Menepis Banjir di Wilayah Rendaman Cilacap

Di sisi selatan CIlacap, sedimentasi kawasan Laguna Segara Anakan semakin memprihatinkan. Tak pelak, air yang mengalir dari pegunungan itu tak leluasa keluar ke Samudera Hindia

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 18 Jan 2020, 15:00 WIB
Diterbitkan 18 Jan 2020, 15:00 WIB
Ilustrasi – Banjir di Sidareja pada 20 Oktober 2016. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Ilustrasi – Banjir di Sidareja pada 20 Oktober 2016. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Ada yang tak biasa di Sidareja, Cilacap, Jawa Tengah, musim hujan ini. Tak sekalipun wilayah langganan banjir ini terendam, lazimnya yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

Persoalan banjir di wilayah barat selatan Cilacap ini terbilang rumit. Sidareja dikepung pegunungan di sisi tenggara hingga barat laut.

Sementara, di sisi selatan Cilacap, sedimentasi kawasan Laguna Segara Anakan semakin memprihatinkan. Tak pelak, air yang mengalir dari pegunungan itu tak leluasa keluar ke Samudera Hindia.

Sungai-sungai di kawasan ini juga terpengaruh pasang surut air laut. Yang kerap terjadi, air laut pasang saat hujan lebat di sisi utara, atau kawasan pegunungan. Tanpa bisa mengelak, Sidareja pun terendam banjir.

“Sidareja itu seperti cekungan,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sidareja, Agus Sudaryanto, Rabu, 15 Januari 2020.

Tetapi seperti dibilang di awal, Sidareja kali ini bebas dari banjir, meski baru sampai pertengahan Januari 2020. Padahal biasanya menjelang akhir tahun Sidareja selalu dikepung banjir. Terlebih pada awal tahun, tatkala puncak musim hujan.

Ada 17 desa yang sangat rawan banjir oleh luapan Sungai Cibeureum dan anak sungainya. Wilayah rawan banjir itu tersebut tersebar di lima kecamatan berbeda, meliputi Kecamatan Cipari, Sidareja, Kedungreja, Patimuan dan Gandrungmangu.

Soal ini, Agus bilang selain dipengaruhi intensitas hujan, banjir Sidareja hingga Kawunganten dipengaruhi kondisi sungai. Saat kondisi sungai buruk banjir selalu menjadi ancaman serius.

Karenanya, akhir kemarau lalu BPBD dan masyarakat Sidareja membersihkan sungai secara massal. Tumbuhan air, semak dan sampah dibersihkan dari badan sungai. Sebanyak 1.200 warga terlibat.

Target pertama pembersihan sungai adalah Sungai Cibeureum dan anak sungainya. Cibeureum adalah aliran utama menuju Laguna Segara Anakan. Kemudian, pekan berikutnya, ratusan orang juga terlibat dalam pembersihan sungai Cikalong untuk mengurangi potensi banjir.

Simak video pilihan berikut ini:

Ancaman Banjir Masih Hantui Belasan Desa

Penyempitan sungai di Sidareja, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Penyempitan sungai di Sidareja, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Menjelang musim penghujan itu pula, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citanduy menormalisasi sungai secara bertahap. Beberapa anak sungai Cibeureum, seperti Sungai Cibogo dinormalisasi sepanjang enam kilometer.

Dia mengklaim, normalisasi dan bersih sungai itu cukup signifikan mencegah banjir. Terbukti, pada musim penghujan ini belum sekali pun eks-distrik Sidareja terendam banjir.

“Kalau sekarang alhamdulillah belum. Mudah-mudahan tidak banjir,” ucapnya.

Meski begitu, Agus tak lantas jumawa. Sebab, puncak musim penghujan belum lagi tiba. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan puncak musim penghujan bakal terjadi pada Februari dan Maret 2020.

Karenanya BPBD menyiagakan semua peralatan dan bantuan tanggap darurat bencana di gudang UPT. Bencana banjir dan longsor tetap saja menghantui warga di kawasan rawan.

Selain itu, cuaca ektrem berupa hujan sangat deras, tiupan angin kencang dan sambaran petir juga berpotensi terjadi pada bulan-bulan tersebut.

“Kemarin malam, kami sudah berkoordinasi untuk semua logistik berada di UPT. Nah, logistik makanan itu kan sekarang sudah standby di Dinas Sosial Kabupaten, kami harapkan juga sudah dititipkan di UPT,” dia mengungkapkan.

Selain makanan, bantuan lain untuk keperluan penanganan bencana juga sudah dipersiapkan dan dalam kondisi siap. Antara lain, karung dan bronjong. Karung digunakan untuk mengantisipasi tanggul jebol. Adapun bronjong digunakan untuk penanganan longsor.

BPBD juga menyiagakan perahu untuk keperluan evakuasi. Enam titik disiapkan sebagai posko pengungsian. Di antaranya di markas Koramil Sidareja, pendopo Kecamatan Sidareja, Balaidesa Sidareja dan beberapa tempat lainnya.

“Kami sudah berkoordinasi dengan TNI, Polri, Forkompicam untuk mengantisipasi banjir dan longsor. Insyaallah kami siap,” ucapnya.

Peran Desa dalam Penanggulangan Bencana

Normalisasi Sungai Cibogo, Anak Sungai Cibeureum, Sdiareja, Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Normalisasi Sungai Cibogo, Anak Sungai Cibeureum, Sdiareja, Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Diketahui, Cilacap adalah kabupaten dengan tingkat risiko bencana paling tinggi di Jawa Tengah. selain bencana hidrometeorologi, Cilacap juga rawan bencana gempa dan tsunami. Selain itu, di puluhan desa di Cilacap juga rawan kekeringan.

Bahkan, saking tingginya potensi bencana, ada gurauan bahwa Cilacap adalah supermarket bencana. Nyaris semua jenis bencana berpotensi terjadi di wilayah ini.

Di sisi selatan, Cilacap berimpitan langsung dengan Samudera Hindia dan membuatnya rawan gempa bumi, gelombang tinggi, banjir dan tsunami. Adapun di sisi utara, Cilacap berada di lereng Pegunungan Tengah Jawa sehingga rawan longsor dan banjir bandang.

“Kalau angin kencang hampir semua wilayah rawan. Puting beliung,” ucap Kepala Pelaksana Harian BPBD Cilacap, Tri Komara Sidhy, dalam kesempatan berbeda.

Menimbang tingginya potensi bencana, BPBD mendorong agar desa-desa di Cilacap mengalokasikan anggaran untuk penanganan bencana. Pengalokasian anggaran dari pemerintah desa akan membuat penanganan bencana bisa lebih enteng.

“Ada mitigasi, pembangunan pencegahan dan mitigasi bencana, infrastruktur, simulasi sampai penanganan bencana,” kata Komara.

Dia menjelaskan, pemerintah desa kini memiliki kewenangan untuk mengalokasikan anggaran. Akan tetapi, kebencanaan masih kerap luput dari Alokasi Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).

Padahal, penanganan bencana yang dilakukan oleh desa akan sangat efektif. Pasalnya, pemdes adalah struktur pemerintah terkecil yang paling mengetahui kondisi desanya. Dengan begitu, prioritas penanganan bisa lebih mudah dilakukan dan tepat sasaran.

“Kami mendorong agar desa mengalokasikan anggaran,” ucap Komara.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya