Liputan6.com, Makassar - Ketua RW 3 Kelurahan Maricaya, Kecamatan Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Andi Sudirman kini menjalani hari-hari di penjara usai ditahan penyidik Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) Polrestabes Makassar, sejak Senin, 27 Agustus 2018. Ia diduga terlibat kasus pengancaman.
"Kemarin tersangka melalui pengacaranya mengajukan penangguhan penahanan dan saya siap menandatangani disposisinya tersebut dengan syarat pengacaranya bisa menjamin tersangka tidak melakukan perbuatan yang berulang," kata Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) Polrestabes Makassar, Kompol Diari Astetika, Kamis, 6 September 2018.
Diari mengatakan pengacara Ketua RW itu tak kunjung memberi jaminan yang diminta kepolisian agar bisa membebaskannya dari tahanan. Di sisi lain, polisi juga berkelit bahwa perkara yang menjerat Andi Sudirman bukan karena tindakannya memprotes pembangunan gedung seperti yang tersebar di masyarakat.
Advertisement
Baca Juga
"Soal protes bangunan itu tidak ada masalah. Tapi kalau mengancam dengan kekerasan dan dilakukan berulang kan itu tindak pidana namanya. Dan ini yang terjadi," kata Diari.
Tak hanya mengancam dengan kekerasan secara berulang, Ketua RW itu, lanjut Diari, juga diduga mengerahkan massa yang diperkirakan mencapai 50 orang untuk mendatangi lokasi pembangunan gedung milik Subroto, seorang yang disebut sebagai konglomerat.
"Jadi kronologis kasusnya demikian. Bukan terkait protes bangunan yang seperti berita yang berkembang. Unsur perbuatan melawan hukum dalam hal ini Pasal 335 ayat 1 KUHP terpenuhi sehingga kita lakukan penahanan sebelum terjadi korban jiwa," kata Diari.
Terpisah, pengacara tersangka, Andi Jamal Kamaruddin alias Om Betel mengatakan upaya penahanan yang dilakukan penyidik keliru. Ia membantah kliennya telah mengancam pemilik bangunan.
"Tuduhan itu tidak benar. Klien saya justru memprotes bangunan yang telah menutupi akses lorong masuk ke pemukiman warganya. Harusnya, Soebroto selaku pemilik bangunan yang harus ditindak karena menutup akses jalan masuk warga dan itu yang diprotes oleh klien saya selaku tokoh masyarakat," kata Om Betel.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kronologis versi Korban
Tak hanya itu, lanjut Om Betel, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dimiliki oleh Soebroto sebagai dasar membangun tidak sesuai mekanisme yang sebenarnya. Maka itu, Ketua RW bersama warga sempat mengadukannya ke Dinas Tata Ruang Pemerintah Kota Makassar (Pemkot Makassar).
"IMB yang dimiliki Soebroto hanya mencakup bangunan dua lantai. Tapi kenyataannya, dia membangun tiga lantai dan malah menutup akses jalan masuk ke pemukiman warga. Selain itu dalam pengurusan IMB, Soebroto tak pernah meminta izin warga sekitar yang bisa terkena dampak. Padahal syaratnya kan harus meminta izin juga dengan warga sekitar sebelum terbit IMB," tutur Om Betel.
Ia berharap Polrestabes Makassar tidak bertindak agresif dalam menangani masalah ini. Apalagi, kata Om Betel, kliennya dalam hal ini Ketua RW juga sempat dituding mengerahkan massa untuk merusak pengrusakan bangunan milik Soebroto.
"Yang membongkar bangunan Soebroto yang menutup akses jalan masuk ke pemukiman warga itu, yang lakukan petugas Dinas Tata Ruang Pemkot Makassar , bukan warga. Itu tindak lanjut dari aduan warga dan memang bangunannya melanggar dan telah disegel," ungkap Om Betel.
Diketahui, Penyidik Satuan Reskrim Polrestabes Makassar menahan Ketua RW 3 RT 2, Kelurahan Maricaya, Kecamatan Makassar, Andi Sudirman, sejak Senin 27 Agustus 2018.
Penahanan terhadap Ketua RW tersebut, setelah diduga berkali-kali melakukan pengancaman terhadap korbannya yang merupakan buruh bangunan yang bekerja pada Soebroto, M Basri.
M Basri mengatakan dugaan pengancaman yang menimpanya, berawal saat ia mulai mengukur bangunan yang hendak dikerjanya di Jalan Gajah, Makassar. Pengancaman itu, kata Basri, dialaminya berulang-ulang.
Terakhir, tersangka menarik kerah bajunya. Bahkan, lanjut dia, pemilik bangunan yang dikerjakannya, Soebroto turut diancam dan mau dibunuh.
"Kalau soal untuk cabut laporan untuk saat ini, belum ada keinginan. Saya hanya butuh keadilan. Kecuali kalau terlapor akan membayar kerugian saya kurang lebih Rp 700 juta, mungkin saya baru pikirkan," ucap Basri.
Advertisement