Eks Hakim MK Sebut Kewenangan Polri Terbitkan SIM Konstitusional

Kewenangan Polri mengurus SIM, STNK, dan BPKP yang dipermasalahkan pemohon tidak bertentangan dengan UUD 45.

oleh Oscar Ferri diperbarui 13 Okt 2015, 20:07 WIB
Diterbitkan 13 Okt 2015, 20:07 WIB
Berikut Tata Cara dan Tarif Pembuatan SIM
Pembuatan SIM sendiri dilakukan berdasarkan hukum dari Undang Undang No 2 Tahun 2002 Pasal 14 ayat (1) b dan Pasal 15 Ayat (2).

Liputan6.com, Jakarta - Eks Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maruarar Siahaan hadir menjadi ahli dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI (UU Polri) dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ)‎. Pada uji materi itu, pemohon mempermasalahkan kewenangan Polri menerbitkan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).

‎Maruarar menilai kewenangan Polri mengurus SIM, STNK, dan BPKP yang dipermasalahkan pemohon tidak bertentangan dengan konstitusi. Baginya, kewenangan itu sesuai dengan UUD 1945.‎

"Kewenangan tersebut erat kaitannya dengan tugas kepolisian untuk melayani dan mengayomi masyarakat. Dalam prinsip konstitusionalitas, sebuah norma bisa ditarik keluar dari struktur dan ditafsirkan berdiri sendiri," ujar Maruarar dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Selasa (13/10/2015).

Menurut dia, kewenangan ini merupakan penafsiran dari norma tugas polisi untuk melayani dan mengayomi masyarakat.

Tugas kepolisian untuk menjaga dan melayani masyarakat, lanjut dia, dapat diartikan dengan makna luas yang terkait dengan kepentingan masyarakat. Dia pun menilai ukuran yang dipakai pemohon terkait tugas kepolisian ditafsirkan secara sempit.

"Ukuran yang dipakai pemohon terkait tugas Polri ditafsirkan secara sempit hanya soal penegakan hukum dan menjaga keamanan serta ketertiban," kata Maruarar.

Dia menjelaskan, dalam arti profesionalitas dan efisiensi pada penyelenggaraan manajemen serta administrasi, kewenangan Polri ‎dalam menerbitkan SIM, STNK, dan BPKP tentu saja dapat diterima. Kewenangan itu dapat diterima tanpa perlu mempersoalkan lembaga mana yang ditentukan untuk menyelenggarakannya.

"Seandainya penyelenggaraan kewenangan itu tidak efisien, tidak profesional, dan tidak nyaman bagi pihak-pihak yang berkepentingan, maka konfigurasi penyusunan kewenangan itu tidak dapat dikatakan bertentangan dengan konstitusi," kata Maruarar.

Koalisi untuk Reformasi Polri yang terdiri dari Indonesia Legal Roundtable (ILR) diwakili Erwin Natosmal Oemar, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) diwakili Julius Ibrani, dan lainnya menggugat sejumlah pasal dalam UU Kepolisian dan UU LLAJ ke MK.

Mereka menggugat kewenangan kepolisian dalam menerbitkan SIM, STNK, dan BPKB sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf c UU Polri serta Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 75, Pasal 85 ayat (5), Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 88‎ UU LLAJ. (Bob/Ado)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya