Sejumlah Konsumen Masih Kesulitan Manfaatkan Program Sejuta Rumah

Maraknya Program Sejuta Rumah oleh pemerintah, seakan memberikan ‘sejuta harap’ bagi masyarakat. Namun benarkah program salah sasaran?

oleh Kantrimaharani diperbarui 20 Sep 2016, 21:00 WIB
Diterbitkan 20 Sep 2016, 21:00 WIB
Rumah subsidi
Maraknya Program Sejuta Rumah oleh pemerintah, seakan memberikan ‘sejuta harap’ bagi masyarakat. Namun benarkah program salah sasaran?

Liputan6.com, Jakarta Maraknya Program Sejuta Rumah oleh pemerintah, seakan memberikan ‘sejuta harap’ bagi masyarakat, khususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Tak heran jika ada pameran perumahan maka stan yang menawarkan rumah subsidi lah yang kerap dipenuhi pengunjung.

Kendati begitu, ada ‘suara sumbang’ dari sejumlah pengunjung yang masih ragu untuk mengajukan pembelian rumah. Alasannya pun sangat mengejutkan.

Iriani Amelia, warga yang tingggal di Cimanggis Depok misalnya. Ia merasa ragu untuk membeli karena sudah pesimis ditolak oleh pihak bank. Padahal secara penghasilan, Iriani masuk ke dalam kategori sebagai MBR.

“Kayaknya ada syarat tertentu selain masalah gaji di bawah Rp4 juta. Buktinya, tempo lalu teman saya ditolak oleh pihak bank dengan alasan tidak memenuhi syarat. Jangan-jangan syarat rumah subsidi yang berpatokan dengan pendapatan hanya formalitas,” kata Iriani seperti dilansir dari laman Rumah.com, Selasa (20/9/2016).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Apakah rumah subsidi salah sasaran?

 

Menanggapi persoalan tersebut, Sutoyo, manager marketing PT. Mekar Agung Sejahtera selaku pengembang dari Perumahan Grand Sutera Lewiliang mengungkap kondisi yang mengejutkan.

“Teknis di lapangannya, program rumah subsidi sebenarnya sudah tepat sasaran. Namun, adakalanya calon konsumen kerap mengalami kegagalan saat mengajukan kredit rumah subsidi atau biasa disebut dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Dan biasanya, di luar dari ketentuan proyek perumahan yang ditawarkan,” kata Sutoyo.

Lebih rinci, Sutoyo juga mengatakan misalnya seorang konsumen berpenghasilan Rp 4 juta, sedangkan pada sebuah daerah, gaji UMR masih ada yang Rp3,1 juta. Ini akan terjadi persaingan yang tidak merata.

“Belum lagi, ada banyak profesi informal seperti pedagang kaki lima dengan penghasilan yang tidak menetap. Akhirnya mau tidak mau calon konsumen harus menyiapkan persyaratan administrasi seperti KTP, surat KK, surat keterangan belum memiliki rumah, slip gaji, dan bahkan ada ketentuan penghasilan maksimal Rp2,5 juta. Ini yang membuat calon konsumen sudah mundur duluan”

“Jika sudah begitu, kita sebagai pengembang juga kebingungan. Dan lebih memilih mencari calon konsumen yang memang pasti-pasti saja. Misalnya seperti PNS atau pegawai swasta,” tambah Sutoyo.

Bahkan, ia juga mengaku, persentase peluang memasarkan rumah subsidi kepada calon konsumen formal dan informal sebanding 50:50. Salah satu keberhasilan penjualan dialami oleh Perumahan Grand Sutera Lewiliang di Bogor yang sudah laku terjual sebanyak 400 unit dari total perumahan 1.358 unit.

“Namun, faktanya calon konsumen yang formal lebih mudah. Bahkan, bila konsumen tersebut merupakan PNS atau profesi khusus, jaminannya lebih kuat,” tuturnya.

Memasarkan rumah subsidi sebenarnya nyaris serupa dengan rumah komersil lainnya. Dengan jumlah yang tidak sedikit, pengembang mencoba peruntungan, agar rumah tetap laku terjual.

Kendati demikian, Sutoyo juga berharap agar pihak bank juga lebih transparan dan tidak menyulitkan pihak konsumen yang akan membeli rumah.

Namun, sayangnya sampai artikel ini diterbitkan pihak Bank BTN (sebagai referensi bank nasional) belum memberikan tanggapannya terkait permasalahan ini.

Feature picture: Perumahan Grand Sutera Lewiliang

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya