Bunuh Diri dan Pudarnya Ikatan Sosial di Masyarakat

seseorang bisa dikatakan integrasi sosialnya lemah tatkala rasa keterikatan orang tersebut dengan lingkungan sosialnya kecil atau memudar.

oleh Yopi Makdori diperbarui 07 Mei 2019, 18:24 WIB
Diterbitkan 07 Mei 2019, 18:24 WIB
Bunuh Diri
Ilustrasi Bunuh Diri (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Bunuh diri di kalangan remaja kembali menyita perhatian publik. Seorang perempuan melompat dari lantai empat mal di bilangan Jakarta Utara, Jumat 3 Mei 2019. Hasil penyelidikan sementara, kepolisian menyebut motif bunuh diri lantaran frustasi belum mendapat pekerjaan setelah lulus kuliah di Australia.

"Diduga frustasi, dia sudah disekolahkan di Australia tapi belum dapat pekerjaan di sana, di Jakarta juga tidak ada kerjaan," ujar Kasat Reskrim Polsek Penjaringan Kompol Mustakim kepada Liputan6.com di Jakarta, Sabtu (4/5/2019).

Melihat fenomena itu, Sosiolog Universitas Jenderal Soedirman, Dr. Tyas Retno Wulan mengungkapkan, bahwa dalam kajian ilmu Sosiologi, bunuh diri bisa disebabkan karena dua hal, pertama karena integrasi sosial yang sangat kuat dan sangat lemah.

"Karena integrasi sosial yang sangat lemah, sehingga mereka gampang bunuh diri karena hal-hal yang sepele," ungkap Tyas kepada Liputan6.com, Sabtu (4/5/2019).

Integrasi sosial yang dimaksud Tyas ialah ikatan seseorang dengan lingkungan sosialnya. Artinya, seseorang bisa dikatakan integrasi sosialnya lemah tatkala rasa keterikatan orang tersebut dengan lingkungan sosialnya kecil atau memudar.

Tyas pernah mengkaji fenomena bunuh diri di wilayah Kabupaten Banyumas yang menunjukan banyak perilaku bunuh diri disebabkan karena hal-hal yang remeh, seperti putus cinta.

"Kemudian tidak dibelikan HP, hal-hal yang menurut saya sangat sepele," tutur Tyas.

Ia mengisahkan bahwa pada tahun 2017, seorang warga Desa Wangon Kecamatan Wangon, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri pada Rabu, 27 Desember 2017 pukul 10.30 WIB. Menurut keterangan keluarga dan sahabat korban, dia nekat melakukan hal itu lantaran diputuskan cinta oleh pacarnya yang ia kenal di Facebook.

Tyas melihat bahwa hal itu diakiatkan integrasi sosial remaja saat ini yang cenderung lemah. Hal itu menyebabkan mereka menjadi sosok yang sangat rentan terhadap perilaku bunuh diri.

"(Mereka) tidak ada ruang untuk berbagi dengan orang-orang yang menurut saya seharusnya memberikan perlindungan. Artinya secara sosiologis kenapa bisa begitu (bunuh diri) itu karena kolektivitas kita yang lemah kemudian integrasi sosial kita yang lemah begitu," terangnya.

Sedangkan bagi remaja yang pasca-lulus mengidap stres ringan atau berat, dalam kajian Sosiologi hal itu karena "anomik".

"Baru lulus belum dapat pekerjaan gitu itu kan kondisinya kondisi anomi belum stabil. Anomik itu kondisi di mana nilai-nilai tidak teratur, kita dalam kondisi ketidakjelasan sehingga membuat orang itu rentan bunuh diri, itu disebutnya anomi," terang Tyas.

 

Hindari Stres

Tyas menyampaikan, tips bagi remaja yang berada dalam kondisi anomik. Tips yang ia tekankan ialah perlunya revitalisasi keluarga.

"Jadi keluarga harus punya rasa kepedulian di masa-masa seperti itu gitu," ujarnya.

Ia melihat bahwa institusi keluarga sebagai institusi terkecil dalam masyarakat, saat ini justru ikatannya semakin melemah.

"Kita (dalam) globalisasi seperti ini ya. Kita jadi semakin lama bounding dengan keluarga itu jadi berkurang. Karena teknologi, tuntutan mencari uang," ujar Tyas.

Selain itu, ia juga berpesan supaya ikatan dengan lingkungan sosial juga diperkuat. Hal ini sebagai upaya untuk saling berbagi perasaan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Ilustrasi Mayat
Ilustrasi Mayat (Istimewa)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya