Tak Ada Rotan, Ulat Pun Jadi

Budidaya Maggot dan Azola diharapkan bisa menjadi solusi menggulirkan ekonomi masyarakat sekitar PGE Area Karaha, selama Pandemi Covid-19 berlangsung.

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 16 Agu 2020, 17:00 WIB
Diterbitkan 16 Agu 2020, 17:00 WIB
Area Manager PGE Area Karaha Roy Bandoro tengah memberikan simbolis bantuan CSR kepada Danramil Ciawi Kapten Deni Zenal Mutaqin dalam prorgam pemberdayaan ulat maggot dan azola.
Area Manager PGE Area Karaha Roy Bandoro tengah memberikan simbolis bantuan CSR kepada Danramil Ciawi Kapten Deni Zenal Mutaqin dalam prorgam pemberdayaan ulat maggot dan azola. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Tasikmalaya - Sendi perekonomian masyarakat yang lesu akibat pandemi Covid-19, tak membuat semangat warga Desa Dirgahayu dan Desa Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, lumpuh.

Ibarat pepatah ‘Tak ada Rotan, Akar Pun Tumbuh’, kini tak ada rotan, ulat pun tumbuh menggambarkan ikhitiar mereka, mengoptimal sumber daya alam sekitar, untuk menghasilkan nilai tambah secara ekonomi, selama pandemi Covid-19 berlangsung.

Mendapatkan suntikan program Corporate Social Resposibility  (CSR) Pertamina Geothermal Energy Area Karaha, mereka menjadi warga produktif dengan mengembangkan program BuMaLa (Budidaya Maggot dan Azola).

Sekitar 300 warga peserta program yang terbagi dalam 30 kelompok itu, mulai terbiasa memiliki kandang lalat Black Soldier Fly (BSF) sebagai cikal bakal ulat maggot, serta kolam budidaya tanaman azola, untuk meningkatkan nilai tambah produk peternakan milik mereka.

Area Manager PGE Area Karaha Roy Bandoro mengatakan, program tersebut merupakan ikhtiar perusahaan sebagai tanggung jawab sosial, dalam meningkatan ekonomi masyarakat akibat pandemi Covid-19.

“Untuk tanggung jawab ini, kami mengembangkan empat pilar dalam program corporate social responsibility,” ujarnya, Jumat (14/8/2020).

Sebagai perusahaan energi kebanggaan negeri,  lembaganya, ujar Roy memiliki tanggung jawab dalam pemberdayaan masyarakat.

“Selain ekonomi, ada juga pilar pendidikan, kesehatan, lingkungan dan juga fasilitas umum,” ujarnya.

Menurutnya, program budidaya ulat maggot dan azola ini sejatinya bukan hal baru, namun merupakan gawean lanjutan dari program Jalipesah atau Penghijauan Lingkungan dan Pengelolaan Sampah yang sudah digulirkan sebelumnya.

“Yang kami launching ini adalah program ekonomi yang diberikan perusahaan di tengah Covid-19,” dia menegaskan.

Dengan modal yang tidak terlalu besar, hasil yang telah dirasakan masyarakat cukup menggiurkan. Warga tidak repot dalam hal pengadaan pakan untuk hewan ternak mereka.

”Semoga masyarakat sekitarnya yang belum memulai usaha ini, bisa melihat keberhasilan yang ada di tengah kondisi sulit akibat covid-19,” Roy berharap.

Untuk program ini, lembaganya mendonasikan bantuan hingga Rp75 juta yang diperuntukan bagi 300 warga di dalam 30 kelompok masyarakat binaan di ring satu perusahaan.

Mereka sengaja menggandeng Koramil 0612/Tasikmalaya, untuk menentukan masyarakat yang siap bergabung dan menjadi anggota kelompok binaan program Bumala.

“Mungkin ke depannya nanti kita pelajari untuk membantu pemasaran jika memang dibutuhkan,” ujarnya memberikan dukungan.

 

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Proses Pembuatan Ulat Maggot

Ribuan ulat Maggot hasil perkawinan Black Soldier Fly (BSF) atau istilah lain ‘tentara lalat hitam terbang dalam proses budidaya ulat maggot di Tasikmalaya.
Ribuan ulat Maggot hasil perkawinan Black Soldier Fly (BSF) atau istilah lain ‘tentara lalat hitam terbang dalam proses budidaya ulat maggot di Tasikmalaya. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Dalam prakteknya, warga yang sebagian besar merupakan anggota program Jalipesah itu, kemudian mengumpulkan sampah dan limbah rumah tangga, memilahnya, hingga menjadi media budidaya ulat maggot.

“Jadi dari maggot dan azola itu bisa menjadi bahan pakan ternak mereka, selain juga bisa dijual buat perikanan, peternakan,” ujar dia.

Hasilnya, produktivitas ternak dan perikanan milik warga binaan meningkat hingga 40 persen, dibanding sebelumnya dengan menggunakan pakan pabrikan.

“Sekarang maggot ini pun harganya menjadi mahal per kilonya itu,” ujar Roy bangga.

Tandang Sabdo, anggota Koramil Ciawi yang menjadi intruktur kegiatan budidaya menambahkan, proses pembuatan ulat maggot terbilang mudah tanpa biaya yang mahal.

“Prosesnya cepat, sebab umurnya dari lalat BSF itu sendiri hanya 14 hari,” kata dia.

Diawali dari perkawinan sepasang Black Soldier Fly (BSF) atau istilah lain ‘tentara lalat hitam terbang’, ratusan telur hasil persilangan, kemudian disimpan dalam sebuah kassa atau kapas yang sebelumnya disediakan peternak di dalam kandang BSF.

“Biasanya umurnya telur sekitar sekitar 3 -4 hari,” kata dia.

Setelah itu, telur dipindahkan ke dalam wadah berukuran sedang, yang sebelumnya telah diberikan media tumbuh dari bahan dedak padi.

“Tiga hari kemudian biasanya menjadi larva dan berkembang sendiri menjadi ulat maggot,” ujarnya.

Dalam perkembangannya, ulat dewasa kemudian berubah menjadi ulat hitam, yang kemudian beradaptasi menjadi BSF dewasa, untuk selanjutnya menunggu proses kawin dengan lalat betina.

“Umur jantan itu hanya dua jam setelah menjadi lalat, sementara betina hanya lima jam setelah itu bertelur dan mati, dan begitu selanjutnya,” papar dia.

Tandang menyatakan, penggunaan pakan ulat maggot cukup ampuh dalam meningkatkan produktivitas ternak, terutama itik petelur yang membutuhkan nutrisi tinggi.

“Percobaan awal kami, dari 300 itik petelur yang diberi ulat maggot, ada sekitar 270 ekor yang bertelur setiap hari,” ujar dia.

Selain itik, ulat maggot juga bisa digunakan sebagai pakan lain dalam budidaya perikanan kolam warga. “Atau bisa djuga dipakai sebagai pakan bebek, ayam, entog, ikan gurame dan mujair,” kata dia.

Maggot merupakan larva lalat Black Soldier Fly (BSF) yang kaya nutrisi, cukup potensial dalam meningkatkan produktivitas peternakan dan perikanan. Selain bisa diproduksi dalam waktu singkat, keunggulan lainnya yakni bisa diproduksi menjadi tepung (mag meal), untuk menekan biaya produksi pakan ternak.

Fokus Pemberdayaan UMKM

Ragam produk hasil budidaya perikanan dan peternakan seperti telur itik Cihateup, ikan dan lainnya, milik warga dengan menggunakan pakan utama ulat maggot dan tanaman azola.
Ragam produk hasil budidaya perikanan dan peternakan seperti telur itik Cihateup, ikan dan lainnya, milik warga dengan menggunakan pakan utama ulat maggot dan tanaman azola. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Roy menambahkan, selain menjaga kelestarian lingkungan, program pemberdayaan masyarakat yang diberikan PGE Area Karaha saat ini, diharapkan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia, termasuk  penguatan ekonomi usaha kecil dan menengah.

“Jadi selain berkomitmen menjaga pasokan energi listrik bagi warga se-Jamali (Jawa, Madura dan Bali), PGE juga berkontribusi nyata dalam menjalankan program CSR,” kata dia.

Dengan program tersebut, ujar dia, mampu menumbuhkan kemandirian masyarakat, serta meningkatkan taraf hidup dengan mengoptimalkan potensi sumber daya lokal yang ada.

“Pada saatnya nanti warga akan mampu terlibat secara aktif dalam proses pembangunan, serta mampu menyelesaikan masalah secara mandiri,” ujar dia.

Ketua Persit Kartika Chandra Kirana Kodam III/Siliwangi, Suci Nugroho Budi Wiryanto mengatakan, program peberdayaan ulat maggot dan azola yang diberikan PGE Pertamina area Karaha, sesuai dengan instruksi kesatuan.

“Kita dari kodam III Siliwangi memang menitikberatkan pada ketahan pangan,” ujar Suci.

Dengan upaya itu, lembaganya mengintruksikan seluruh prajurit dan pendampingnya, ikut berperan menyukseskan program ketahanan pangan yang dicanangkan pemerintah.

“Saya harap semuanya di seluruh cabang Kodam III Siliwangi nanti September diadakan lomba ketahanan pangan di masing-masing korem,” kata dia.

Khusus budidaya ulat maggot dan azola yang digalakkan Kodim 0612 Tasikmalaya, lembaganya menilai upaya itu cukup potensial dalam meningkatkan ekonomi prajurit termasuk masyarakat sekitar.

“Selain itu di sini juga sudah digerakan sayuran, tanaman obat, ada jamur, itu bagus untuk menambah ekonomi keluarga,” ujarnya.

Sekilas PGE Area Karaha

Area Manager PGE Area Karaha Roy Bandoro , di sela-sela launching program pemberdayaan ulat maggot dan azola di koramil Ciawi, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Area Manager PGE Area Karaha Roy Bandoro , di sela-sela launching program pemberdayaan ulat maggot dan azola di koramil Ciawi, Tasikmalaya, Jawa Barat. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Berada di perbatasan dua kabupaten Garut dan Tasikmalaya, Jawa Barat, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha Unit I milik PGE memiliki peran penting dalam menyuplai energi listrik Jawa, Madura dan Bali. Total sekitar 33 ribu rumah di kedua wilayah itu hingga kini telah menikmati pasokan area Karaha.

Saat ini kapasitas yang dimiliki mencapai 30 MW, dan mulai beroperasi sejak 6 April 2018. Capaian ini merupakan realisasi dari program 35.000 MW yang dicanangkan pemerintah, yang difokuskan untuk meningkatkan keandalan sistem transmisi Jawa-Bali dengan tambahan suplai listrik sebesar 227 Gigawatt hour (GWh) per tahun.

Dalam pembangunannya, PLTP Karaha Unit I merupakan proyek terlengkap, sebab pengerjaan PGE mengerjakan sendiri mulai dari sub-surface, eksplorasi, pemipaan, powerplant hingga tower transmisi listrik sepanjang 25 KM.

Sebagai wujud kepedulian terhadap pemberdayaan masyarakat yang berada di ring 1 daerah operasi, PGE Area Karaha juga telah meluncurkan bantuan Corporate Social Resposibility (CSR) dalam bentuk Program Ecovillage

Program ini adalah pilot project PGE Area Karaha dalam upayanya membantu masyarakat menggali potensi yang dimiliki masyarakat, melakukan evaluasi atas program tersebut, serta memperbaiki atau meningkatkan kapasitas, untuk memberikan manfaat hingga masa depan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya