setelah memastikan memang tidak ada apa-apa, ia turun kembali dan melihat sekitarnya, masih demikian.

Lalu, ia coba menaiki bukit Marwah dan kembali mengarahkan pandangannya ke sekitar. Namun, lagi-lagi, tak ia temukan barang sesuatu apapun. Hal demikian berulang sampai tujuh kali.

Ini Alasan Perintah datang Melalui Mimpi

FOTO: Geliat Pasar Hewan Kurban Jelang Idul Adha di Afghanistan
ilustrasi Idul Adha (AP Photo/Rahmat Gul)

Tentu kisah ini bukan saja ujian bagi Siti Hajar dan Nabi Ismail kecil,. Tetapi juga bagi Nabi Ibrahim selaku ayah yang harus mengikhlaskan situasi demikian. Setelah Nabi Ismail beranjak remaja, Nabi Ibrahim kembali diuji untuk mengorbankan putranya.

Perintah ini datang melalui mimpi pada tanggal 8 Dzulhijjah. Namun, perintah ini tak langsung diamini oleh Nabi Ibrahim. Ia masih meragukan apakah betul mimpi tersebut adalah perintah dari Allah SWT.

Kemudian, mimpi yang sama datang lagi pada tanggal 9 Dzulhijjah. Karenanya, tanggal tersebut dinamai hari Arafah, yakni hari saat Nabi Ibrahim arafa (mengetahui), meyakini bahwa mimpi yang datang di dalam tidurnya adalah betul-betul perintah dari Allah SWT.

Lantas, keesokan harinya, pada tanggal 10 Dzulhijjah, Nabi Ibrahim melaksanakan perintah tersebut. Kisah ini diabadikan dalam Al-Qur’an surat al-Shaffat ayat 101:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

Artinya: "Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar."

Perintah ini datang melalui mimpi, tidak disampaikan saat Nabi Ibrahim dalam keadaan terjaga. Ibnu Asyur dalam kitab tafsirnya, Al-Tahrir wa al-Tanwir, menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan bentuk penghormatan atau memuliakan kepada Nabi Ibrahim atas keresahan yang dialaminya dengan perintah mengorbankan putranya tersebut jika disampaikan saat terjaga.

Sebab, melalui mimpi, perenungan atas perintah tersebut akan dilakukan setelahnya karena terkadang mimpi tersebut mengandung tanda gangguan pikiran.

Lebih lanjut, Ibnu Asyur juga menegaskan bahwa mimpi merupakan cara yang ramah bagi jiwa untuk menyambut perintah yang sedemikian berat itu, yakni mengorbankan anaknya yang semata wayang itu.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya