Makna Tradisi Ruwahan Jelang Bulan Puasa di Blora

Tradisi jelang bulan puasa ini merupakan bagian dari kebiasaan nenek moyang terdahulu, dan sebagai perwujudan akulturasi yang dilakukan Wali Songo.

oleh Ahmad Adirin diperbarui 13 Apr 2019, 05:03 WIB
Diterbitkan 13 Apr 2019, 05:03 WIB
Ilustrasi bulan Ramadan (AP)
Ilustrasi bulan Ramadan (AP)

Liputan6.com, Blora - Menjelang bulan puasa, umat Islam di setiap daerah memiliki tradisi berbeda-beda. Seperti halnya di Blora, Jawa Tengah, ada tradisi ruwahan yang kerap kali dijalankan para warga.

Dalam menjalankan tradisi ini, warga biasanya menjalankan doa bersama, yakni menggelar kegiatan tahlilan dan yasinan dari rumah ke rumah, musala ke musala, ataupun di masjid secara berjemaah. Tradisi ini merupakan bagian dari kebiasaan nenek moyang terdahulu, dan sebagai perwujudan akulturasi yang dilakukan Wali Songo (Wali Sembilan).

Para Wali Songo yang terdiri dari Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati saat menyebarkan Islam di tanah Jawa tidak serta-merta menghapus budaya yang sudah mengakar kuat. Namun, menyatukan agama Islam dengan budaya Jawa agar mudah diterima.

Demikian dikatakan Sajudin, salah seorang ustaz mengenai tradisi ruwahan yang digelar di rumah tetangganya. Ruwahan dianggap sebagai bentuk kegiatan yang kerap dijadikan ajang untuk bersilaturahmi antarwarga atau masyarakat sebelum bulan puasa tiba.

"Setiap keluarga biasanya membuat makanan seperti nasi berkat, ketan, apem, dan lain sebagainya. Mereka kemudian membagikan kepada tetangga kiri kanan atau sanak saudara, baik sesudah dan sebelum acara tahlil maupun yasinan bersama diselenggarakan," jelas dia kepada Liputan6.com, Jumat (12/4/2019).

 

Makna di Balik Ruwahan

Makna Tradisi Ruwahan Jelang Bulan Puasa di Blora
Tradisi Ruwahan di Blora. (Liputan6.com/Ahmad Adirin)

Ruwahan merupakan tradisi kebudayaan Jawa dengan tujuan mendoakan orang yang telah meninggal dunia. Tradisi ruwahan sendiri itu mengandung makna bahwa bulan Syakban (bulan sebelum puasa Ramadan) menjadi bulan untuk berbagi kasih dan sedekah.

"Saat peristiwa itu terjadi berarti sedang terjadi proses silaturahmi di sana, bahkan bisa jadi lahir peristiwa saling memaafkan," lanjut dia.

Di tengah perkembangan zaman dan teknologi era milenial sekarang ini, dia berharap tradisi ruwahan perlu dijaga dan jangan sampai terkikis.

"Kita lestarikan ruwahan ini sebagai bentuk lain menghormati perjuangan pada pendahulu yang perlu kita istikamahkan." Kata dia selaku ustaz di Pondok Pesantren Khozinatul Ulum, Blora, Jawa Tengah saat dimintai penjelasan tentang makna tradisi ruwahan.

 

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya