Realita Pilu di Balik Kebiasaan Keluarga Kurang Mampu Beli Makanan Cepat Saji

Bukan keinginan hati, ada perjuangan dan kisah yang belum diceritakan di balik keputusan mengonsumsi makanan cepat saji oleh keluarga kurang mampu.

oleh Asnida Riani diperbarui 19 Jun 2019, 03:06 WIB
Diterbitkan 19 Jun 2019, 03:06 WIB
Ilustrasi Makanan Cepat Saji
Ilustrasi makanan cepat saji (dok. Pixabay.com/Putu Elmira)

Liputan6.com, Jakarta - Juru masak selebritas Jamie Oliver lewat kampanye #AdEnough, beberapa waktu lalu, mencanangkan pajak gula di mana dampaknya nanti mengarah pada kenaikan harga beberapa sajian, termasuk makanan cepat saji.

"Ini adalah pajak bermaksud baik. Pajak yang merupakan bentuk kasih sayang. Pajak ini didesain untuk melindungi dan memberi lebih pada komunitas tak diperjuangkan," katanya seperti dilansir dari Bored Panda, Selasa (18/6/2019).

Tapi, tak semua orang setuju dengan usulan meningkatkan harga makanan cepat saji oleh lelaki asal Inggris tersebut. Suara seorang pengguna Twitter, Ketty Hopkins, atas kampanye tersebut jadi salah satu respons yang paling menarik perhatian publk.

Lewat thread, Ketty yang notabene besar di keluarga kurang mempu, menjabarkan realita menyedihkan di balik keputusan makan makanan sehat tak selalu jadi opsi. "Saat saya berusia enam tahun, ayah saya harus berjuang membiayai hidup saya dan saudara lelaki saya karena ibu kami pergi begitu saja," tulisnya mengawali.

Ayah Ketty dijabarkan bekerja dalam periode sangat panjang dan baru belakangan ia tahu juga berjuang melawan depresi yang melanda. Kondisi serba sulit ini membuat Ketty sekeluarga tak memiliki uang sama sekali untuk membeli makanan, termasuk sayur berkualitas biasa dengan harga terjangkau.

Pesan-pesan ancaman dari mantan istri, jam tidur kurang dari empat jam setiap hari, dan selalu dikelilingi ketakutan membuatnya terlalu lelah membuat makanan dari bahan mentah. "Kalian mungkin akan dengan mudah menyangkal. Tapi, ingat, kalian tidak ada di keadaan ini dan saya sangat paham ayah saya sudah berusaha," papar Ketty.

Sampai sekarang sudah dewasa, Ketty mengaku tak pernah mengalami masalah kesehatan kendati cukup sering makan makanan cepat saji. "Ayah saya pastinya sudah melakukan hal sebaik mungkin. Ia selalu khawatir pada kami dan berusaha bertanya walau sudah lelah bekerja," tambahnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Solusi Lain yang Ditawarkan

Pizza
Pizza bisa banget dibuat sendiri/copyright: unsplash/lim lin

Ketty menambahkan, alasan orangtua membeli makanan cepat saji untuk anak mereka adalah sesederhana itulah yang bisa mereka beli. "Jika mereka menaikkan harga makanan cepat saji saat saya kecil, saya mungkin tidak akan makan dalam porsi cukup," kata Ketty.

Dalam opininya, Ketty mengatakan, lebih baik seorang anak makan pizza ketimbang ia tak makan sama sekali. Ketty menambahkan, cara memperbaiki gizi ini bukan semata dengan menaikan harga makanan cepat saji.

Ia menawarkan beberapa solusi, termasuk kenaikan upah minimal pegawai, berhenti memangkas manfaat yang bisa didapatkan seingga mereka tidak cepat stres, rumah lebih murah jadi lebih fokus pada makanan ketimbang bayar sewa, dan meningkatkan pelayanan kesehatan, bukan hanya fisik, tapi juga mental.

Melihat jawaban Ketty, seorang warga asing yang tingal di London menanggapi dengan betapa terkejut ia mendapati harga sayur di supermarket. "Saya datang dari negara di mana makan sayuran jadi satu-satunya opsi saat Anda tidak punya uang," tulisnya.

"Tapi, setelah pergi ke supermarket di seantero kota, saya paham mengapa perdebatan ini terjadi. Anda datang dari budaya berbeda. Sayur adalah makanan mahal di sini. Sangat sangat mahal," sambungnya.

Respons beberapa warga dunia maya lain berupa cerita mereka yang paham bagaimana sulitnya memasak dan memerhatikan makanan selama memiliki gangguan psikis. "Saya tidak bisa bayangkan betapa kuat ayah Anda," tulis salah satu warganet. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya