Liputan6.com, Jakarta - Kecil-kecil cabe rawit, pepatah yang mungkin pas disematkan pada sampah puntung rokok. Ukurannya kecil, sering diremehkan, dibuang sembarangan, tapi siapa sangka levelnya termasuk limbah B3 (bahan beracun berbahaya). Ini jadi pekerjaan rumah lain Indonesia di peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Mengutip data The Global Adult Tobacco Survey 2011 yang dilakukan WHO, sekitar 116 juta batang rokok dihisap setiap hari di Indonesia. Itu artinya 116 juta puntung rokok dihasilkan dalam sehari dan menjadi sampah. Dengan catatan, itu data yang diambil 11 tahun lalu.
Advertisement
Baca Juga
"Itu dalam sehari. Bisa dibayangkan berapa banyak sampah puntung rokok yang terakumulasi dalam satu tahun dan bertahun-tahun," kata Dina Kania, National Professional Officer for Policy and Legislation, dalam webinar bertema "Dampak Lingkungan Akibat Industri Tembakau: Antara Solusi Palsu dan Tanggung Jawab yang Seharusnya" pada Jumat, 27 Mei 2022.
Di dalam puntung rokok itu, kata Dina, terdeteksi sekitar 7.000 bahan kimia yang bisa meracuni air dan tanah. Berdasarkan riset, zat kimia berbahaya yang terdapat dalam puntung rokok di antaranya adalah nikotin, arsenik dan logam berat yang sifatnya beracun bagi organisme yang hidup di air.
"Banyak dari bahan kimianya yang beracun bagi lingkungan dan bahkan 50 di antaranya bersifat karsinogenik yang dapat memicu kanker bagi manusia," tambah Dina.
Pernyataan Dina diamini Koordinator Nasional Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) Rahyang Nusantara. Ia menyebut sampah puntung rokok menjadi sampah terbanyak yang ditemukan.
Data The Ocean Conservancy yang setiap tahun mensponsori International Coastal Cleanup (ICC), yakni kegiatan bersih-bersih badan air di seluruh dunia, juga menguatkan klaim itu. Dalam 25 tahun terakhir, relawan ICC mengumpulkan sekitar 53 juta puntung rokok. Sebanyak 33.760 batang puntung rokok terkumpul di perairan Indonesia hanya dalam satu event saja, The Beach and Beyond 2019.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Butuh 30 Tahun Lebih
Sementara itu, peneliti Ecoton Eka Chlara Budiarti mengatakan temuan pencemaran limbah puntung rokok, baik di daratan maupun lingkungan perairan semakin banyak. "Ada sekitar 5,6 triliun puntung rokok atau setara dengan 845.000 ton puntung rokok di seluruh dunia yang dibuang per tahunnya," kata Eka.
"Temuan di pesisir Mediterania menemukan ada setidaknya 2 juta punting rokok, dan ini lebih banyak daripada sampah jenis lainnya, seperti kantong plastik, tutup botol maupun sachet," lanjutnya.
Eka menjelaskan, sampah puntung rokok ini setidaknya membutuhkan 30 tahun untuk bisa terurai di alam. "Bahkan yang menjadi problem adalah, apakah benar akan terurai?" ucapnya.
Ia mengutip hasil riset peneliti dari Spanyol pada 2021 menemukan dalam satu puntung rokok setidaknya terdapat 15.600 helar fiber. Serat itu berbahan plastik. Ketika puntung rokok terlepas ke lingkungan, terutama di perairan, dapat menghasilkan mikroplastik yang terlepas sebanyak 100 partikel per hari.
"Di mana mikroplastik ini diyakini sama banyak dengan limbah cucian baju," ia menjelaskan.
Advertisement
Bukan Hanya Produk Jadi
Dina Kania, National Profesional Officer for Policy and Legislation, bahkan menyebut semua proses pembuatan rokok konvensional, mulai dari pembudidayaan, produksi, distribusi, dan limbah produk tembakau, berkontribusi terhadap perubahan iklim dan mengurangi ketahanan iklim, dengan membuang sumber daya dan merusak ekosistem.
Dari sisi dampak pembukaan lahan, dan kecenderungan membuka lahan perawan untuk perkebunan tembakau, menimbulkan penggundulan hutan, dan berefek negatif terhadap sumber daya hutan. Budidaya tembakau berkontribusi sebesar lima persen terhadap kerusakan hutan global dan tidak memungkinkan peremajaan tanah atau perbaikan komponen ekosistem pertanian lainnya.
Ia menyebut produksi rokok mengakibatkan lima persen penggundulan hutan global. "Bahkan sampai dengan 30 persen di negara penanam tembakau," ujarnya.
Dengan efek lingkungan yang sedemikian besar, Rahyang mendesak setiap produsen bertanggung jawab terhadap sampah produk dan kemasan produk yang dihasilkan. Konsep itu dikenal dengan istilah Extended Producer Responsibility (EPR). Mereka harus memastikan bahwa produk yang dipasarkan sudah memperhitungkan dampak lingkungan setelah produk dikonsumsi.
Pengalihan Isu
Namun, alih-alih membuat sistem yang tepat, ia menuding produsen rokok justru melakukan greenwashing. "Industri tembakau malah berinvestasi melakukan greenwashing untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kerugian lingkungan yang mereka timbulkan," kata Rahyang.
Upaya greenwashing dilakukan dengan mendukung penghijauan yang disebut Rahyang tidak sepadan dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan industri rokok. Lainnya adalah dengan mempromosikan program daur ulang sampah puntung rokok menjadi produk lain yang masih dipertanyakan keamanannya, baik dari segi proses maupun produk jadinya.
"Ini seharusnya disiapkan dulu baku mutunya sehingga dapat memitigasi dari potensi racun yang dapat tersebar ke lingkungan," imbuh dia.
Pemerintah sebenarnya sudah menyiapkan regulasi untuk meminta tanggung jawab dari produsen rokok, yakni Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Dalam undang-undang itu, produsen diwajibkan memiliki kendali dalam mengelola limbah hasil produksinya.
"Industri rokok harus memastikan bahwa produk yang mereka pasarkan sudah memperhitungkan dampak lingkungan, yakni bagaimana setelah produk dikonsumsi industri rokok harus mempertanggungjawabkannya dari segi EPR kemana sampahnya harus dibuang, atau bagaimana sampah itu harus diperlakukan, dan bukan sebagai CSR," kata Sri Bebassari, Ketua Dewan Pembina Indonesia Solid Waste Association (InSWA). (Natalia Adinda)
Advertisement