Liputan6.com, Jakarta Keterlibatan prajurit TNI dalam penertiban permukiman di bantaran Kali Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta Selatan, Rabu kemarin 28 September 2016, mendapat protes warga.
Sejumlah warga yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (Gema Demokrasi) menyatakan, keterlibatan sejumlah prajurit TNI dalam pengamanan penggusuran kampung Bukit Duri, bertentangan dengan perundangan.
Baca Juga
"Keterlibatan TNI dalam penggusuran paksa, dengan ikut berkeliling menyebarkan surat peringatan di hari-hari sebelumnya, dan mengawal penggusuran paksa dengan senjata, bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang TNI Pasal 7 tentang tugas TNI, yaitu menjaga kedaulatan negara dan mempertahankan keutuhan wilayah," ujar aktivis Gema Demokrasi Dhyta Caturani di Bukit Duri, Jakarta Selatan, Kamis (29/9/2016).
Advertisement
Dhyta menjelaskan, dalam beberapa operasi, TNI kerap diperbantukan kepolisian. Meski telah diatur dalam UU Penanganan Konflik Sosial, warga beranggapan penggusuran Bukit Duri tidak dapat dikatakan sebagai penggusuran sosial, sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat 1.
"Kami menyerukan aparat militer agar jangan terlibat dalam urusan penggusuran, jelas melanggar UU TNI dan meminta militer untuk segera kembali ke barak," pungkas Dhyta.
Berdasarkan data yang dihimpun Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (Gema Demokrasi), ratusan aparat gabungan dikerahkan saat penggusuran permukiman bantaran Kali Ciliwung, Bukit Duri, Jakarta Selatan, Rabu kemarin 28 September 2016.
Aparat gabungan itu antara lain 50 personel Brimob, 500 personel Sabhara, 200 personel Satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP), dan 50 prajurit TNI. Mereka dikerahkan untuk mengamankan proses penggusuran 320 bangunan di permukiman itu.