Liputan6.com, Jakarta - Ada banyak istilah yang ramai disorot di media sosial, salah satunya lavender marriage yang tengah menyedot atensi warganet, khususnya pengguna X, dulunya Twitter, baru-baru ini. Apa sih artinya?
Melansir India Today, Rabu, 18 September 2024, pernikahan lavender mengacu pada ikatan antara seorang heteroseksual dan seorang homoseksual. Ikatan ini sering kali dimaksudkan untuk menyembunyikan orientasi seksual homoseksual.
Baca Juga
"Kesepakatan" ini secara historis berfungsi sebagai sarana melindungi individu dari penganiayaan masyarakat, konsekuensi hukum, atau kesulitan pribadi karena orientasi seksual mereka. Istilah "lavender" mengacu pada warna yang secara tradisional dikaitkan dengan komunitas LGBTQ+.
Advertisement
Dalam lanskap masyarakat saat ini, prevalensi lavender marriage disebut "menurun secara signifikan." Kemajuan hukum, perubahan budaya, dan visibilitas LGBTQ+ yang lebih besar telah memungkinkan individu hidup lebih terbuka dan autentik tanpa perlu menyembunyikannya melalui fasad heteroseksual.
Namun, pernikahan lavender masih terjadi di beberapa bagian dunia yang menganggap LGBTQ+ tabu. Keputusan menjalani pernikahan lavender dapat berkonsekuensi secara pribadi maupun sosial. Meskipun mungkin menawarkan kelegaan sementara dari tekanan eksternal, hal itu sering kali mengorbankan keaslian pribadi dan kesejahteraan emosional.
Individu dalam pernikahan lavender mungkin mengalami konflik internal, penekanan identitas, dan hubungan interpersonal yang tegang. Sebelum ini, istilah "Marriage Is Scary" sudah lebih dulu mengambil alih FYP TikTok. Tren yang terjemahan secara harfiahnya berarti "Pernikahan Itu Menakutkan" tersebut mengungkap alasan sejumlah pengguna perempuan enggan mengikat diri dalam janji sehidup semati dengan pasangan.
Istilah Marriage Is Scary
Unggahan biasanya dimulai dengan "Marriage Is Scary," disambung, "What If (bagaimana jika)," sebelum membeberkan alasan pribadi seseorang takut menikah. Ada yang khawatir pasangannya tidak bisa jadi pembela abadi di depan keluarga, sementara tidak sedikit pula yang takut punya suami dengan preferensi berbeda.
Preferensi di sini kebanyakan terkait hal keseharian, seperti menganggap skincare dan makeup tidak penting, sampai tanggung jawab mengurus anak yang tidak seimbang. "Denger dari sebelum-sebelumnya, cowok red flags keliatan setelah nikah karena sebelum nikah dia pinter nutup-nutupin," sebut seorang pengguna TikTok.
Sebagai tandingan, sebenarnya tidak sedikit pula warganet yang berbagi kesenangan setelah menikah. "Menikah itu emang menakutkan, tapi kalo dijalanin sama orang yang tepat, pasti tetep bisa dilewatin. Penting buat skrining di awal dan ga buru-buru nikah karena umur atau tuntutan dari luar," menurut seorang TikToker.
Nyatanya, pernyataan takut menikah tidak semata jadi narasi media sosial yang terlupa dalam beberapa waktu. Isu tersebut telah diulas banyak publikasi dunia, terutama di negara-negara dengan tingkat kelahiran bayi yang menurun, karena kian sedikit orang memutuskan menikah, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan.
Advertisement
Anak Muda Enggan Menikah
Tahun lalu, New York Times menerbitkan artikel yang mengulas alasan anak-anak muda di China enggan menikah. Melansir situs webnya, Rabu, 14 Agustus 2024, disebutkan bahwa tiga tahun terakhir merupakan "waktu yang brutal" bagi kalangan dewasa muda di Tiongkok.
"Angka pengangguran melonjak di tengah gelombang PHK perusahaan. Pembatasan ketat akibat virus corona telah berakhir, tapi tidak dengan rasa ketidakpastian tentang masa depan yang ditimbulkan. Bagi banyak orang, kekacauan baru-baru ini jadi alasan lain untuk menunda keputusan penting dalam hidup (menikah), yang berkontribusi pada rekor terendah angka pernikahan dan mempersulit upaya pemerintah mencegah krisis demografi," tulis publikasi tersebut.
Melihat meningkatnya PHK, Grace Zhang, seorang pekerja teknologi yang telah lama bersikap ambivalen tentang pernikahan, bertanya-tanya apakah pekerjaannya cukup aman untuk menghidupi keluarga di masa depan. Ia punya pacar, tapi tidak berencana menikah, meski ayahnya sering menasihatinya bahwa sudah waktunya untuk ia berumah tangga.
"Ketidakstabilan seperti ini dalam hidup akan membuat orang semakin takut membuat perubahan besar dalam hidupnya," katanya.
Angka Pernikahan Menurun
Jumlah pernikahan di China menurun selama sembilan tahun berturut-turut, turun hingga setengahnya dalam waktu kurang dari satu dekade. Pada 2022, sekitar 6,8 juta pasangan mendaftarkan diri untuk menikah, jumlah terendah sejak pencatatan dimulai pada 1986, turun dari 13,5 juta pada 2013, menurut data pemerintah China yang dirilis Juni 2023.
Meski jumlahnya telah meningkat pada 2023 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, lebih banyak pernikahan yang berakhir juga. Pada kuartal pertama tahun lalu, 40 ribu pasangan lebih banyak menikah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, sementara perceraian meningkat sebesar 127 ribu.
Tendensi serupa telah dikabarkan dari Jepang selama bertahun-tahun. Menurut survei oleh Recruit pada September 2023, persentase warga Jepang berusia 20 hingga 49 tahun yang belum menikah, namun "saat ini menjalin hubungan" adalah 29,7 persen, lapor Nippon.
Sebaliknya, responden yang belum pernah menjalin hubungan mencapai 34,1 persen, angka tertinggi sejak survei ini dimulai. Persentase mereka yang "ingin menikah (pada suatu saat)," masing-masing adalah 49,3 persen untuk perempuan dan pria 43,5 persen.
Alasan paling umum yang dikemukakan 40,5 persen wanita mengenai alasan mereka tidak ingin menikah adalah hal itu "membatasi aktivitas dan gaya hidup saya." Sementara, alasan utama yang dikemukakan 42,5 persen pria adalah "kehilangan kebebasan finansial."
Advertisement